Friday, November 22, 2013

Surat Untuk Bapak



Bandung, 11 November 2012

Untuk Bapak,
Di suatu tempat di bumi.

Bapak, apa kabar?semoga selalu sehat, mugia Gusti Allah terus ngaping bapak.

Bapak, bulan ini sudah masuk musim penghujan, dimana-mana air, di bandung curah hujannya tinggi sekali, bagaimana di kota bapak?bagaimana di kota kita dulu? Bapak percaya kalau air bisa menenggelamkan kenangan, menghilangkan sebagian ingatan, dibawanya kenangan-kenangan yang tersimpan dengan arus lantas kenangan-kenangan itu akan tersangkut di got-got yang penuh sampah, di sungai yang juga penuh sampah, jarang sekali arus air langsung menuju muaranya. Tapi, bapak tidak usah khawatir, tentangmu kenangan itu selalu berada ditempatnya, tidak sedikitpun hilang.

Bapak, bunga-bunga flamboyan bermekaran, maka burung-burungpun menjadi lebih riuh kicaunya, lalu bunga-bunga itu akan jatuh dan mengotori pekarangan rumah kita dulu, bertaburan di teras rumah, menempel pada daun bunga melati, daun mangga... ya mangga yang kita tanam dua belas tahun lalu, dan sekarang berbuah banyak.

Musim peralihan disebut juga musim pesta fora nya nyamuk bapak, kala itu bapak selalu menenteng baygon pompa semprot, melongok kamar ukuran 3x3 itu dan menyemprotnya, itu seperti tugas rutin buat bapak, tanpa itu sepertinya bapak tak dapat gaji, bapak mulai menyemprot jam tujuh malam, lewat dari jam tujuh maka giliran nyamuk-nyamuk itu yang akan menyemprot bapak. Sepertinya, bapak juga sekarang tak pernah lagi menyemprot, sepertinya bapak yang sekarang sudah canggih juga.

Hawa



Suara daun, gemerisik angin, gelapnya cahaya menjadi pengantar suara-suara yang kita ucapkan hingga menggaung di angkasa. Langit menjadi atap kita sekaligus telinga yang tak bosan mendengar percakapan kita.

Kamu hadir tiba-tiba bersama surat imajiner yang dengan sengaja dikirimkan penjaga langit untukku. Aku merabamu dengan hati-hati, memperlakukanmu seolah kamu adalah barang pecah belah, menyentuhmu penuh rasa. Kamu hanya diam menikmati sentuhanku yang kutahu itu adalah sentuhan pertama yang kamu rasakan.

Kulitmu halus menyerupai kulitku, seluruh tubuhmu ku sentuh untuk meyakinkan bahwa kita serupa. Kamu menikmatinya, hingga tanpa terasa kamu pun mengikuti apa yang kulakukan. Kita saling menyentuh mengenali bentuk tubuh dan menamainya sesuka hati.

Tuesday, October 1, 2013

Non Nova



Aku berkesempatan menonton pertunjukan sirkus kontemporer Non Nova yang digelar di IFI Bandung. Sirkus yang berasal dari Perancis ini mengisi rangkaian kegiatan bulan sastra selama september-oktober yang digelar di beberapa kota besar.

Tepat jam empat, diantar oleh suara hujan aku memasuki ruang auditorium. Dingin dan gelap langsung menyergap. Tempat pementasan dibuat melingkar, dengan tata cahaya yang pas dilengkapi blower sebagai perangkat acara. Seorang pemain duduk di tengah dengan 2 buah kantung plastik yang diletakkan di lantai, lalu tangannya dengan pelan mulai menggunting bagian sisi dari kantung plastik tersebut. Kedua kantung plastik itu dibentuknya menyerupai manusia, yang punya kepala, dua tangan dan kaki.

Ontosoroh


http://www.adelaidereview.com.au/images/uploads/blog/adl/arts/2013/september/Ade-and-Prisha_BercintaPhoto-by-Arief-Budianto.jpg 


Kita ada di deretan penonton pertunjukan  Ontosoroh, mengambil duduk di deretan tengah tidaklah buruk ternyata. Kita sangat antusias, bagaimana tidak?bukankah keintiman kita terjalin dari cerita-cerita sastra yang dibangun Pramoedya, Tohari, Ayu Utami, Putu Wijaya. Seringkali Ontosoroh dan Minke tokoh fiktif dalam buku tetralogi Pulau Buru Pramoedya menjadi topik utama dalam diskusi kita.  
 
