Saya menghitung kembali, 42 orang kepala memenuhi ruangan
yang hanya berkapasitas 25 orang. Ruangan sempit di lantai 3 dengan ventilasi
yang buruk membuat suasana tidak nyaman. Jendela-jendela kaca yang besar
sebanyak 6 buah membuat ruangan seperti dalam akuarium yang terpapar langsung
oleh sinar matahari. Air Conditioner
tidak mampu menampung seluruh desah penghuni ruangan. White board hanya
berjarak kurang dari 1 meter dari kursi terdepan. Semua merasa terdesak dan
sesak tapi tak satupun yang mengambil inisiatif untuk berpindah ke ruangan yang
lebih besar yang telah disediakan.
Generasi wacana, itulah yang diungkapkan Rhenald Kasali
dalam artikelnya. Rhenald menyebutkan bahwa generasi wacana ini sedang marak
dan kita lihat sehari-hari. Generasi wacana adalah mereka yang hanya berwacana
tanpa pergerakan. Saya membuktikannya kemarin, ketika saya berhadapan langsung
dengan mahasiswa dalam satu ruangan, mereka yang seharusnya penuh inisiatif,
kreatif dan inovatif menjelma menjadi makhluk hidup yang seperti di rekatkan
dengan kursi tempat mereka duduk. Tak ada inisiatif untuk membuat suasana lebih
nyaman. Kali ini saya bermaksud memberikan edukasi berupa pemutaran video
berkaitan dengan isu lingkungan yang sedang di dihadapi yakni kabut asap.
Antusiasme yang alakadarnya, gerakan mengipaskan buku karena ruangan terlalu
panas, jarak layar yang terlalu dekat dengan audience dan saya yang terjepit di
pojok kiri depan sampai tak bisa keluar dari kursi dan meja pengajar, dan
mereka calon penerus bangsa hanya bisa diam tanpa protes dengan situasi yang
tidak nyaman tersebut.
Entah apa yang salah, siapa yang salah. Generasi yang
berbeda, begitu Okky Madasari pernah membacakan puisinya, bahwa kita sedang
berhadapan dengan generasi yang berbeda. Generasi yang dimanjakan teknologi
tapi jauh dengan sosial, dan minim kesantunan. Rasanya baru kemarin saya
seperti mereka, menikmati bangku kuliah dan menjadi mahasiswa, dan saya masih
ingat bagaimana saya dan teman-teman berprilaku terhadap dosen. Dosen adalah
hal yang disegani, dijunjung tinggi, dihargai, tak ada sedikitpun terbersit
untuk tidak menjaga kesantunan, karena tidak santun berarti mencari petaka.
Belum juga satu dasawarsa dari jarak saya ke generasi sekarang, tetapi
sepertinya kemajuan memang terlalu cepat terjadi. Mungkin teknologi bergerak
seperti deret ukur, sedangkan kesiapan mental dan makna hidup yang filosopis
bergerak seperti deret hitung. Jomplang. Tak bisa lagi di hindari.
Bayangan saya jauh berlari ke belakang, ketika Soekarno muda
kuliah di ITB, usianya kisaran 20an. Soekarno muda telah berani berpikir
tentang memerdekakan bangsanya, Syahrir muda, Hatta Muda. Mereka seusia
mahasiswa yang sehari-hari saya temui sekarang. Lalu pikiran saya beranjak pada
tahun yang lebih muda, saya ingat Gie, gelora mudanya membuncah melihat
ketidakadilan di depan matanya. Tiba-tiba hati saya merasa mendidih, mata saya
panas mengingat para pemuda bangsa yang bergelora, dulu.
Hari ini, 87 tahun yang lalu seluruh pemuda merayakan
kongres pemuda. W.R Supratman berusia 25
tahun ketika ia menciptakan Indonesia Raya dan diperdengarkan pertama kali pada
28 Oktober 1928. Pemuda adalah prototype bangsa. Jika kita ingin melihat
bagaimana negara ini 10 tahun ke depan, maka mungkin kita cukup melihat para
pemudanya.
Saya mengingat kembali data-data yang pernah saya baca,
bagaimana PISA tahun 2003 menempatkan siswa Indonesia menjadi generasi nol buku
karena ternyata dalam 365 hari siswa hanya mampu membaca sebanyak 27 halaman
saja. Kemarin baru saja kita menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair,
ajang pameran buku terbesar di dunia, diikuti oleh puluhan negara di dunia.
Mungkin dengan iseng kita bisa bertanya pada pemuda kita apakah mereka tahu
tentang Book fair tersebut? Tentang buku, tentang karya sastra, bukan tentang
gadget.
Mungkin juga saya yang terlalu berlebihan menafsir tentang
mereka. Mungkin sebenarnya mereka hanya butuh hiburan dengan datang ke
acara-acara talk show di televisi, menjadi penonton, meneriakkan yel-yel dengan
jaket almamater kebanggaannya.
Saya kembali harus menyimpan kekecewaan ketika saya memutar
video tentang pembakar hutan di Kalimantan dan Sumatra yang di buat oleh
Harrison Ford seorang aktor Amerika yang sangat peduli dengan hutan Indonesia,
dan saya mendapati kenyataan bahwa audience tidak terlalu antusias menonton
sesuatu yang tengah terjadi di negeri yang mereka tinggali ini.
Negeri ini butuh pergerakan, haus dengan sentuhan tangan
muda. Yang tua melemah dan hilang, sedangkan tanah ini meminta untuk selalu di
teruskan, kalian yang akan datang. Pemuda.
No comments:
Post a Comment