Wednesday, October 31, 2018

Perempuan dalam Pelukan


Siang itu, 29 Oktober 2018, dengan langkah ringan saya meninggalkan toko buku. Hujan mulai turun tipis-tipis. Toko buku di jalan Merdeka Bandung ini memang kerap kali menjadi tempat favorit saya untuk membeli buku, peralatan maupun sekedar membaca.

Saya pun berjalan melewati koridor yang menghubungkan kedua bangunan. Tepat ketika kaki saya melangkah ke pintu gedung toko buku untuk menuju tampat parkir tiba-tiba ada yang memanggil nama saya dengan jelas dan setengah berteriak. Lima detik pertama, saya terpaku. Rasanya tak percaya dengan apa yang saya lihat. Dengan hati gelisah saya mendatanginya, mencium tangan perempuan itu.

Dari ujung matanya, saya pun bisa menangkap perasaannya sedang tak karuan. Mulutnya antusias bertanya banyak hal, pertanyaan yang remeh temeh, sekedar basa basi. Saya pun menimpalinya dengan sedikit tidak nyaman. Tanpa sadar, kami berdua ternyata masih menyimpan perasaan yang belum selesai.

Setelah obrolan basa basi yang berlangsung lima menit, dengan serta merta ia memeluk saya. Tubuhnya yang tambun, adalah tubuh yang sering sekali saya peluk, dulu…dulu sekali. Saya masih dapat membaui aroma parfumnya yang masih sama.

Empat tahun lalu, sepanjang hari saya selalu bersamanya, menghabiskan waktu dengan bercerita, merenda, tertawa dan berbelanja kemanapun kami suka juga berdebat tentang pemilihan presiden. Empat tahun lalu, perempuan itu selalu menyediakan bekal makanan untuk saya, ketika saya akan pergi belajar ataupun berangkat bekerja. Ia, satu-satunya yang membuat saya  bertahan tinggal di rumah.

Siang ini, perempuan itu memeluk saya sangat erat. Lamat-lamat terdengar suara isaknya. “Maafkan ibu, ibu sayang denganmu, ibu sungguh sangat sayang”. Saya pun tak kuasa menahan haru. Lintasan peristwa segera membayang dalam benak. Saya peluk ia dengan rapat. Tubuh kecil saya dengan penuh ia peluk. “Saya minta maaf, semoga ibu dan bapak sehat”. Berulang kali saya mengucapkan itu disela-sela isak tangis yang kian kencang. Sepertinya saya salah mengucap, tangis perempuan itu makin kencang.  Ia tangkis segala amarah dan kekecewaan saya. Berulang kali ia mengucap tentang rasa sayangnya pada saya. Ia seolah ingin dimengerti bahwa ia sangat sayang.

Hati saya luluh, saya jatuh dipelukannya yang hangat, menumpahkan segala duka dan kesedihan yang selama ini saya simpan sendiri. Perempuan itu enggan melepaskan saya, tangannya semakin kuat, berulang kali kening saya dikecupnya lembut. Tangannya yang besar menggengam saya, menahan saya, seolah tak ingin saya pergi lagi untuk kedua kalinya.

Beberapa penjaga toko mulai memperhatikan kami berdua, mereka seperti mendapat tontonan gratis. Perempuan itu tak peduli, baginya bertemu dengan saya setelah terpisah selama empat tahun menjadi hal kecil yang diimpikannya.

Isak kami mereda, kami sibuk mengusap air mata yang membanjir. Seperti yang sudah-sudah, perpisahan harus terjadi jika kita mendamba pertemuan. Saya pamit padanya, untuk meneruskan perjalanan. Memeluknya sekali lagi untuk sama-sama menabahkan dan memaafkan. Binar mata perempuan itu seolah berharap banyak agar kekecewaan di masa lalu segera di hapus. Perempuan itu, memandang saya lama sekali. Seolah ia sedang mengingat dan menyesalkan kepergian saya yang tiba-tiba dari rumah. Saya yang saat itu tak ada niatan untuk pergi, ternyata diharuskan buru-buru berkemas oleh mereka, perempuan itu dan keluarganya.

Luka itu masih menganga. Hari boleh berganti tetapi rasa kecewa tak kunjung sembuh. Keputusan gegabah yang saya dan perempuan itu ambil ternyata menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Siang itu, saya terkulai lemas. Menjatuhkan diri di mobil sambil mengeja mengapa alam harus mempertemukan saya dan Dia kembali.


-- RA --



  

No comments:

Post a Comment