Aku tahu jantungmu berdegup kencang ketika lampu panggung mulai dimatikan. Jemari ini rasanya menggigil, segera saja aku menyelinap di antara jemarimu. Kehangatan segera menjalar cepat, kita telah bisa menetralisir situasi. Ini bukan pertama kalinya kita menonton pagelaran, banyak pertunjukkan yang sudah kita nikmati.  Tapi, entahlah selalu saja aku merasa ini momen pertamaku denganmu. Aku tahu, panggung adalah duniamu. Aku menikmati setiap cerita panggungmu, kamu bertutur tentang keringat para penari yang menggoda, tiap bulir keringatnya adalah letupan kepuasan batin, keringat-keringat yang membuat kulit penari mengkilat itu adalah pertanda bahwa hidup bisa dinikmati dengan beragam cara.

Dua dan Tujuh

Angka ini bukan angka istimewa.


Ada banyak rasa yang masih mengendap, kesalahan yang masih perlu dimaafkan tanpa harus terpaksa memaafkan. Ya, saya sedang tak berusaha keras memaafkan seseorang ataupun sesuatu. 

Saya ingat ketika saya menitipkan air mata saya pada sahabat saya, sahabat saya bilang “ini bukan Na yang kukenal”. Saya hanya diam, sahabat saya ternyata bahkan tak mengenal saya. Ada kalanya saya tak bisa tegar, saya pun kalah oleh situasi. 

Saya terkadang lupa bahwa hidup adalah satu paket, hidup dan mati, bertemu dan berpisah. Sudah sifat manusia bahwa yang diinginkan hanya kehidupan dan pertemuan. Semua seolah berlomba-lomba menghindari kematian dan perpisahan. Saya pun telah melakukan beragam cara untuk menghindari perpisahan, dan saya saat itu lupa semakin kuat saya hindari, semakin kuat pula itu terjadi. Alam memiliki gaya magnet yang besar, dia tak mengiakan hal-hal yang bersifat penolakan. Penolakan itu diubahnya menjadi penerimaan.

Tuesday, September 10, 2013

Negeri Tak Bernama



http://dannypopo.com/wp-content/uploads/2012/01/kundalini_practice.jpg
Aku tenggelam dalam negeri tak bernama. Di pulau-pulau yang hanya berpenghuni sedikit. Ada laut dengan pantainya yang indah. Senja yang selalu hadir tepat waktu dengan warna jingganya yang pekat. Angin yang bersahabat. Matahari yang tidak garang juga hujan yang datang sesekali. 

Ada beberapa kepiting di pantai yang biasanya akan kukejar. Rumah-rumah siput yang masih berpenghuni menjadi teman keseharianku.

Jauh dari dunia modernitas. Tidak ada polusi. Tidak ada bangunan menjulang tinggi. Yang terlihat adalah atap-atap rumah dari kayu. Rumah dari kayu. Jendela-jendela kaca yang besar. Pohon-pohon kelapa dan palem di samping rumah. Rumah tanpa pagar.

Aku dan beberapa orang yang memilih tinggal di negeri tak bernama ini melakukan rutinitas senin pagi. Beberapa dari kami menamakan dengan ekstrim bahwa kami penganut sekte senin pagi. Kumpulan orang-orang yang memasrahkan dirinya pada alam. Memaksimalkan isyarat dan pertanda, membaca pola, menganalisis situasi, mendengar lebih banyak, berbicara lebih sedikit.

Thursday, August 29, 2013

Perjalanan Rasa : Pagoda Avalokitesvara



Hari masih pagi ketika kali pertama aku menjejakkan kaki di sini. Suara gesekan daun dari Pohon Bodhi terdengar riuh. Aroma mentari yang masih hangat masuk melalui pori-pori kulit. Kulihat beberapa burung pada ranting-ranting kecil dengan cicitnya yang cerewet menyapa pagi. 


Pagoda Avalokitesvara, begitu namanya. Cantik. Tempat ibadah umat Budha ini terletak di daerah Ungaran Semarang. Ada banyak rasa yang mampir. Kaget, senang, deg-degan, juga sedikit rasa takut. Aku mulai mengambil gambar. Ada 7 tingkatan yang menjulang ke atas. Aku mulai memasuki pelataran. Patung Budha berwarna kuning keemasan di bawah pohon Bodhi menjadi pusat pandangan mata. 2500 tahun lalu sang Budha Gautama bertapa di bawah Pohon Bodhi. Tahun 1955 cangkokan asli dari pohon Bodhinya Gautama ini ditanam di pelataran. 


Aku melihat kertas-kertas merah dengan huruf cina tergantung di ranting-rantingnya. kertas-kertas merah itu berisi permohonan dan harapan. 

Friday, August 23, 2013

KITA



Awalnya kita hanya mengenal sebatas nama.
Menyapa dalam diam.
Berbicara sejarang munculnya pelangi.
Lalu masing-masing dari kita merasakan kecanduan.

Awalnya kita hanya berbicara tentang mereka.
Pekerjaan dan hal-hal sepele yang tidak penting.
Tertawa tanpa arti.
Memicing satu sama lain.
Tak berani saling memandang.
Apalagi mengucap mesra.

Lalu kita mulai berjabat tangan.
Berbicara lebih sering dan rutin.
Serutin mentari pagi terbit.
Kita tak lagi malu.
Saling memanggil nama dengan mesra.
Ada ‘aku’ dan ‘kamu’

Lalu kita mencicipi kopi di senja hari
Menanti dengan diam meluruhnya warna jingga
Kita menjadi gagu
Ketika teriakan anak kecil merusak suasana khidmat itu

Ya.. dia ada melengkapimu

Kita telah menghabiskan rindu
Menikmati tiap jengkal kulit tanpa kain
Menjalani tiap detik dengan praduga

Angin menerpa wajah kita perlahan
Kita terbangun dengan sadar
Tak ada lagi kecupan halus

Kita bergegas
Menuju suatu tempat yang tak sama
Langkah-langkah kita menjadi pertanda
Ada cerita dibalik selimut
Tanpa pernah mereka tahu

Dan kita telah begitu hapal menerjemahkan rasa.




Cibiru, 30 Juli 2013

Friday, August 2, 2013

Perempuan itu bernama Inggit



Kaki kecilnya berjalan menyusuri jalan tak beraspal sepanjang 5 km di bawah sengatan matahari. Badannya kurus kecil, dibalik stagennya ada buku yang sengaja disembunyikan untuk suaminya. Puasanya selama satu minggu berbuah hasil, badannya mengurus sedikit. Dengan mudah buku itu masuk ke dalam stagennya tanpa harus mengundang kecurigaan dari sipir penjara. Kuncup bibirnya merekah ketika satu langkah lagi dia tiba pada pintu penjara. Matanya berbinar menyiratkan kerinduan yang hampir surut jika saja waktu besuknya diundur.  Bertemu dengan Kusno itu adalah hal yang selalu dinantikannya. Kusno adalah belahan jiwa yang tengah larut dalam duka. Gelora perjuangan yang menggelegak dalam tubuh suaminya itu yang menyebabkan keadaanya kini. Kusno harus berada dalam sel berukuran 1x1 meter kecil dan lembab, hingga tidurpun harus dilakukannya tanpa posisi terlentang.
Dari penjara Banceuy Kusno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Jaraknya makin jauh dari rumah, tapi demi sebuah kerinduan Inggit masih setia mengunjungi suaminya. Tak jarang Inggit pun berkirim surat cinta yang digulung dalam lintingan rokok untuk mengungkapkan kerinduannya. Dari Sukamiskinlah sejarah terlahir, pidato pledoi Soekarno yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat”

Tak.. Tak.. Tak.



Tak – Tak – Tak
Bunyinya Menghentak
Seperti Anjing yang menyalak
Juga ketika gigi saling beradu menggertak
tak..itu bunyinya

Lalu hening..
kamu lucuti satu persatu
ssshhhh...katamu
mulutku bungkam tapi hatiku tidak
tanganku mengepal, mataku menatapmu nyalang

lalu aku pun merintih dan kamu merasa menang
aku mengerang kamu senang
aku menangis kamu tergelak
permainan usai dan kamu lunglai

tanganku pegal memegang daging tak bertulang
aku mual hendak muntah ketika semua berjejal di mulutku
tak lebih kental dari ingus
tak lebih cair dari air

kuusap pahaku, cairan di mana-mana
bercampur dengan air mata
hingga sukar kubedakan
mana benih mana hasil

di mana kalian?ibu..ayah
di mana Kau Tuhan
ini ketiga kalinya
rok seragam sekolah berwarna merah harus basah
bukan karena air tapi merah seperti darah

penjaga sekolah itu tertawa
satu lagi bocah kena mangsa
aku menangis terbata

tak..tak...tak
suara itu terdengar lagi
aku terpejam, berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini
hingga tak lagi harus kurasai perih yang hebat di selangkangan



cibiru, 4 Juli 2013





Esensi Ramadhan untuk Bocah



Magrib hampir tiba. Seiring senja yang hendak larut, burung pun terbang rapi menuju sarangnya. Teriakan bocah di pekarangan masjid terdengar gaduh sekali. Keriangan mereka memuncak. Ekpresi yang tak tergambarkan ketika muadzin mulai melapalkan adzan.

Mereka berhamburan keluar dari lingkaran permainan. Bebelotan, boy-boyan, engklek, ucing sumput, gatrik, sapintrong dan berbagai jenis mainan anak sunda lainnya. Pekarangan Masjid ketika sore disulap menjadi taman bermain kanak-kanak tak berbayar. Mereka tak lagi peduli dengan siapa yang menang dan kalah. Berlarian menuju kantin depan masjid. Bagi mereka seteguk air limun lima ratus menjadi puncak kebahagian di hari itu.

Kantin abah penuh dengan bocah. Soun dan sambelnya, kurupuk, gorengan, urab, lotek menjadi menu istimewa ketika magrib hampir tiba. Tangan-tangan kecil berlomba membeli makanan, abah melayani dengan penuh senyum. “Allahumma laka sumtu wabika amantu...”, ujarnya dalam hati. Denting sendok segera beradu pada semangkuk kolak pisang. Keriaan yang tergambar pada wajah bocah seolah melengkapi pahala puasa hari ini. Mulut bocah-bocah itu penuh dengan makanan, setelah makanan kecil habis merekapun berlarian pulang untuk segera menandaskan apa yang tersisa di meja makan.

Wednesday, July 3, 2013

Simpati Untuk Sampang dan Bapak Presiden

Pagi ini ada gurat-gurat kecemasan dari tiap-tiap wajah bocah, perempuan-perempuan dan lelaki.  Mulut kami tak berhenti mengucapkan doa dan takbir. Pikiran kami melulu pada Tuhan dan kekasihNya. Tangan dan kaki kami berkeringat dingin dipenuhi dengan pikiran buruk yang sebenarnya tidak ingin kami pikirkan. Beberapa kilometer dari tempat kami berada, sekelompok orang sedang meluapkan kebencian melalui aksara. Kata-kata “mereka sesat” selalu disebutkan dan segera diamini oleh sekelompok massa yang kebanyakan masih sangat muda.

Masih terbayang di ingatan kami bagaimana pengusiran itu bermula 9 bulan lalu. Ketika rumah dan barang-barang kami habis dibakar massa, hanya karena kami berbeda. Bukan yang pertama kalinya dan sepertinya ini tidak jadi yang terakhir. Pengusiran dengan cara yang sama. Alasan relokasi yang berulang, sampai kami merasa bosan. Ya kami minoritas, meskipun mungkin banyak kesamaan antara kita.

Luka itu kembali menganga. Belum sembuh rasanya ketika kami harus kembali mengingat. Ketika itu mereka berjalan cepat ke arah kami, mengacung-acungkan senjata tajam dan berteriak “Allahu akbar”. Merangsek bergerak maju ke arah kami, mendobrak pintu, memecahkan kaca  dan menumpahkan bensin. Sebatang korek api pun menjadi tonggak pencerita sejarah. Asap-asap hitam segera mengangkasa, menitipkan cerita pada pohon-pohon dan atap-atap rumah yang dilaluinya, sebagai pertanda bahwa hari itu pernah ada. Rengekan bayi, tangisan perempuan, jerit ketakutan menghasilkan memar dan lumuran darah di kening para lelaki. Kami pergi dengan mobil pick up dan truk-truk yang sudah disediakan negara oleh kami. Kami harus merelakan rumah dan tanah yang kami beli dengan uang sendiri untuk tidak lagi kami tinggali. Kami pergi karena terusir dari rumah kami sendiri.



