Malam menjadi berbeda kali ini. Taman Budaya
Bandung menyuguhkan cerita. Seorang perempuan yang tengah tertidur menjadi
pembuka acara, desah nafasnya yang teratur menjadi backsound panggung, kita
menjadi salah satu di antara 250 orang penonton yang hadir. Tiba-tiba perempuan
yang sedang tertidur itu mulai bermonolog dengan suara yang bergetar dan
tertahan mengungkapkan kekecewaannya akan laki-laki yang dia cintai tapi tidak
pantas untuk dicintai. Laki-laki yang pergi tanpa
pesan.
Perempuan itu kita mengenalnya Sha Ine Febriyanti. Ine
memainkan 8 karakter perempuan Yunani yang kecewa dengan
laki-laki pasangannya, laki-laki yang meninggalkan mereka
akibat perang Troya.
Ine tak sendiri, ditemani Anthony seorang
pemain sirkus dan sebagai lawan monolog Ine. Monolog Ine di adopsi dari karya
Ovid, penyair Romawi yang telah menghasilkan banyak karya. Ine mewakili
perempuan yang banyak memendam rasa, lugas berbicara tentang kepedihan melalui
suara, ekspresi dan gerak tubuh. Sedangkan Anthony dengan gesit memainkan tali
yang telah tergantung. Pertunjukan pun menjadi klimaks ketika turun hujan
buatan di atas panggung. Seketika Ine dan Anthony pun basah. Seperti sudah
sifat hujan bahwa hujan sebagai media pengantar mencapai keheningan, maka dalam
drama Drop pun, hujan tak hanya sebagai media tetapi menjadi bagian dari
pelaku.
8 Tokoh perempuan Yunani yang di perankan Ine
berhasil memikat pengunjung. Kata-kata kritis dan romantis hadir dalam monolog
yang dibawakan Ine. Seperti kata-kata Ibu Tiri Theseus yang melekat dalam benak
saya “jika cinta hadir terlalu tua, maka dia akan membabi buta”.
Salah seorang dari 8 perempuan yang diperankan
Ine menulis banyak surat untuk lelakinya itu. Surat-surat itu disimpannya hingga menjadi
gunungan kertas, tak pernah satupun terbalas. Lalu Ine dengan beringas penuh emosi marah melemparkan
gunungan kertas itu ke udara ke wajah Anthoni, Anthoni hanya diam mendengarkan
suara Ine yang penuh marah.
Drama yang dipertontonkon Ine kali ini buat
saya tidak hanya sekedar monolog biasa. Tetapi monolog yang kritis dan faktual,
saya jadi ingat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia yang juga
mewakili jeritan perempuan sebut saja Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari. Rasus pria yang dicintainya pergi begitu saja, juga ketiga Bajus
pria setelah Rasus yang dicintainya malah menjualnya kepada laki-laki hidung
belang.
Ine memerankan kisah ibu yang jatuh cinta pada
anak tirinya, sekilas saya ingat dengan Ontosoroh yang tertarik pada Minke
suami Annelis putrinya di Bumi Manusia Pramodya Ananta Toer.
Penderitaan perempuan juga tergambar pada
novel-novel Oka Rusmini, Tarian bumi,
Entrok karya Okky Madasari, juga karya Dee Lestari Perahu Kertas tentang Kugy
yang ditinggalkan oleh Keenan.
Perempuan-perempuan itu selalu berpengharapan
atas laki-lakinya. Mereka merajut mimpi setiap malam. Dijadikannya matahari
sebagai penanda tentang waktu, teman setia menghisap kopi setiap pagi dan
pendengar tentang mimpi semalam.
Perempuan-perempuan itu rela menunggu.
Bertaruh dengan waktu dan usia. Demi kamu. Ya.. kamu, kalian... kekasih. Meski
kalian terlampau sibuk tidur di ranjang yang berbeda setiap malam.
Ine. perempuan. Suaranya adalah suara
perempuan. Drop berhasil mengantarkan Ine menjadi penyampai pesan pada banyak
perempuan yang hadir khususnya untuk mendengarkan dan memahami tentang apa yang
tidak dipahami sebelumnya. Suara Ine yang menggaung dalam atap gedung menelusup
melalui celah-celah pintu, kursi penonton, cahaya panggung dan akhirnya masuk dalam
tiap-tiap sukma para penonton. Ine berhasil membius dengan ekspresi yang rapih
tanpa cela, molonog yang lancar tanpa salah, gerakan yang luwes tanpa cidera
dan tentu saja dengan tiap kata yang diucapkannya yang sarat makna.
Ine dan Drop, membanggakan.
---------------------------
DROP dipentaskan di Taman Budaya Bandung 6 Juni 2014
ket : gambar hasil dokumentasi Dyah Murwaningrum @Dymurwaningrum
No comments:
Post a Comment