Angka ini bukan angka
istimewa.
Ada banyak rasa yang masih mengendap, kesalahan yang masih
perlu dimaafkan tanpa harus terpaksa memaafkan. Ya, saya sedang tak berusaha
keras memaafkan seseorang ataupun sesuatu.
Saya ingat ketika saya menitipkan air mata saya pada sahabat
saya, sahabat saya bilang “ini bukan Na yang kukenal”. Saya hanya diam, sahabat
saya ternyata bahkan tak mengenal saya. Ada kalanya saya tak bisa tegar, saya
pun kalah oleh situasi.
Saya terkadang lupa bahwa hidup adalah satu paket, hidup dan
mati, bertemu dan berpisah. Sudah sifat manusia bahwa yang diinginkan hanya
kehidupan dan pertemuan. Semua seolah berlomba-lomba menghindari kematian dan
perpisahan. Saya pun telah melakukan beragam cara untuk menghindari perpisahan,
dan saya saat itu lupa semakin kuat saya hindari, semakin kuat pula itu
terjadi. Alam memiliki gaya magnet yang besar, dia tak mengiakan hal-hal yang
bersifat penolakan. Penolakan itu diubahnya menjadi penerimaan.
Saya melepaskan apa yang saya miliki ketika saya masih menikmatinya.Membutuhkan waktu lama untuk saya tersadar bahwa semua adalah proses, segala sesuatu tak bisa dipaksakan, begitu juga dengan memaafkan dan menerima. Saya berhenti berusaha karena saya telah benar-benar lelah. Tetapi justru itulah jawaban atas segala usaha saya.
Berulang kali berusaha keras bicara pada diri sendiri bahwa
saya baik-baik saja, ternyata itu membuat saya semakin tak baik-baik saja.
Mencoba meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai, ternyata itu tak benar-benar
selesai. Mencoba melupakan tetapi ingatan itu semakin kuat, mencoba memaafkan
tetapi kebencian itu semakin besar. Saya sepenuhnya sadar bahwa pikiran
terbangun oleh tempelan-tempelan kenangan yang saya ambil, ia tak hadir dengan
sendirinya. Pada akhirnya saya pasrah, menyerahkan alur rasa pada jiwa,
menitipkan hati saya pada tubuh, membiarkan tubuh dan jiwa saya berperang
habis-habisan. Dan akhirnya saya memilih menikmatinya.
Menikmati gerbang-gerbang ingatan yang membuka dengan
sendirinya akan rasa sakit dan patah hati. Menikmati sekelumit suara-suara yang
berupa janji-janji manis yang masih saja menggaung di telinga saya. Menikmati
setiap jejak langkah yang masih tertinggal pada setiap sudut kota. Menikmati
beragam abjad yang terekam sempurna dalam susunan kalimat yang romantis.
Ini saat yang tepat untuk berdiam diri, merenung lebih
banyak, mendengar lebih banyak, karena saya tahu ada banyak cerita dalam
kebisuan. Proses pelepasan rasa harus diiringi upacara sakral. Saya tak mau
melewatkan upacara sakral itu dengan hati yang penuh amarah dan mata yang
sembab. Upacara pelepasan rasa akan saya ikuti dengan khidmat. Seumpama ombak
yang membentur karang, bunyinya membuat makhluk hidup sekitarnya menjadi
hening.
Saya percaya akan sebuah fase, fase yang tak pernah sama.
Ini saya yakini sebuah fase yang mengantarkan saya untuk mencium aroma embun
pagi yang lebih baik.
Melewati angka dua dan tujuh rasanya tak ada yang lebih baik
selain mengucap syukur. Saya menemukan jawabannya tepat ketika angka dua dan
tujuh ini bersinggungan dan kemudian menempel. Hati saya berangsur-angsur
pulih.
___________________
Cibiru, 26 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment