Hari masih pagi ketika kali pertama
aku menjejakkan kaki di sini. Suara gesekan daun dari Pohon Bodhi terdengar
riuh. Aroma mentari yang masih hangat masuk melalui pori-pori kulit. Kulihat
beberapa burung pada ranting-ranting kecil dengan cicitnya yang cerewet menyapa
pagi.
Pagoda Avalokitesvara, begitu
namanya. Cantik. Tempat ibadah umat Budha ini terletak di daerah Ungaran
Semarang. Ada banyak rasa yang mampir. Kaget, senang, deg-degan, juga sedikit
rasa takut. Aku mulai mengambil gambar. Ada 7 tingkatan yang menjulang ke atas.
Aku mulai memasuki pelataran. Patung Budha berwarna kuning keemasan di bawah
pohon Bodhi menjadi pusat pandangan mata. 2500 tahun lalu sang Budha Gautama
bertapa di bawah Pohon Bodhi. Tahun 1955 cangkokan asli dari pohon Bodhinya
Gautama ini ditanam di pelataran.
Aku melihat kertas-kertas merah
dengan huruf cina tergantung di ranting-rantingnya. kertas-kertas merah itu
berisi permohonan dan harapan.
Aku melangkah menuju pagoda. Hatiku
deg-degan tak karuan. Di dalam Pagoda terdapat patung Dewi Kwan Im berukuran
besar, sangat besar. Aku hampir berbalik arah. Hatiku gelisah rasanya ingin
pulang saja. Tapi kuurungkan niatku, aku belum mendapatkan apa-apa di sini,
rasanya sia-sia kalau harus segera pulang.
Ku tapakkan kakiku pada setiap
anak tangga. Aku mulai mengambil gambar. Relief-relief bergambar naga yang
terukir cantik hadir disetiap aku melihat berbagai sisi. Aku akan sampai di
depan Patung Dewi Kwan Im. Aroma dupa menyengat, lilin-lilin yang menyala, dupa
berwarna-warni menjadi salah satu sajian mata yang menarik. Ada patung-patung
kecil di samping Patung Besar, itu menandakan murid-murid Dewi Kwan Im. Dinginnya
lantai pagoda ini mengusik jiwaku. Aku mengitari Pagoda, yang dipenuhi banyak patung
dewa-dewi disekelilingnya.
Ada dua bangunan utama di sini,
satu Pagoda berisi Patung Dewi Kwan Im, dan bangunan yang satunya berisi Sang
Budha. Keduanya berfungsi berbeda, orang-orang yang masih menginginkan
keduniawian akan memohon pada Dewi Kwan Im, yang dikenal sebagai dewi Welas
Asih. Dewi Kwan Im asalnya hanya manusia biasa tapi karena tingkat kesucian
yang tinggi dia akhirnya berubah menjadi Dewi. Sang Dewi asalnya laki-laki
tetapi setelah mengalami reinkarnasi yang banyak dia berubah menjadi perempuan.
Jemaat yang beribadah disini umumnya meminta jodoh, anak, kekayaan, jabatan,
dan dihindarkan dari masalah pelik keduniawian.
Bangunan lainnya berisi sang
Budha. Jemaat yang ibadah di sana adalah orang-orang yang tidak terfokus pada
keduniawian namun pada hari sesudah kematian. Aku tidak berani mengambil gambar
patung Budha yang besar itu, ada rasa segan. Tiba-tiba aku disergap malu datang
ke tempat ibadah tanpa menyalakan dupa, aku kebingungan bagaimana caranya
beribadah. Aku hanya sekilas bertatapan dengan Budha itu. Aku merasa tak
sanggup.
Pengunjung lain tiba-tiba datang mendekatiku,
seorang perempuan berjilbab. “Mbak, saya boleh mengambil gambar disini?”
Kuiyakan saja, karena petugas yang berjaga mengatakan seperti itu. Perempuan tersebut
langsung memaksimalkan kameranya. Mengambil gambar Dewi Kwan Im dari berbagai
sudut. Hatiku mencelos, rasanya tak tega. Ketika Yang di sucikan dijadikan
objek, ketika sang Dewi menjadi latar dirinya berfoto, ketika fotonya dijadikan
ajang pamer di media sosial. Setelah puas mengambil gambar dari berbagai sudut,
perempuan berjilbab itu segera pulang.
Terlintas perasaan kagum padanya.
Seorang perempuan berjilbab mau memasuki tempat ibadah agama lain, tapi
kemudian aku tersadar bukankah kebanyakan seperti itu?wisata rohani istilahnya,
wisata rohani yang disempitkan artinya karena yang didapat hanya sekedar foto,
tidak pengetahuan apalagi esensi.
Akan ada perayaan nanti malam
kata petugas. Perayaan biasanya dilakukan 2x dalam sebulan tiap tanggal 1 dan
15 kalender Cina. Penanggalan pada kalender Cina hampir sama dengan kalender
hijriyah, berdasarkan rotasi bulan. Tanggal Itu tepat di bulan purnama. Petugas
tampak antusias ketika kami bertanya banyak hal, sepertinya dia kehilangan
eksistensi karena kebanyakan pengunjung yang datang hanya sebatas untuk
berfoto.
Tak percaya? Googling saja
Avalokitesvara akan muncul banyak gambar. Aku berpikir terkadang teknologi
merusak sebuah nilai. Teknologi mengkerdilkan sebuah eksistensi. Tempat ibadah
tak lagi sakral, Yang di Sucikan dijadikan objek, Sang pemberi Ajaran menjadi
latar untuk dipamerkan. Ah...entah sampai disini aku merasa jengah dengan
teknologi.
Di samping pagoda ada patung Budha
yang sedang tertidur sebagai simbol karena Budha Gautama meninggal dalam posisi
tertidur.
Perjalanan pun berhenti di depan
sang Budha yang tertidur. Patung Budha ini lebih kecil, tapi entahlah hatiku
tetap tidak karuan. Selalu saja ada rasa segan setiap berhadapan dengan Budha.
Tak terasa hampir empat puluh
lima menit aku disini. Waktu menjalankan konsep berlarinya ketika kita sedang
asyik dengan sesuatu. Aku menuruni anak tangga, dengan hati yang penuh. Penuh
akan sesuatu hal yang baru.
Sidharta Gautama aku mengenalnya
hanya sebatas nama melalui buku-buku pelajaran dan keterangan dari guru yang
seadanya. Terlahir sebagai muslim dan hidup di lingkungan muslim tidak
mengizinkanku mengenal Tuhan dalam sudut pandang yang lain. Kita seringkali
terlupa kalau ternyata mereka... kita.. tidak
sepenuhnya menganut paham monotheisme, karena seringkali kita menuhankan waktu
dan uang.
Memahami perbedaan dengan sudut
pandang orang yang berbeda dengan kita tentu sulit. Tapi itu lebih baik untuk
menghindarkan kita dari perasaan paling benar sendiri.
Sumber : wawancara langsung
dengan petugas di Pagoda Avalokitesvara
keterangan: gambar dokumentasi pribadi
Tulisan ini terlahir karena perjalanan, terimakasih banyak untuk partner perjalananku yang hebat
Tulisan ini terlahir karena perjalanan, terimakasih banyak untuk partner perjalananku yang hebat
that's your trip bu? :>
ReplyDeleteOf course dear...
Delete