Siang itu, 29 Oktober 2018, dengan
langkah ringan saya meninggalkan toko buku. Hujan mulai turun tipis-tipis. Toko
buku di jalan Merdeka Bandung ini memang kerap kali menjadi tempat favorit saya
untuk membeli buku, peralatan maupun sekedar membaca.
Saya pun berjalan melewati koridor
yang menghubungkan kedua bangunan. Tepat ketika kaki saya melangkah ke pintu
gedung toko buku untuk menuju tampat parkir tiba-tiba ada yang memanggil nama
saya dengan jelas dan setengah berteriak. Lima detik pertama, saya terpaku.
Rasanya tak percaya dengan apa yang saya lihat. Dengan hati gelisah saya
mendatanginya, mencium tangan perempuan itu.
Dari ujung matanya, saya pun bisa
menangkap perasaannya sedang tak karuan. Mulutnya antusias bertanya banyak hal,
pertanyaan yang remeh temeh, sekedar basa basi. Saya pun menimpalinya dengan
sedikit tidak nyaman. Tanpa sadar, kami berdua ternyata masih menyimpan
perasaan yang belum selesai.
Setelah obrolan basa basi yang
berlangsung lima menit, dengan serta merta ia memeluk saya. Tubuhnya yang
tambun, adalah tubuh yang sering sekali saya peluk, dulu…dulu sekali. Saya
masih dapat membaui aroma parfumnya yang masih sama.
Empat tahun lalu, sepanjang hari
saya selalu bersamanya, menghabiskan waktu dengan bercerita, merenda, tertawa
dan berbelanja kemanapun kami suka juga berdebat tentang pemilihan presiden. Empat tahun lalu, perempuan itu selalu
menyediakan bekal makanan untuk saya, ketika saya akan pergi belajar ataupun
berangkat bekerja. Ia, satu-satunya yang membuat saya bertahan tinggal di rumah.
Siang ini, perempuan itu memeluk
saya sangat erat. Lamat-lamat terdengar suara isaknya. “Maafkan ibu, ibu sayang
denganmu, ibu sungguh sangat sayang”. Saya pun tak kuasa menahan haru. Lintasan
peristwa segera membayang dalam benak. Saya peluk ia dengan rapat. Tubuh kecil
saya dengan penuh ia peluk. “Saya minta maaf, semoga ibu dan bapak sehat”.
Berulang kali saya mengucapkan itu disela-sela isak tangis yang kian kencang. Sepertinya
saya salah mengucap, tangis perempuan itu makin kencang. Ia tangkis segala amarah dan kekecewaan saya. Berulang
kali ia mengucap tentang rasa sayangnya pada saya. Ia seolah ingin dimengerti
bahwa ia sangat sayang.
Hati saya luluh, saya jatuh
dipelukannya yang hangat, menumpahkan segala duka dan kesedihan yang selama ini
saya simpan sendiri. Perempuan itu enggan melepaskan saya, tangannya semakin
kuat, berulang kali kening saya dikecupnya lembut. Tangannya yang besar menggengam
saya, menahan saya, seolah tak ingin saya pergi lagi untuk kedua kalinya.
Beberapa penjaga toko mulai memperhatikan
kami berdua, mereka seperti mendapat tontonan gratis. Perempuan itu tak peduli,
baginya bertemu dengan saya setelah terpisah selama empat tahun menjadi hal
kecil yang diimpikannya.
Isak kami mereda, kami sibuk
mengusap air mata yang membanjir. Seperti yang sudah-sudah, perpisahan harus
terjadi jika kita mendamba pertemuan. Saya pamit padanya, untuk meneruskan
perjalanan. Memeluknya sekali lagi untuk sama-sama menabahkan dan memaafkan.
Binar mata perempuan itu seolah berharap banyak agar kekecewaan di masa lalu segera
di hapus. Perempuan itu, memandang saya lama sekali. Seolah ia sedang mengingat
dan menyesalkan kepergian saya yang tiba-tiba dari rumah. Saya yang saat itu
tak ada niatan untuk pergi, ternyata diharuskan buru-buru berkemas oleh mereka,
perempuan itu dan keluarganya.
Luka itu masih menganga. Hari boleh
berganti tetapi rasa kecewa tak kunjung sembuh. Keputusan gegabah yang saya dan
perempuan itu ambil ternyata menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Siang
itu, saya terkulai lemas. Menjatuhkan diri di mobil sambil mengeja mengapa alam
harus mempertemukan saya dan Dia kembali.
-- RA --
No comments:
Post a Comment