Tuesday, October 1, 2013

Dua dan Tujuh

Angka ini bukan angka istimewa.


Ada banyak rasa yang masih mengendap, kesalahan yang masih perlu dimaafkan tanpa harus terpaksa memaafkan. Ya, saya sedang tak berusaha keras memaafkan seseorang ataupun sesuatu. 

Saya ingat ketika saya menitipkan air mata saya pada sahabat saya, sahabat saya bilang “ini bukan Na yang kukenal”. Saya hanya diam, sahabat saya ternyata bahkan tak mengenal saya. Ada kalanya saya tak bisa tegar, saya pun kalah oleh situasi. 

Saya terkadang lupa bahwa hidup adalah satu paket, hidup dan mati, bertemu dan berpisah. Sudah sifat manusia bahwa yang diinginkan hanya kehidupan dan pertemuan. Semua seolah berlomba-lomba menghindari kematian dan perpisahan. Saya pun telah melakukan beragam cara untuk menghindari perpisahan, dan saya saat itu lupa semakin kuat saya hindari, semakin kuat pula itu terjadi. Alam memiliki gaya magnet yang besar, dia tak mengiakan hal-hal yang bersifat penolakan. Penolakan itu diubahnya menjadi penerimaan.

Saya melepaskan apa yang saya miliki ketika saya masih menikmatinya.Membutuhkan waktu lama untuk saya tersadar bahwa semua adalah proses, segala sesuatu tak bisa dipaksakan, begitu juga dengan memaafkan dan menerima. Saya berhenti berusaha karena saya telah benar-benar lelah. Tetapi justru itulah jawaban atas segala usaha saya.

Berulang kali berusaha keras bicara pada diri sendiri bahwa saya baik-baik saja, ternyata itu membuat saya semakin tak baik-baik saja. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai, ternyata itu tak benar-benar selesai. Mencoba melupakan tetapi ingatan itu semakin kuat, mencoba memaafkan tetapi kebencian itu semakin besar. Saya sepenuhnya sadar bahwa pikiran terbangun oleh tempelan-tempelan kenangan yang saya ambil, ia tak hadir dengan sendirinya. Pada akhirnya saya pasrah, menyerahkan alur rasa pada jiwa, menitipkan hati saya pada tubuh, membiarkan tubuh dan jiwa saya berperang habis-habisan. Dan akhirnya saya memilih menikmatinya.

Menikmati gerbang-gerbang ingatan yang membuka dengan sendirinya akan rasa sakit dan patah hati. Menikmati sekelumit suara-suara yang berupa janji-janji manis yang masih saja menggaung di telinga saya. Menikmati setiap jejak langkah yang masih tertinggal pada setiap sudut kota. Menikmati beragam abjad yang terekam sempurna dalam susunan kalimat yang romantis. 

Ini saat yang tepat untuk berdiam diri, merenung lebih banyak, mendengar lebih banyak, karena saya tahu ada banyak cerita dalam kebisuan. Proses pelepasan rasa harus diiringi upacara sakral. Saya tak mau melewatkan upacara sakral itu dengan hati yang penuh amarah dan mata yang sembab. Upacara pelepasan rasa akan saya ikuti dengan khidmat. Seumpama ombak yang membentur karang, bunyinya membuat makhluk hidup sekitarnya menjadi hening. 

Saya percaya akan sebuah fase, fase yang tak pernah sama. Ini saya yakini sebuah fase yang mengantarkan saya untuk mencium aroma embun pagi yang lebih baik.

Melewati angka dua dan tujuh rasanya tak ada yang lebih baik selain mengucap syukur. Saya menemukan jawabannya tepat ketika angka dua dan tujuh ini bersinggungan dan kemudian menempel. Hati saya berangsur-angsur pulih. 


___________________
Cibiru, 26 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment