Tuesday, October 1, 2013

Non Nova



Aku berkesempatan menonton pertunjukan sirkus kontemporer Non Nova yang digelar di IFI Bandung. Sirkus yang berasal dari Perancis ini mengisi rangkaian kegiatan bulan sastra selama september-oktober yang digelar di beberapa kota besar.

Tepat jam empat, diantar oleh suara hujan aku memasuki ruang auditorium. Dingin dan gelap langsung menyergap. Tempat pementasan dibuat melingkar, dengan tata cahaya yang pas dilengkapi blower sebagai perangkat acara. Seorang pemain duduk di tengah dengan 2 buah kantung plastik yang diletakkan di lantai, lalu tangannya dengan pelan mulai menggunting bagian sisi dari kantung plastik tersebut. Kedua kantung plastik itu dibentuknya menyerupai manusia, yang punya kepala, dua tangan dan kaki.



Plastik yang sudah berbentuk manusia itu, mulai bergerak naik. Blower yang menghasilkan angin berhasil menerbangkan plastik itu, plastik itu pun terangkat, gerakannya seperti orang menari balet. Plastik itu terus menari, awalnya hanya sendiri. Lalu pemain melemparkan banyak plastik ke tengah panggung, plastik yang terbang menari pun semakin banyak. Gerakannya memang tak teratur, tapi tetap cantik.

Tiga puluh menit berlalu, plastik-plastik itu bermain drama. Klimaks acara muncul ketika plastik mulai bergerak semaunya. Pemain sirkus memainkan blower. Hingga plastik-plastik itu terlihat kelelahan menari. Ketika blower di matikan plastik-plastik itupun roboh. Melantai dan terlihat nelangsa.

Melihat pementasan itu aku jadi teringat tentang fase hidup. Di mulai hanya dari bahan dasar kantung plastik lalu dibuatnya menjadi bentuk manusia. Kita pun bisa berubah, perubahan kita dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang terdekat. Orang-orang terdekat tidak selalu bisa membuat kita hebat, bahkan banyak yang menenggelamkan. Sulit mencari orang yang bisa memandang kita sebagai ‘manusia’ biasa, tanpa dilengkapi embel-embel adik, kakak, pacar, sahabat atau bahkan anak sekalipun.

Ketika plastik berbentuk manusia itu mulai bergerak naik dan menari, ada pencapaian di sana. Plastik-plastik itu seperti sedang merayakan kebahagiaan, mereka melebur satu sama lain. Blower mengambil peran penting. Hingga plastik itu menjadi sesuatu, bukan lagi benda mati. Hidup dan mengambil peran sebagai penari, memanjakan mata penonton. 

Plastik-plastik itu sebenarnya bisa membuat pilihan, dia tetap melantai atau terbang. Tapi sepertinya syndrom seragam dan menjadi standar sama seperti lainnya itu yang mereka anut. Dia seperti tahu konsekuensinya, ketika dia tetap melantai, dia tak akan dilirik oleh mata pengunjung. Mata pengunjung hanya akan memuji plastik-plastik yang menari. Akhirnya keterpaksaan pun hadir dalam dunia panggung yang kecil ini. Semua berlomba memuaskan mata pengunjung, tidak menjadi dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan penyematan ‘manusia’ normal.

Setiap permulaan pasti akan mengalami akhir. Detik dan peristiwa adalah pelengkap dalam pementasan. Pada akhirnya ketika lampu ruangan mulai di nyalakan itu tandanya pertunjukan berakhir. Blower dimatikan dan plastik-plastik itu pun tanpa daya.

Aku jadi teringat, ketika suatu saat nanti waktuku telah habis. Bagaimana aku akan dikenang?
Karena aku melihat plastik-plastik yang tanpa daya itu roboh dengan cara yang sama. Tak bisa lagi dibedakan mana plastik yang punya karakter dan yang tidak, aku bahkan lupa dengan beragam banyak warna plastik tadi. Perhatianku terpusat pada plastik-plastik yang menari, karena semua bergerak seragam. Tak ada kecuali.

Hidup tak mengharuskan kita menjadi plagiat, menjadi sama seperti orang lain. Menjadi penurut tanpa pernah bertanya, yang hanya mengikuti tanpa memahami.  Bukankah kepedihan, rasa bahagia dan harapan dibagi dalam beragam cara agar kita bisa bertahan, tak mesti serupa dengan yang lain.

Malam telah turun tanpa gerutu dan tanpa siasat. Seperti masa depan yang tak bisa diraba. Akupun bergegas pulang.


__________________________
Ket : gambar di pinjam dari sini

No comments:

Post a Comment