Saturday, November 7, 2015

Senja Dengan Dua Kematian : Berakhirnya sebuah Dendam

Sebuah Karya Kirdjomulyo yang dipentaskan di Gd. Dewi Asri ISBI Bandung



Jumat, 6 November 2015 di Gedung Kesenian Dewi Asri ISBI Bandung mungkin menjadi momen yang tak kan terlupakan bagi Zanuar Eko Rahayu, R. Melia F. Dewi dan Taopik A. Rozak. Kerja keras, masa pembelajaran selama menempuh pendidikan program sarjana terbayar tuntas ketika gemuruh tepuk tangan menandai kesuksesan mereka menghadirkan seni pertunjukan teater berjudul “Senja Dengan Dua Kematian” karya Kirdjomulyo yang berhasil mereka pentaskan dengan apik sebagai ujian akhir.
Gambar diambil oleh @dy_murwaningrum

Saya menyimpan ingatan tentang pentas semalam dengan lekat, rapat-rapat, mendekapnya karena saya tidak mau kehilangan kenangan tentang pementasan tersebut. Kirdjomulyo. Seniman serba bisa, pelukis, pemain teater dan sastrawan yang telah melahirkan banyak karya. Puisi, lakon dan beberapa manuskrip berhasil ditulisnya. Senja dengan dua kematian (SDDK) adalah salah satu lakon yang ditulisnya. SDDK menceritakan tentang realita yang tidak kita ketahui yang sebenarnya ada di sekitar kita. Intrik, dendam, sakit hati, ketidakpuasan menjadi tema besar dalam SDDK. SDDK mengajarkan saya tentang dendam yang menimbulkan kehancuran bagi pihak lain, bukan hanya hancur melainkan mati. Wijasti yang diperankan oleh R. Melia adalah korban dari lingkaran tragedi yang dibuat oleh orang-orang pendahulunya, orang tuanya. Wijasti menjadi puncak dari sebuah dendam yang ditumpahkan pada orang yang tidak tepat. Wijasti adalah perempuan yang harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Wijasti adalah mata tombak bagi sebuah perlawanan, bahwa kodrat bukanlah inti dari kehidupan. Kirdjomulyo membuat sosok Wijasti sebagai wanita tangguh, dengan lantang Wijasti berujar “tidak seorang pun akan sanggup memegang kata-katanya kalau dia bukan seorang laki-laki atau perempuan sejati” kalimat pedasnya itu dia sampaikan dengan ekpresi marah dan tutur yang tegas pada Karnowo (diperankan oleh Zanuar) sosok lelaki bengal yang dibencinya.
Gambar diambil oleh @dy_murwaningrum

Wednesday, October 28, 2015

Pemuda Masa Kini

Saya menghitung kembali, 42 orang kepala memenuhi ruangan yang hanya berkapasitas 25 orang. Ruangan sempit di lantai 3 dengan ventilasi yang buruk membuat suasana tidak nyaman. Jendela-jendela kaca yang besar sebanyak 6 buah membuat ruangan seperti dalam akuarium yang terpapar langsung oleh sinar  matahari. Air Conditioner tidak mampu menampung seluruh desah penghuni ruangan. White board hanya berjarak kurang dari 1 meter dari kursi terdepan. Semua merasa terdesak dan sesak tapi tak satupun yang mengambil inisiatif untuk berpindah ke ruangan yang lebih besar yang telah disediakan.

Generasi wacana, itulah yang diungkapkan Rhenald Kasali dalam artikelnya. Rhenald menyebutkan bahwa generasi wacana ini sedang marak dan kita lihat sehari-hari. Generasi wacana adalah mereka yang hanya berwacana tanpa pergerakan. Saya membuktikannya kemarin, ketika saya berhadapan langsung dengan mahasiswa dalam satu ruangan, mereka yang seharusnya penuh inisiatif, kreatif dan inovatif menjelma menjadi makhluk hidup yang seperti di rekatkan dengan kursi tempat mereka duduk. Tak ada inisiatif untuk membuat suasana lebih nyaman. Kali ini saya bermaksud memberikan edukasi berupa pemutaran video berkaitan dengan isu lingkungan yang sedang di dihadapi yakni kabut asap. Antusiasme yang alakadarnya, gerakan mengipaskan buku karena ruangan terlalu panas, jarak layar yang terlalu dekat dengan audience dan saya yang terjepit di pojok kiri depan sampai tak bisa keluar dari kursi dan meja pengajar, dan mereka calon penerus bangsa hanya bisa diam tanpa protes dengan situasi yang tidak nyaman tersebut.