Sunday, May 26, 2013

Cerita Perjalanan (Bagian 1)


Hari itu minggu, aku bergegas ketika lembayung fajar mulai membentang, merapikan rambut dan baju, menyiapkan ransel yang sudah dipenuhi camilan, mencari sandal jepitku, lalu melangkah menuju stasiun diiringi kokok ayam yang datang kesiangan.

Kotak besi itu terlihat dari kejauhan bunyinya selalu serupa, seolah tak pernah melewati berbagai lapisan zaman, aku mendapatkan tiket di kelas bisnis, perjalanan kali ini menuju Kota Budaya, tentunya akan melelahkan begitu kutahu aku hanya kebagian tiket kelas bisnis. Akupun mulai mencari tempat duduk yang tertera di tiket.

kereta mulai bergerak, raut wajah orang yang ditinggalkan di stasiun menjadi pemandangan yang mewah, ekspresi mereka ketika ditinggal pergi oleh keluarga ataupun kekasihnya tidak  bisa dirangkai dalam balutan kata, lambaian tangan yang tak juga turun sampai kotak besi ini hanya menyisakan titik di mata mereka.

Perkawinan antara gesekan roda dengan rel kereta api mulai terdengar, menciptakan bunyi yang magis, aku selalu terperdaya pada bunyinya yang membangkitkan memori ingatan, baik secara brutal ataupun pelan-pelan. Frame-frame penuh cerita mulai hadir di benakku,  rasa sakit, tawa, bahagia, kesedihan menjelma di detik yang berdekatan, tidak terhenti di situ suasana melankoli makin membuncah ketika pemandangan klasik mulai menghampar menjadi santapan mata yang sudah jengah dengan gedung-gedung bertingkat, musim panen sudah lewat, padi-padi yang baru semata kaki memenuhi pandangan mata.


Monday, May 20, 2013

Cinta dalam Sekeping Koin


Warna kuning keemasan dalam koin itu mengkilat seolah menyerap senja yang baru saja lengser, senja yang memudar perlahan mengundang ribuan burung walet membentuk barisan cantik di angkasa terbang menuju rumahnya, pemandangan yang mewah katamu. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKmc4_SwYOjkVf_QR56fEkrXpKZqjyMsdStuYBIgf-JJF60s4htwpxDhKIsGj5LYQz7yTH90H8w4Sthutl-RaXYI0Z9y56BNj5aX5VwR6qYRKMvoO_rY_eu6HaupSS6DgLrYdR_AzhLYWq/s400/koin_emas.jpg

Lalu senja yang terserap dalam koin itu kamu bagi ke seluruh tubuhku, punggung, pundak, bahu, tangan, tanganmu begitu terlatih membagi senja. Kamu bilang, senja adalah kesederhanaan, warnanya tidak menyilaukan, tetapi meneduhkan. Bercerita tentang senja aku jadi ingat pada sepotong senja yang dikirimkan Sukab untuk Alina, senja yang dikerat Sukab dari langit, disisipkannya pada amplop, amplop di tutup rapat agar senja tak membaur. Ketika Alina membuka amplopnya maka senja pun memendar ke seluruh ruangan, rambut Alina menjadi kuning keemasan, senja yang terkerat pun tak marah, dia malah sumringah, sepotong badannya bisa membuat arti.

Tuesday, May 14, 2013

Ketika Kuantitas mendefinisikan Kenormalan

http://haritsaja.files.wordpress.com/2011/12/bodoh_dan_bingung1.jpg

Saya menulis, karena saya sudah terlalu gerah dengan suara-suara yang lantang meneriakkan kenormalan, dimasyarakat kita yang masih menganut sistem “keturunan” dan “konservatif”, sesuatu baru dianggap normal jika berjumlah banyak. Jika jumlahnya sedikit maka dia adalah abnormal.

