Thursday, June 12, 2014

'DROP' Ine dan Suara Perempuan


Malam menjadi berbeda kali ini. Taman Budaya Bandung menyuguhkan cerita. Seorang perempuan yang tengah tertidur menjadi pembuka acara, desah nafasnya yang teratur menjadi backsound panggung, kita menjadi salah satu di antara 250 orang penonton yang hadir. Tiba-tiba perempuan yang sedang tertidur itu mulai bermonolog dengan suara yang bergetar dan tertahan mengungkapkan kekecewaannya akan laki-laki yang dia cintai tapi tidak pantas untuk dicintai. Laki-laki yang pergi tanpa pesan.


Perempuan itu kita mengenalnya Sha Ine Febriyanti. Ine memainkan 8 karakter perempuan Yunani yang kecewa dengan laki-laki pasangannya, laki-laki yang meninggalkan mereka akibat perang Troya.

Ine tak sendiri, ditemani Anthony seorang pemain sirkus dan sebagai lawan monolog Ine. Monolog Ine di adopsi dari karya Ovid, penyair Romawi yang telah menghasilkan banyak karya. Ine mewakili perempuan yang banyak memendam rasa, lugas berbicara tentang kepedihan melalui suara, ekspresi dan gerak tubuh. Sedangkan Anthony dengan gesit memainkan tali yang telah tergantung. Pertunjukan pun menjadi klimaks ketika turun hujan buatan di atas panggung. Seketika Ine dan Anthony pun basah. Seperti sudah sifat hujan bahwa hujan sebagai media pengantar mencapai keheningan, maka dalam drama Drop pun, hujan tak hanya sebagai media tetapi menjadi bagian dari pelaku.


8 Tokoh perempuan Yunani yang di perankan Ine berhasil memikat pengunjung. Kata-kata kritis dan romantis hadir dalam monolog yang dibawakan Ine. Seperti kata-kata Ibu Tiri Theseus yang melekat dalam benak saya “jika cinta hadir terlalu tua, maka dia akan membabi buta”.

Salah seorang dari 8 perempuan yang diperankan Ine menulis banyak surat untuk lelakinya itu. Surat-surat itu disimpannya hingga menjadi gunungan kertas, tak pernah satupun terbalas. Lalu Ine dengan beringas penuh emosi marah melemparkan gunungan kertas itu ke udara ke wajah Anthoni, Anthoni hanya diam mendengarkan suara Ine yang penuh marah.

Drama yang dipertontonkon Ine kali ini buat saya tidak hanya sekedar monolog biasa. Tetapi monolog yang kritis dan faktual, saya jadi ingat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia yang juga mewakili jeritan perempuan sebut saja Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Rasus pria yang dicintainya pergi begitu saja, juga ketiga Bajus pria setelah Rasus yang dicintainya malah menjualnya kepada laki-laki hidung belang.

Ine memerankan kisah ibu yang jatuh cinta pada anak tirinya, sekilas saya ingat dengan Ontosoroh yang tertarik pada Minke suami Annelis putrinya di Bumi Manusia Pramodya Ananta Toer.
Penderitaan perempuan juga tergambar pada novel-novel Oka Rusmini, Tarian bumi, Entrok karya Okky Madasari, juga karya Dee Lestari Perahu Kertas tentang Kugy yang ditinggalkan oleh Keenan.
Perempuan-perempuan itu selalu berpengharapan atas laki-lakinya. Mereka merajut mimpi setiap malam. Dijadikannya matahari sebagai penanda tentang waktu, teman setia menghisap kopi setiap pagi dan pendengar tentang mimpi semalam.

Perempuan-perempuan itu rela menunggu. Bertaruh dengan waktu dan usia. Demi kamu. Ya.. kamu, kalian... kekasih. Meski kalian terlampau sibuk tidur di ranjang yang berbeda setiap malam.


Ine. perempuan. Suaranya adalah suara perempuan. Drop berhasil mengantarkan Ine menjadi penyampai pesan pada banyak perempuan yang hadir khususnya untuk mendengarkan dan memahami tentang apa yang tidak dipahami sebelumnya. Suara Ine yang menggaung dalam atap gedung menelusup melalui celah-celah pintu, kursi penonton, cahaya panggung dan akhirnya masuk dalam tiap-tiap sukma para penonton. Ine berhasil membius dengan ekspresi yang rapih tanpa cela, molonog yang lancar tanpa salah, gerakan yang luwes tanpa cidera dan tentu saja dengan tiap kata yang diucapkannya yang sarat makna.


Ine dan Drop, membanggakan.


---------------------------
DROP dipentaskan di Taman Budaya Bandung 6 Juni 2014
ket : gambar hasil dokumentasi Dyah Murwaningrum @Dymurwaningrum

No comments:

Post a Comment