Thursday, August 29, 2013

Perjalanan Rasa : Pagoda Avalokitesvara



Hari masih pagi ketika kali pertama aku menjejakkan kaki di sini. Suara gesekan daun dari Pohon Bodhi terdengar riuh. Aroma mentari yang masih hangat masuk melalui pori-pori kulit. Kulihat beberapa burung pada ranting-ranting kecil dengan cicitnya yang cerewet menyapa pagi. 


Pagoda Avalokitesvara, begitu namanya. Cantik. Tempat ibadah umat Budha ini terletak di daerah Ungaran Semarang. Ada banyak rasa yang mampir. Kaget, senang, deg-degan, juga sedikit rasa takut. Aku mulai mengambil gambar. Ada 7 tingkatan yang menjulang ke atas. Aku mulai memasuki pelataran. Patung Budha berwarna kuning keemasan di bawah pohon Bodhi menjadi pusat pandangan mata. 2500 tahun lalu sang Budha Gautama bertapa di bawah Pohon Bodhi. Tahun 1955 cangkokan asli dari pohon Bodhinya Gautama ini ditanam di pelataran. 


Aku melihat kertas-kertas merah dengan huruf cina tergantung di ranting-rantingnya. kertas-kertas merah itu berisi permohonan dan harapan. 

Aku melangkah menuju pagoda. Hatiku deg-degan tak karuan. Di dalam Pagoda terdapat patung Dewi Kwan Im berukuran besar, sangat besar. Aku hampir berbalik arah. Hatiku gelisah rasanya ingin pulang saja. Tapi kuurungkan niatku, aku belum mendapatkan apa-apa di sini, rasanya sia-sia kalau harus segera pulang.
Ku tapakkan kakiku pada setiap anak tangga. Aku mulai mengambil gambar. Relief-relief bergambar naga yang terukir cantik hadir disetiap aku melihat berbagai sisi. Aku akan sampai di depan Patung Dewi Kwan Im. Aroma dupa menyengat, lilin-lilin yang menyala, dupa berwarna-warni menjadi salah satu sajian mata yang menarik. Ada patung-patung kecil di samping Patung Besar, itu menandakan murid-murid Dewi Kwan Im. Dinginnya lantai pagoda ini mengusik jiwaku. Aku mengitari Pagoda, yang dipenuhi banyak patung dewa-dewi disekelilingnya.



Ada dua bangunan utama di sini, satu Pagoda berisi Patung Dewi Kwan Im, dan bangunan yang satunya berisi Sang Budha. Keduanya berfungsi berbeda, orang-orang yang masih menginginkan keduniawian akan memohon pada Dewi Kwan Im, yang dikenal sebagai dewi Welas Asih. Dewi Kwan Im asalnya hanya manusia biasa tapi karena tingkat kesucian yang tinggi dia akhirnya berubah menjadi Dewi. Sang Dewi asalnya laki-laki tetapi setelah mengalami reinkarnasi yang banyak dia berubah menjadi perempuan. Jemaat yang beribadah disini umumnya meminta jodoh, anak, kekayaan, jabatan, dan dihindarkan dari masalah pelik keduniawian. 

Bangunan lainnya berisi sang Budha. Jemaat yang ibadah di sana adalah orang-orang yang tidak terfokus pada keduniawian namun pada hari sesudah kematian. Aku tidak berani mengambil gambar patung Budha yang besar itu, ada rasa segan. Tiba-tiba aku disergap malu datang ke tempat ibadah tanpa menyalakan dupa, aku kebingungan bagaimana caranya beribadah. Aku hanya sekilas bertatapan dengan Budha itu. Aku merasa tak sanggup.

Pengunjung lain tiba-tiba datang mendekatiku, seorang perempuan berjilbab. “Mbak, saya boleh mengambil gambar disini?” Kuiyakan saja, karena petugas yang berjaga mengatakan seperti itu. Perempuan tersebut langsung memaksimalkan kameranya. Mengambil gambar Dewi Kwan Im dari berbagai sudut. Hatiku mencelos, rasanya tak tega. Ketika Yang di sucikan dijadikan objek, ketika sang Dewi menjadi latar dirinya berfoto, ketika fotonya dijadikan ajang pamer di media sosial. Setelah puas mengambil gambar dari berbagai sudut, perempuan berjilbab itu segera pulang.

Terlintas perasaan kagum padanya. Seorang perempuan berjilbab mau memasuki tempat ibadah agama lain, tapi kemudian aku tersadar bukankah kebanyakan seperti itu?wisata rohani istilahnya, wisata rohani yang disempitkan artinya karena yang didapat hanya sekedar foto, tidak pengetahuan apalagi esensi.
Akan ada perayaan nanti malam kata petugas. Perayaan biasanya dilakukan 2x dalam sebulan tiap tanggal 1 dan 15 kalender Cina. Penanggalan pada kalender Cina hampir sama dengan kalender hijriyah, berdasarkan rotasi bulan. Tanggal Itu tepat di bulan purnama. Petugas tampak antusias ketika kami bertanya banyak hal, sepertinya dia kehilangan eksistensi karena kebanyakan pengunjung yang datang hanya sebatas untuk berfoto.

Tak percaya? Googling saja Avalokitesvara akan muncul banyak gambar. Aku berpikir terkadang teknologi merusak sebuah nilai. Teknologi mengkerdilkan sebuah eksistensi. Tempat ibadah tak lagi sakral, Yang di Sucikan dijadikan objek, Sang pemberi Ajaran menjadi latar untuk dipamerkan. Ah...entah sampai disini aku merasa jengah dengan teknologi.

Di samping pagoda ada patung Budha yang sedang tertidur sebagai simbol karena Budha Gautama meninggal dalam posisi tertidur.

Perjalanan pun berhenti di depan sang Budha yang tertidur. Patung Budha ini lebih kecil, tapi entahlah hatiku tetap tidak karuan. Selalu saja ada rasa segan setiap berhadapan dengan Budha.
Tak terasa hampir empat puluh lima menit aku disini. Waktu menjalankan konsep berlarinya ketika kita sedang asyik dengan sesuatu. Aku menuruni anak tangga, dengan hati yang penuh. Penuh akan sesuatu hal yang baru.

Sidharta Gautama aku mengenalnya hanya sebatas nama melalui buku-buku pelajaran dan keterangan dari guru yang seadanya. Terlahir sebagai muslim dan hidup di lingkungan muslim tidak mengizinkanku mengenal Tuhan dalam sudut pandang yang lain. Kita seringkali terlupa kalau ternyata mereka... kita..  tidak sepenuhnya menganut paham monotheisme, karena seringkali kita menuhankan waktu dan uang.

Memahami perbedaan dengan sudut pandang orang yang berbeda dengan kita tentu sulit. Tapi itu lebih baik untuk menghindarkan kita dari perasaan paling benar sendiri.




Sumber : wawancara langsung dengan petugas di Pagoda Avalokitesvara
keterangan: gambar dokumentasi pribadi
Tulisan ini terlahir karena perjalanan, terimakasih banyak untuk partner perjalananku yang hebat

2 comments: