Sidharta
Gautama, begitulah namanya dikenal. Lahir di abad ke-6 sebelum masehi.
Kegelisahannya akan hidup menggiringnya untuk mengembara, 29 tahun usianya
waktu itu. Malam yang hening dan dingin menjadi pengiring langkahnya ketika
meninggalkan Kapilawastu, istana tempat ayahnya Suddodana bertahta.
Kegelisahan
pertamanya tentang hidup muncul ketika dia pergi bersama ayahnya melihat
orang-orang berduyun dan berbahagia. Bunga-bunga bermekaran dan pepohonan yang
memperlihatkan daun yang cerah. Lalu dia menepi di bawah pohon, dia melihat burung
mematuk cacing tanah, seorang petani memukul lembunya, dan elang menukik ke
arah burung. Dia berpikir bagaimana mungkin orang lain berbahagia sedangkan di
situ juga ada penderitaan. Usianya 7 tahun kala itu. Gautama kecil mulai
membawa kegelisahan pertamanya dalam hidup, mengapa manusia harus sakit,
menderita, sedih, menua dan mati? Baginya hidup bagaikan sebuah samsara yang
tak berujung yang selalu berputar dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.
Gautama
melahirkan filsafat perenial yaitu segala sesuatu yang kita alami ditiru dari
contoh yang sempurna dari surga.
Gautama
mencari kondisi yang ideal, jika manusia hidup dalam penderitaan sengsara, maka
ia pasti akan menemukan kebahagian dengan mencarinya sendiri tanpa minta
bantuan Tuhan. Gautama mulai mencari nibbana. Nibbana merupakan pencapaian
spiritual tertinggi, puncak pencerahan. Karena setelah nibbana ada masa
parinibbana yaitu masa setelah meninggal. Nibbana adalah kondisi dimana manusia
tidak mengalami sedih, tidak menua, tidak sakit, tidak lahir, tidak mati.
Nibbana (nirvana) yang dimaksud tidak sama dengan yang sudah sering digambarkan
mengenai surga. Nibbana tidak ada tanah maupun air, cahaya maupun api, tak ada
ruang dan jumlah tak terhingga, bukan akal yang tak terhingga dan juga
kehampaan sempurna merupakan gabungan matahari dan bulan. Nibbana merupakan
unsur ketiga dari kesunyataan mulia yaitu tanpa roda, tidak sadar, penyatuan,
tak terganggu tanpa penderitaan dan kedamaian. Nibbana juga merupakan kebaikan
manusia dan dewa yang tertinggi, kedamaian dan tempat yang sangat tentram.
Pengembaraan
tak selalu berjalan mulus. Gautama pernah mencoba menyiksa diri agar merasakan
penderitaan, dia tidak makan, tidak minum, tidak mandi, tidak melakukan
aktifitas manusia normal lainnya untuk waktu yang lama, hingga badannya kurus
kering dan sakit. Dia akhirnya menyerah, ternyata jalan mencapai nibbana tidak
seperti itu.
Gautama
sangat yakin bahwa semua hal yang terjadi pada diri kita itu akibat Karma
(perbuatan manusia), karma terjadi karena nafsu yang kadang tidak bisa
dikendalikan. Nafsu (tanha) yang tak terkendalikan ini yang membuat manusia
terjerumus dalam samsara.
Untuk
mengendalikan nafsu ini, Gautama menggunakan teknik Yoga. Tapi sebelum
melakukan Yoga, Gautama harus mentaati dulu yama (niyamas), yama adalah tingkah
laku yang baik seperti tidak mencuri, tidak membunuh, tidak memperkosa, tidak
berbohong dan tidak minum-minuman keras. Yoga yang dilakukan Gautama tidak sama
dengan Yoga yang berkembang di barat.
Yoga
yang bertujuan untuk mendisplinkan semua daya dan kekuatan dan dorongan hati
manusia sehingga kesadaran manusia yang biasanya sulit bisa menyatu. Ada 4
tahapan teknik yoga yang paling penting dalam ajaran Gautama yang pertama
adalah asana yaitu pendisiplinan
fisik, tubuh tidak boleh bergerak, seperti patung dan tidak bernafas. Lalu
tahapan kedua adalah pranayama pengaturan
nafas, selanjutnya ekagrata
konsentrasi pada satu titik dan menolak untuk berpikir, setelah 3 tahapan di
atas tahap terakhir adalah pratyahara
yaitu kemampuan untuk merenungkan satu objek hanya dengan pikiran saja dan
tidak mengaktifkan pancaindra.
Akhirnya
Gautama pun mencapai nibbana dan diapun menjadi Buddha (Manusia yang
tercerahkan). Banyak orang mengartikan bahwa nibbana itu merupakan buddha itu
sendiri sama halnya dengan Yesus atau Tuhan sehingga ada pepatah dari Buddha
Zen bahwa “Barangsiapa yang bertemu buddha maka bunuhlah buddha itu”. Ungkapan
tersebut mengandung arti bahwa buddha itu sangat sakral, tak ada yang bisa
menyamai buddha dalam proses pencapaian menuju nibbana.
Buddha
turun dari pertapaannya, mengunjungi banyak tempat dan kampung-kampung.
Orang-orang yang ditemuinya selalu tertarik pada ajaran buddha, sosok buddha
sangat tentram, tutur katanya halus, prilakunya memikat setiap orang.
Pengikutnya pun bertambah banyak. Dia pergi ke Kapilawastu, ayahnya dan
orang-orang disekitarnya kecuali istrinya menjadi pengikut ajarannya.
Buddha
selalu memulai ajarannya dengan bertanya pada orang awam tentang spiritual.
Karena Buddha tahu bahwa masyarakat mengalami krisis spiritual. Salah satu
alasan krisis spiritual adalah karena mereka mengharapkan orang lain bisa
menemukan jawaban atas pertanyaan mereka, tapi pada saat mereka bertanya pada
hati nuraninya, mereka akan menyadari bahwa mereka sudah mengetahui kebenaran.
Manusia
adalah makhluk yang egois. Buddha mengatakan bahwa egois merupakan satu-satunya
strategi bertahan hidup yang kita miliki, bahkan jika kehidupan kita tidak
memuaskanpun, kita mati-matian mempertahankannya karena kita takut terhadap
sesuatu yang tidak ketahui. Melihat permikiran masyarakat yang masih tertutup
Buddha merasa sedih, Buddha juga mengatakan bahwa sepanjang kita bertahan
menutup pemikiran dan hati kita, maka kita tetap menutup semua hal yang
menyebabkan kemunduran dan tidak berkembangnya pengetahuan agama kita.
Menjelang
kematiannya Buddha berwasiat meminta abunya diperlakukan sebagai cakkavatti
(penguasa alam semesta), jenazahnya harus dibungkus dalam kain dan dikremasi
dengan kayu yang harum baunya dan abunya di kubur di perempatan jalan di sebuah
kota yang besar.
Buddha
lahir bersamaan dengan para pemikir besar peradaban di bumi, Socrates,
Konfusius, Lao Tse, dan Plato. Tidak hanya agama Buddha yang berkembang, ada
Taoisme dan Konfusianisme di Cina, Rasionalisme Yunani dengan pelopornya
Socrates dan Plato di Eropa, dan tentu saja Buddha dan Hindu di India.
Kisah
hidup Gautama relevan dengan kondisi sekarang, zaman kekerasan politik dan
tragedi kemanusian yang mengerikan, krisis, apastisme dan frustasi.
Catatan
mengenai Sidharta Gautama pertama kali ditulis setelah 100 tahun kematiannya,
ditemukan kitab suci dalam bahasa Pali yang dikenal dengan sebutan ‘tripitaka’.
“Kematian itu pasti, manusia hanya
makhluk yang sadar bahwa ia akan mati tapi keyakinan akan kematian itu sulit
dipahami. Dari dulu manusia memanfaatkan agama untuk membantu mereka mencari
pemahaman tentang hidup”
- Rena Asyari -
2 mei 2013
ket : gambar dokumentasi pribadi di Pagoda Avalokitesvara Semarang
No comments:
Post a Comment