Tuesday, October 1, 2013

Ontosoroh


http://www.adelaidereview.com.au/images/uploads/blog/adl/arts/2013/september/Ade-and-Prisha_BercintaPhoto-by-Arief-Budianto.jpg 


Kita ada di deretan penonton pertunjukan  Ontosoroh, mengambil duduk di deretan tengah tidaklah buruk ternyata. Kita sangat antusias, bagaimana tidak?bukankah keintiman kita terjalin dari cerita-cerita sastra yang dibangun Pramoedya, Tohari, Ayu Utami, Putu Wijaya. Seringkali Ontosoroh dan Minke tokoh fiktif dalam buku tetralogi Pulau Buru Pramoedya menjadi topik utama dalam diskusi kita.  
 
Aku tahu jantungmu berdegup kencang ketika lampu panggung mulai dimatikan. Jemari ini rasanya menggigil, segera saja aku menyelinap di antara jemarimu. Kehangatan segera menjalar cepat, kita telah bisa menetralisir situasi. Ini bukan pertama kalinya kita menonton pagelaran, banyak pertunjukkan yang sudah kita nikmati.  Tapi, entahlah selalu saja aku merasa ini momen pertamaku denganmu. Aku tahu, panggung adalah duniamu. Aku menikmati setiap cerita panggungmu, kamu bertutur tentang keringat para penari yang menggoda, tiap bulir keringatnya adalah letupan kepuasan batin, keringat-keringat yang membuat kulit penari mengkilat itu adalah pertanda bahwa hidup bisa dinikmati dengan beragam cara.


Pertunjukkan Nyai Ontosoroh yang merupakan hasil karya kolaborasi seniman Indonesia dan Australia merupakan gabungan teks, gerak, suara serta idiom-idiom seni pertunjukkan lainnya untuk mengekspresikan beragam aspek kepribadian Ontosoroh yang kompleks. Kita larut dalam alunan musik, suara penyanyi dan gerakan-gerakan yang memukau. Penari membawakan kepribadian Ontosoroh sebagai seorang perempuan dari Wonokromo yang di jual oleh ayahnya sendiri untuk dijadikan nyai.

Menjadi seorang nyai tidaklah mudah, tapi Ontosoroh tampil sebagai nyai yang berbeda. Nyai yang mampu melawan jaman dan segala hal yang menekannya. Kisah hidup Ontosoroh sendiri tak berakhir bahagia, dia harus kalah oleh kekuasaan. Kekayaan yang dimilikinya tak mampu mengubah nasib dan statusnya sebagai nyai. Hidup di masa kolonial Belanda tentulah sulit, feodalisme masih sangat lekat. 

Ontosoroh merupakan sebuah fenomena pada masanya. Pemikirannya melampaui perempuan lainnya, karakternya yang luar biasa membuat aku penasaran bagaimana cara Pramoedya bisa menciptakan tokoh dengan karakter yang kuat sekali. 

Yang paling menarik dari pertunjukkan ini, ketika penari membawa gulungan kain yang panjang dengan posisi membungkuk di atas badannya. Ini menggambarkan betapa penderitaan Ontosoroh sangatlah besar, meskipun dia menjadi perempuan pribumi pertama yang mempunyai kekayaan yang melimpah tapi itu semua tak sebanding dengan penderitaan yang dideritanya. Pernikahannya dengan seorang kompeni, menciptakan kesengsaraan yang luar biasa. 




Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruang teater ketika pertunjukkan usai. Wajah-wajah penuh kepuasan tergambar jelas pada hampir dua ratus orang penonton yang hadir. Keringat para pengisi acara tidak hanya berbicara tentang rasa puas menghadirkan pagelaran untuk penonton, tapi lebih dari itu, untuk memenuhi jiwa mereka sendiri. 

Kita masih saling menggenggam. Menikmati rasa bahagia yang bergerak perlahan. Tak usah hingar bingar dan mewah, bahagia bisa hadir dalam kesederhanaan. Sastra, gerak dan suara seringkali kita orgasme dengan ketiganya. 


_____________________________
Ket : gambar di pinjam dari sini juga ini

No comments:

Post a Comment