Aku berkesempatan menonton pertunjukan
sirkus kontemporer Non Nova yang digelar di IFI Bandung. Sirkus yang berasal
dari Perancis ini mengisi rangkaian kegiatan bulan sastra selama
september-oktober yang digelar di beberapa kota besar.
Tepat jam empat, diantar oleh suara hujan aku memasuki ruang
auditorium. Dingin dan gelap langsung menyergap. Tempat pementasan dibuat
melingkar, dengan tata cahaya yang pas dilengkapi blower sebagai perangkat
acara. Seorang pemain duduk di tengah dengan 2 buah kantung plastik yang
diletakkan di lantai, lalu tangannya dengan pelan mulai menggunting bagian sisi
dari kantung plastik tersebut. Kedua kantung plastik itu dibentuknya menyerupai
manusia, yang punya kepala, dua tangan dan kaki.
Plastik yang sudah berbentuk manusia itu, mulai bergerak
naik. Blower yang menghasilkan angin berhasil menerbangkan plastik itu, plastik
itu pun terangkat, gerakannya seperti orang menari balet. Plastik itu terus
menari, awalnya hanya sendiri. Lalu pemain melemparkan banyak plastik ke tengah
panggung, plastik yang terbang menari pun semakin banyak. Gerakannya memang tak
teratur, tapi tetap cantik.
Tiga puluh menit berlalu, plastik-plastik itu bermain drama.
Klimaks acara muncul ketika plastik mulai bergerak semaunya. Pemain sirkus
memainkan blower. Hingga plastik-plastik itu terlihat kelelahan menari. Ketika
blower di matikan plastik-plastik itupun roboh. Melantai dan terlihat nelangsa.
Melihat pementasan itu aku jadi teringat tentang fase hidup.
Di mulai hanya dari bahan dasar kantung plastik lalu dibuatnya menjadi bentuk
manusia. Kita pun bisa berubah, perubahan kita dipengaruhi oleh lingkungan dan
orang-orang terdekat. Orang-orang terdekat tidak selalu bisa membuat kita
hebat, bahkan banyak yang menenggelamkan. Sulit mencari orang yang bisa
memandang kita sebagai ‘manusia’ biasa, tanpa dilengkapi embel-embel adik,
kakak, pacar, sahabat atau bahkan anak sekalipun.
Ketika plastik berbentuk manusia itu mulai bergerak naik dan
menari, ada pencapaian di sana. Plastik-plastik itu seperti sedang merayakan
kebahagiaan, mereka melebur satu sama lain. Blower mengambil peran penting.
Hingga plastik itu menjadi sesuatu, bukan lagi benda mati. Hidup dan mengambil
peran sebagai penari, memanjakan mata penonton.
Plastik-plastik itu sebenarnya bisa membuat pilihan, dia
tetap melantai atau terbang. Tapi sepertinya syndrom seragam dan menjadi standar sama seperti lainnya itu yang
mereka anut. Dia seperti tahu konsekuensinya, ketika dia tetap melantai, dia
tak akan dilirik oleh mata pengunjung. Mata pengunjung hanya akan memuji
plastik-plastik yang menari. Akhirnya keterpaksaan pun hadir dalam dunia
panggung yang kecil ini. Semua berlomba memuaskan mata pengunjung, tidak
menjadi dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan penyematan ‘manusia’ normal.
Setiap permulaan pasti akan mengalami akhir. Detik dan
peristiwa adalah pelengkap dalam pementasan. Pada akhirnya ketika lampu ruangan
mulai di nyalakan itu tandanya pertunjukan berakhir. Blower dimatikan dan
plastik-plastik itu pun tanpa daya.
Aku jadi teringat, ketika suatu saat nanti waktuku telah
habis. Bagaimana aku akan dikenang?
Karena aku melihat plastik-plastik yang tanpa daya itu roboh
dengan cara yang sama. Tak bisa lagi dibedakan mana plastik yang punya karakter
dan yang tidak, aku bahkan lupa dengan beragam banyak warna plastik tadi.
Perhatianku terpusat pada plastik-plastik yang menari, karena semua bergerak
seragam. Tak ada kecuali.
Hidup tak mengharuskan
kita menjadi plagiat, menjadi sama seperti orang lain. Menjadi penurut tanpa
pernah bertanya, yang hanya mengikuti tanpa memahami. Bukankah kepedihan, rasa bahagia dan harapan
dibagi dalam beragam cara agar kita bisa bertahan, tak mesti serupa dengan yang
lain.
Malam telah turun tanpa gerutu dan tanpa siasat. Seperti
masa depan yang tak bisa diraba. Akupun bergegas pulang.
__________________________
Ket : gambar di pinjam dari sini
No comments:
Post a Comment