Contoh, ketika perempuan menikah di usia 20 – 25 tahun maka dia dianggap normal, lebih dari usia diatas, suara-suara miring makin terdengar nyaring. Memang saya setuju bukan tanpa alasan kebanyakan orang menyuarakan agar menikah di rentang usia tersebut, masa produktif wanita yang terbatas adalah faktor utama kenapa menikah seperti sebuah perlombaan, berlomba-lomba memproduksi keturunan sebelum masa produksi habis.

Menikah bukan lagi upacara sakral, tapi sebuah upacara yang terburu-buru. Alasan pernikahan pun menjadi beragam, dari mulai ingin meningkatkan status sosial, ingin punya anak, takut tidak ada jodoh lagi, menghindari omongan kerabat dan tetangga, sampai status klasik yaitu ingin melegalkan cinta.

Definisi pernikahan di indonesia menurut UU no 1 tahun 1974 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi ini menurut saya terlalu sempit, dan terbatas. Yang kemudian tergambar oleh pasutri adalah terburu-buru membuat keturunan, tanpa menikmati arti ikatan tersebut. Dalam Undang-undang tersebut seolah dibenarkan jika pernikahan dengan paksaan, pernikahan dengan yang belum matang pun sepertinya dibolehkan, yang jelas disana hanya berdasarkan gender, ada pria ada wanita maka boleh menikah.

Pulang



Kali ini kamu benar-benar “pulang”, wajahmu sumringah menyambut hari kepulangan itu tiba, kamu mendadak sehat, wajahmu segar, senyummu mengembang, biasanya yang kulihat hanya pucat, sekarang darah ditubuhmu sepertinya mengalir lagi, degup jantungmu juga berdetak normal, talunya terdengar oleh telingaku, aku senang, penyakit-penyakit itu sepertinya pelan-pelan memudar dari tubuhmu. 

Kemarin, kamu bercerita banyak tentang kisah kekasihmu itu, yang dengan setia kamu sebut “kanjeng rasul”, aku manggut-manggut, lalu kamu bercerita tentang kewajiban setiap muslim untuk memelihara anak yatim, mendengar kata yatim hatiku mencelos, aku tak nyaman dengan kata-kata itu, tapi kamu terlalu antusias untuk terus bercerita.

Makanmu banyak, dan kamu tak muntah. Batukmu pun mereda, dengan kondisi yang dirasa sehat kamu memainkan keyboard, menyanyikan lagu elegi esok pagi-nya Ebiet G. Ade, aku mendekat sambil kuambil gitar, dan aku mengalun denganmu, di depan kamar kulihat sosok perempuan yang tersenyum kepada kita, ditangannya ada dua air teh hangat, kita saling mengedip, suaraku menyelinap dibalik jari-jemarimu yang mahir memainkan tuts-tuts keyboard itu.

Thursday, April 25, 2013

Cinta


Aku memilih satu cinta, diantara banyaknya pilihan, cinta yang kutemukan tanpa sengaja diantara langkah-langkah saling mendahului para pejalan kaki sore itu, klakson mobil yang bersahut-sahutan sangat payah, membuat negeri yang kutinggali ini menjadi negeri yang beradab. 

Cinta yang masih mentah, aku sama sekali belum berpikir akan membentuknya seperti apa. Mungkin agar menjadi manis, akan kutambahi banyak madu dan gula, tapi aku tak mau membuatnya legit, seret di kerongkongan, aku berpikir ratusan kali untuk membuat citarasanya pas. 

Mungkin sebagian orang akan menganggapku bodoh atau bahkan gila, karena cinta yang kupilih terlalu biasa, mustinya aku mendapatkan yang istimewa kata mereka. Aku tersenyum kecut, aku telah memilih cinta itu, pilihan yang akan selalu kupertanggungjawaban hingga waktu lelah dengan sendirinya. 

Sunday, April 21, 2013

Kartini


Ini tanggal 21 april, sebagian besar orang mengenalnya dengan hari kartini, pahlawan nasional ke-23, dan pahlawan perempuan ke-3 setelah Dewi Sartika dan Cut Mutia. Pada tanggal tersebut Kartini hadir di setiap sudut kota, di Taman Kanak-kanak, instansi-instansi pemerintah, sanggul dan kebaya menjadi ciri tentangnya. 

Buah pemikiran Kartini dewasa ini dipersempit sebatas penanda sanggul dan kebaya. Padahal yang dilakukan Kartini lebih dari sebuah pergerakan perang fisik, jika Cut Nyak Dien dan Keumala Hayati menjadi sosok yang muncul gemilang pada masanya karena melawan penjajah dengan perang, maka Kartini cukup berperang dengan pena-nya mendobrak sistem feodalisme pada masa itu. Kehampaan Kartini akan hidupnya jelas tergambar dari tulisan-tulisannya, jika saja Kartini diberi waktu hidup lebih lama mungkin saja pemikirannya tidak sebatas pemikiran tapi dia menikmati buah pikirannya itu, atau bisa saja sebaliknya, setelah pernikahannya dengan seorang bupati mungkin dia akan menjadi ibu rumah tangga biasa, sesuai sistem yang berlaku saat itu, dimana peran seorang istri sama halnya dengan budak.

Monday, January 7, 2013

Tidak Cukupkah?


Aku telah begitu terbiasa dengan suara-suara, dengan petikan gitar, dengan berbagi banyak hal denganmu. Aku jadi ingat pada salah satu senja yang kita pilih, kita duduk di tengah hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di lingkungan kampus terkenal itu, lalu seperti biasa tanganmu terampil memetik dawai, lagu-lagu yang tak pernah selesai, lirik-lirik yang berantakan, nada-nada yang ketinggian, tapi dengan begitu kamu sempurna dimataku. Aku menyimak semua ketidaksempurnaan itu dari awal hingga selesai, hingga tanganmu memutuskan berhenti.
Sudah… tanyaku?senja ini, kamu baru saja menuntaskan 3 lagu dengan lirik yang hampir setengahnya kamu lupa, kamu tersenyum malu… ya aku menikmati ini, senja dengan lagu yang tak pernah selesai.
Kamu masih ingat, ketika bulan masih siaga, kamu menceritakan kepadaku tentang dongeng di masa lampau, dongeng yang kamu pilih untuk mengantarkanku tidur, kali ini pun aku menyimak sambil mengantuk, tetapi bukankah itu yang kamu tuju?mengantarkanku pada batas sadar, meyilakanku masuk lebih awal ke gerbang mimpi untuk sesudahnya aku menunggumu di sana, terkadang kamu terlalu sibuk dengan aturan penulisan tugas akhirmu hingga akupun harus menunggu lama untuk berdua kamu di alam mimpi, kamu ingat?kamu melakukannya hampir setiap malam… membiarkanku menunggu terlalu lama, hingga akhirnya terkadang aku melakukan banyak hal yang tidak jelas, melompat, menyanyi dengan suara seadanya, bermain bersama kupu-kupu, bunga dan kumbang yang terbang tanpa aturan.
Aku selalu berharap matahari datang lebih lambat agar aku bisa lebih menikmati malam dengan panjang, tapi sayang matahari tak pernah ingkar janji, dia selalu pasti untuk terbit dan tenggelam sesuai aturan, lagi-lagi aku mengalah pada siklus semesta.
Dan kini…
Aku nikmati alunan suara saras dewi di earphone dengan hati yang entah tertuju kemana, yang kutahu hanya mataku basah, ada yang sakit di dada ini, terlalu banyak hal yang kamu tanyakan dengan jawaban yang tak pernah ada.
Lembayung Bali ini sudah kuputar untuk ke-tiga kalinya, suaranya semakin memelan kalah oleh suara hatiku yang menghentak-hentak, meminta banyak penjelasan darimu, mengapa semua harus kamu dengar secara lisan?tidak cukupkah semua yang kulakukan ini…?

Drama


Satu demi satu kebohongan itu akhirnya nampak
Menjelma lugas keluar dari rerimbunan
Aku tinggal menyaksikan rentetan drama
Seperti menonton film,
Tiba bagian klimaks
Kuhela nafas panjang
Menahan air mata yang tergesa keluar
Sudah..sudah, semua sudah usai
Ucapku pada diri
Rentetan drama akhirnya usai kutonton
Bertepuk tangan seolah menyoraki diri sendiri
Memberi selamat kepada para pemain
Dan segera kuhadiahi hatiku dengan kata “hebat” bertubi-tubi.