Entah apa yang salah, siapa yang salah. Generasi yang berbeda, begitu Okky Madasari pernah membacakan puisinya, bahwa kita sedang berhadapan dengan generasi yang berbeda. Generasi yang dimanjakan teknologi tapi jauh dengan sosial, dan minim kesantunan. Rasanya baru kemarin saya seperti mereka, menikmati bangku kuliah dan menjadi mahasiswa, dan saya masih ingat bagaimana saya dan teman-teman berprilaku terhadap dosen. Dosen adalah hal yang disegani, dijunjung tinggi, dihargai, tak ada sedikitpun terbersit untuk tidak menjaga kesantunan, karena tidak santun berarti mencari petaka. Belum juga satu dasawarsa dari jarak saya ke generasi sekarang, tetapi sepertinya kemajuan memang terlalu cepat terjadi. Mungkin teknologi bergerak seperti deret ukur, sedangkan kesiapan mental dan makna hidup yang filosopis bergerak seperti deret hitung. Jomplang. Tak bisa lagi di hindari.

Monday, October 5, 2015

Kenangan

Gambar dokumentasi pribadi
Sudut kota Solo, 2013
Kenangan. Saya berutang banyak padanya. Seperti kali ini, tak sengaja saya menemukan tulisan saya bertahun-tahun lalu, setelah berhasil menjebol passwordnya saya pun terpingkal-pingkal sendiri melihat materi tulisan tersebut. Tulisan-tulisan saya dahulu dipenuhi tentang seseorang, hingga saya lupa bahwa dunia saya bukan hanya dia. Tulisan-tulisan saya dahulu hanya berisi tentang cinta, kecemburuan, pertengkaran, kesetiaan, dan prasangka hingga saya lupa bahwa ada materi lain selain itu, sains, sejarah, politik, budaya, agama, sastra, seni.

Kenangan. Lagi-lagi saya mengakui bahwa saya hidup karena kenangan. Saya berkaca pada kenangan, tentu ada hal-hal yang ingin saya jalani kembali tapi banyak yang tidak menarik untuk saya tengok kembali. Dan saya cukup beruntung, mendokumentasikan sebagian perjalanan hidup saya melalui tulisan, saya jadi tahu bahwa 3 tahun lalu saya masih menulis dengan bahasa curhat, saya juga jadi tahu bahwa hampir 4 tahun lalu saya pernah membuat cerita bersambung tentang sebuah keluarga kecil yang mempunyai dua kucing.

Kenangan. Ini pula yang mengantarkan saya pada satu malam penuh khidmat. Menyaksikan pertunjukan Ramayana di bawah rembulan di depan candi Prambanan. Itu titik awal saya untuk mengenalkan kenangan pada hal baru. Lantas kenangan pun berganti halaman baru di isi dengan ragam gerak dan suara. Kenangan. Menyimpan moment-moment seperti ini dengan rapi. Lagi-lagi saya berutang padanya, bukan hanya satu melainkan banyak.

Tuesday, September 8, 2015

Ode di Pagi Hari

Foto : Dokumentasi Pribadi,
Makkah 25 Maret 2015
Judul "Sarapan Pagi"

Pagi di hari minggu diawali dengan gaduhnya suara cicit burung yang sedang rakus menyantap sarapan paginya di teras belakang. Sudah hampir 3 bulan ini saya mempunyai teman baru, burung-burung gereja liar yang datang ketika lapar, menyantap remah nasi yang sengaja saya sediakan untuk mereka.

Cicit mereka merupakan nyanyian alam yang syahdu, ode di pagi hari. Minggu tak hanya kudus bagi mereka umat kristiani, tapi bagi saya juga, karena saya berkesempatan mendengarkan cicit mereka di pagi hari. Tidak hanya burung gereja, sesekali ada burung merpati yang mampir juga. Saya tak pernah berani mengambil potret mereka, karena setiap gerakan kecil saja membuat mereka kaget dan akhirnya terbang, dan saya tak mau mengambil resiko itu, mendengar kepak sayap mereka. Saya menikmati cerewetnya mereka yang saling mengobrol sambil sarapan pagi, mereka juga datang ketika jam makan siang dan sore.

Saya beruntung tinggal di rumah dengan sedikit ruang terbuka di bagian belakang, saya masih bisa melihat langit biru atau pekatnya malam. Beberapa teman saya juga senang dengan teras belakang, sambil merokok mereka menatap bintang, sambil meminum kopi mereka menatap bulan.
Dari kecil saya selalu memimpikan menjadi burung, memiliki sayap dan mengangkasa. Memiliki kebebasan yang bahkan ruang pun tak mampu menjangkaunya. Dan saya akhirnya melihat burung gereja dari dekat, setiap hari, cicit mereka menceritakan banyak hal, tentang angkasa, tentang kebebasan.

Tadi malam yang berarti sabtu malam, cicit mereka terdengar gaduh di belakang, saya telah menyediakan seporsi remah nasi untuk hidangan makan malam mereka. Saya menunggui mereka, menyiapkan teh manis tubruk sambil mendengarkan kuliah umum mengenai sang Liyan dan tentang seksualitas versi Lacan dari youtube. Saya hanya ditemani cicit mereka, tapi dunia saya terasa penuh.
Saya berseri-seri, mengingat perjalanan hidup saya yang panjang dan saya bisa berada pada waktu sekarang , hidup dengan cicit burung setiap hari, orgasme setiap waktu dengan buku-buku di rak makin penuh, dan merayakan kelahiran setiap hari sebelum matahari hadir dengan segelas air jeruk nipis hangat.

Kelahiran

Ket : Gambar dokumentasi pribadi
 Green Lake Village Jakarta, Agustus 2015
judul gambar "menuju cahaya"
Kelahiran selalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan ataupun dengan air mata yang diam-diam bergulir di pelupuk mata. Launcing begitu orang modern menamainya, sambutan dan gunting pita menjadi ritual wajib pada acara pembuka lantas dilanjutkan dengan standing party dan gelaran doa diakhir acara.

Tapi tidak ada pesta ketika kelahiranku ataupun kelahiran anakku. Air mata juga sudah kutitipi pesan untuk tidak ikut berbasa basi, proses kelahiran ini hanya milikku dan Dia yang menjadikanku ada, juga untuk temanku, waktu.

Matahari dengan rela menyaksikan kelahiranku, proses mengejan yang dilakukan aku dan ibuku pun ditadahinya dengan sinar. Sinarnya menghangatkan, hingga darah-darah yang mengalir dari selangkangan pun berwarna kuning keemasan.

Waktu, temanku yang paling setia, satu-satunya. Waktu menungguiku dan ibuku hingga larut, waktu mendengarkan ritme nafas yang tidak teratur. Waktu membisiku bahwa ada seseorang yang datang, tangan kirinya membawa seikat bunga, dan lengan kanannya mengapit parcel buah-buahan. Aku menatapnya, sekilas perih dan jerih saat proses kelahiran luntur sudah. Dia, yang menjadikanku. Karenanya aku bisa terus  hidup dengan cinta, ide dan semangat.

Waktu pun memberikan tempat duduknya untuknya. Dia masih saja mengulum senyum, matahari senja dikunyahnya perlahan, perutnya menjadi buncit berisi matahari, warna badannya jadi kuning keemasan. Dia memberikan pita dan gunting berharap aku mau bersedia melakukan ritual launcing seperti pada umumnya.

Friday, August 14, 2015

Merah Marun

Merah corak putih, seperti bendera merah putih yang dijahit lebih rapat namun ini warna benderanya terkena darah sang pahlawan atau mungkin darah pengantin di malam pertama jadi tepatnya merah marun.

Tudung lampu dengan sudut 600 membuat suasana ruangan menjadi temaram. Ruangan ini rupanya mengikuti kampanye mengurangi polusi cahaya. Ruangan ini tak berubah, masih sama persis sejak 3 tahun dulu kutinggalkan, kamar yang  tak berpenghuni, mestinya asisten rumah tangga mengganti sepreinya dengan warna putih saja sekalian. Ditutup. Tamat.

Koper tua dan besar itu masih teronggok di sana, di sudut kamar dekat pintu. Dulu kamu sengaja menyimpannya, katamu agar kita tak usah repot membawa banyak koper ketika bepergian. Kenyataannya kamu lupa membawa pergi kopermu. Kamu pergi terlalu terburu-buru, sehingga banyak barang yang tertinggal. Padahal hal ini sudah sering kuingatkan kepadamu, dulu. “periksa semua barangmu sebelum pergi jangan sampai ada yang ketinggalan, apalagi jika itu barang berharga misalnya hatimu” kataku mengingatkan.

Saturday, July 25, 2015

Negeri Tak Bernama 2 (Kelas Senin Pagi)

Kelas senin pagi. Tepat jam 10.

Ruangan pendopo yang terletak lebih tinggi dibandingkan perumahan penduduk menjadi pusat kegiatan. Seperti hari ini, kelas senin pagi. Ada 10 orang yang datang. Aku  melihat ada 2 wajah baru diantara lainnya. Dua-duanya lelaki. Rambutnya ikal, kulitnya putih, hidungnya mancung. Segera aku mengajaknya berkenalan, Cleo dan Kinan.

Tanpa aba-aba, kami langsung duduk melingkar. Angin yang bertiup masuk ke ruangan terbuka pendopo ini. Menghembuskan aroma alam yang ramah, mengajak bermain.

Kami saling berpasangan. Tanpa sengaja aku memilih berpasangan dengan Kinan. Diandra pelatih kelas senin pagi, memberi petunjuk. Kami di haruskan duduk saling berhadapan dan memegang tangan pasangan kami. Lalu salah satu dari kami diharuskan berbicara apa saja selama 15 menit dan salah satunya lagi mendengarkan. Seketika ruangan pun menjadi riuh oleh ceracau yang tak jelas dari 5 orang. Kelima lainnya mendengarkan dengan seksama, ada juga yang sudah terlihat bosan. Aku duluan kebagian berbicara. Aku berbicara banyak hal. Dari mulai aktifitas, kegemaran, perc intaan, hingga masa lalu. Mulutku tak henti berbicara, terkadang emosional. Tanpa sadar aku seperti dipaksa mengeluarkan segala hal yang terpendam. Kepingan-kepingan kenangan seolah menunggu giliran untuk dimuntahkan. Kinan memberiku kekuatan melalui genggaman, dari sorot matanya aku tahu dia sedang menyimak. Dari bahasa tubuhnya sepertinya dia tak sabar ingin merespon apa yang kubicarakan, tapi waktuku berbicara belum habis, tersisa 5 menit lagi. Akhirnya 15 menit kujalani dengan berbicara banyak hal tanpa lawan bicara. Aku terdiam beberapa saat. Ada perasaan lega setelah semua yang mengendap akhirnya keluar dengan semestinya. Tiba giliran Kinan yang berbicara dan aku yang mendengarkan. 5 menit pertama aku bisa menyimak Kinan, 10 menit selanjutnya aku sudah tak tahan mendengar suaranya. Mungkin itu juga yang dirasakan Kinan tadi. Waktu seperti enggan melumat hitungan, detik-demi-detik seperti berhenti. Inilah konsep rasa bosan, jenuh.

Bincang Hati

Mendung itu masih menggayut di pelupuk matamu, enggan pergi. Kita telah kehabisan kata-kata, yang tersisa hanyalah amarah.

7 tahun tanpa penyelesaian katamu. Cinta yang telah luruh, hati yang  telah datar kemana perginya rasa yang telah tergarami selama 7 tahun ini? Kamu menentangku.

Aku menarik nafas ini memang terlalu sulit. Jika cinta ibarat air, maka aku telah mengalir ke banyak muara denganmu, dalam perjalanannya kita lalui karang, kita terjun dari tempat tinggi, kita jompalitan, kita tak hanya berjalan. Kalau pada akhirnya sekarang ini aliran kita terhenti pada danau yang tenang, lalu ini salah siapa?

Aku tak mau melihatmu tersiksa, akupun tahu aku tak layak disakiti. Kita memang seringkali tak paham bahwa rasa ternyata bisa berhenti.

Kamu tak siap sendiri, begitupun aku. Tapi itu tak harus menjadi alasan untuk kita tetap bersama. Kamu terlalu istimewa jika keberadaanmu hanya menjadi alasan karena aku takut sendiri. Kamu adalah tujuan, pencapaian.

Lalu 7 tahun ini akan menjadi hal yang sia-sia?kali ini kamu  mengucapkannya dengan suara meninggi.

