Aku tenggelam dalam negeri tak bernama. Di pulau-pulau yang
hanya berpenghuni sedikit. Ada laut dengan pantainya yang indah. Senja yang
selalu hadir tepat waktu dengan warna jingganya yang pekat. Angin yang
bersahabat. Matahari yang tidak garang juga hujan yang datang sesekali.
Ada beberapa kepiting di pantai yang biasanya akan kukejar.
Rumah-rumah siput yang masih berpenghuni menjadi teman keseharianku.
Jauh dari dunia modernitas. Tidak ada polusi. Tidak ada
bangunan menjulang tinggi. Yang terlihat adalah atap-atap rumah dari kayu.
Rumah dari kayu. Jendela-jendela kaca yang besar. Pohon-pohon kelapa dan palem
di samping rumah. Rumah tanpa pagar.
Aku dan beberapa orang yang memilih tinggal di negeri tak
bernama ini melakukan rutinitas senin pagi. Beberapa dari kami menamakan dengan
ekstrim bahwa kami penganut sekte senin pagi. Kumpulan orang-orang yang
memasrahkan dirinya pada alam. Memaksimalkan isyarat dan pertanda, membaca
pola, menganalisis situasi, mendengar lebih banyak, berbicara lebih sedikit.
Biasanya sekitar dua jam, kami akan diingatkan tentang kami
sepuluh tahun yang lalu sebelum memulai kehidupan di negeri tak bernama ini.
Lalu kami pun akan mulai terisak teringat dulu bagaimana kami menjadi bagian
dari orang-orang yang haus akan kekuasaan. Menabrak keadilan seenaknya,
meremehkan orang-orang kecil, melakukan segalanya demi uang, gelar dan titel
hanyalah tameng, pendidikan yang tinggi tak menjadikan kami manusia yang lebih
beradab, bahkan banyak dari kami yang menjual agama dan Tuhan untuk uang.
Kami saling berpegangan, menggenggam. Meditasi, ini namanya.
Suatu kondisi untuk menenangkan katanya. Tapi meditasi ternyata tak
menenangkan, masalah malah bermunculan lebih banyak. Masalah tidak pernah
hilang, tidak pernah pergi, dia hanya mengendap menunggu waktu untuk keluar
dari permukaan. Di kelas senin pagi, kami membuat permainan. Permainan
sederhana yaitu menulis tentang masa kecil. Masa kecil yang dimiliki semua
orang, seingatnya saja. Lalu masing-masing dari kami harus menceritakan apa
yang kami tulis, gelak tawa langsung terdengar, tak jarang isakan pun mulai
hadir. Dari sesi ini kami belajar tentang menghargai waktu, fase. Fase berperan
penting untuk mengantarkan kita ke masa sekarang ini. Kenapa kami memilih masa
kecil? Karena dunia anak kecil hampir seragam, kesenangan anak kecil adalah
kepuasan batin. Sesederhana main air hujan, tanah, kelereng, bongkar pasang,
engklek dan petak umpet. Masa kecil belum di bumbui dengan uang, uang yang
didewakan oleh orang-orang dewasa.
Ada ketentraman batin yang luar biasa hadir setelah meditasi
ini selesai. Apakah itu berarti kami telah menyelesaikan masalah?tidak. kami
hanya tahu cara mengendalikan masalah, emosi, dan pikiran.
Di negeri tak bernama ini kami berpenghidupan menjadi kurir. Pengantar pesan. Pesan imajiner. Yang memakai jasa kami adalah para penghuni di Negeri Senja. Cara kami berinteraksi adalah dengan telepati. Kadang kami kirim pesan-pesan itu melewati mimpi.
Orang-orang di luar negeri tak bernama ini mengatakan kami
hebat. Tidak, kami tak hebat. Kalian juga bisa melakukannya. Bersahabatlah
dengan alam, alam akan menggiringmu membaca pertanda.
Aku dan beberapa orang yang tinggal di negeri tak bernama ini tak mengenal waktu. Kami tak pernah menua. Tidak ada tanda-tanda keriput ataupun uban yang tumbuh disela-sela banyaknya rambut. Kami masih sama dengan ketika pertama kali pindah. Waktu seolah berhenti, tapi kami mengalami pergantian waktu siang dan malam. Bulan selalu hadir dengan sinarnya yang terang, membuat laut dengan ombak kecil tampak kemilau.
Meskipun tempat ini tanpa nama, tapi disini juga ada
restoran. Restoran-restoran yang dibangun di pinggir pantai, lampu-lampunya
berwarna kuning. Musik mengalun syahdu berkejaran dengan suara ombak.
Malam itu aku dan dua orang temanku sengaja bertemu di restoran favorit kami. Tanpa menunggu signal, kami langsung duduk melingkar, tangan kami saling menggenggam. Ini adalah cara kami untuk mengeluarkan sesuatu yang mengendap. Debur ombak menjadi suara pengantar untuk kami menyelami diri. Kami menangis, kami terisak. Di benak kami tiba-tiba langit di Negeri senja membuka, beberapa orang terjun bebas dan mendarat sempurna tak jauh dari kami duduk. Mereka mengambil posisi di samping kami. Tak terasa lingkaran kami makin besar, luas. Ada ruang kosong di tengah-tengah lingkaran. Mata kami terpejam. Pikiran kami berkeliaran ke alamnya sendiri. Tapi kami tahu, kami satu. Dan kami memasrahkan diri pada alam, pada Dia yang lebih besar dari alam.
________________________
Ket : gambar di pinjam dari sini
No comments:
Post a Comment