Panca

Lima. Seperti halnya panca indera, yang mempunya fungsi untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Lima, kita telah melewatinya. Lima kejadian. Lambat-lambat pagi itu kamu mengucapkan mantra tentang waktu. ”Waktu sejatinya harus dituntun untuk mewujudkan keinginan kita, katamu”. Kata-katamu menggema pada langit-langit kamar. Hening, hanya ada suara lirih dari nafas yang sedang dilatih dan diajak bicara.

Penglihatan, mata adalah indera pertama yang mempunyai potensi besar sebagai pembohong. Bohong, karena tidak semua yang dilihat mata adalah kenyataan, bisa saja dibalik fisik yang sempurna tersimpan hati yang buas. Bisa saja, di balik deretan gelar tersimpan suatu karakter yang culas, bisa juga dibalik mobil mewah ada sosok yang terus menerus menyimpan rasa iri. 

Setelah puas oleh mata yang melihat fisik, maka kita pun sama-sama menugasi telinga untuk saling mendengar tentang kita, tentang mereka, tentang Tuhan, tentang waktu, tentang tempat, tentang peristiwa, tentang semesta. Headset menjadi saksi bahwa telah banyak aksara yang dititipkan pada pikir melalui telinga. Telinga kita terlatih untuk mendengarkan penjelasan, diskusi, argumentasi, tangisan, sanggahan, tudingan, makian, sangkaan. Telinga menghimpun letupan huruf setiap harinya.

Mata dan telinga kita telah aktif dan teruji, masing-masing dari kita telah tahu dan paham.

Tuesday, May 12, 2015

Sebuah Perayaan



Saya pernah mengalami malam-malam yang mengerikan. Tubuh saya di lumat habis oleh binatang buas, kuku-kuku hitamnya mencengkram tangan dan kaki saya. Dengusan yang keluar dari hidungnya sungguh membuat saya muak. Saat itu saya seringkali berdoa bahwa kematian telah dekat, tapi ternyata sepertinya saya mencintai hidup lebih besar daripada saya mendamba kematian. 

Binatang buas itu tak segan-segan membunuh mangsanya, gigi-giginya yang tajam dia pakai untuk mengunyah tanpa sisa daging santapannya. Seringkali saya mengecohnya dengan menyuguhkan musik-musik pencipta kedamaian. Rileksasi music, itu judul aplikasi yang saya download dari smartphone, berharap music bisa menenggelamkan segala hal dan kepenatan, atau juga barangkali menenggalamkan rembulan agar lebih cepat pulang.

Pada pagi yang masih ranum, saya mendapati binatang buas itu tertunduk lesu. Gigi tajamnya menguning, matanya sayu, kulitnya kusam, impoten, begitu saya menamainya. Saya dekati dia perlahan sambil berjaga-jaga membawa cemeti dan parang. Dia tak bereaksi. Lalu saya ayunkan cambuk berkali-kali pada badannya, dia merintih kesakitan. Saya seperti kurang waras, saya terus cambuki dia sambil mengucapkan sumpah serapah, saya menangis hebat. Menangisi duka yang berkepanjangan selama ini, menangisi malam-malam yang telah di rampas dengan paksa, menangisi tubuh saya yang telah ditindihnya setiap malam.

Thursday, May 7, 2015

Perjalanan nikmatilah, selayaknya hidup!



Pesona Kota Tua akan membius para pengunjungnya, kecuali memang ketika Kota Tua menjadi tempat menyedihkan seperti berpisahnya dengan mantan pacar. Kota Lama Semarang, Daerah Cagar budaya Braga Bandung, dan Kota Tua Jakarta, bagi saya ketiganya memancarkan pesona yang sama. Eksotis.

Kota Lama Semarang agak kurang terawat, kita digiring pada bangunan-bangunan lama yang sekarat, melepuh dindingnya, pemandangan yang menyedihkan. Keperkasaan bangunan Belanda hilang ditelan usia, harga dirinya luluh lantak, pada akhirnya bangunan-bangunan saksi sejarah itu harus merelakan dirinya disetubuhi oleh tinta, cat dan tulisan-tulisan tak masuk akal. Memang ada beberapa bangunan yang masih difungsikan tapi kecantikannya pudar, seperti laki-laki yang ditinggal istrinya selingkuh.



Tuesday, March 10, 2015

Hukum dan Cerita Perempuan

Sebagai warga negara yang menjadi bagian dari sebuah negara besar, saya berhak mendapatkan rasa aman untuk tinggal di negara ini. Satu-satunya tempat yang menurut saya bisa memberikan rasa aman dan adil kepada saya yaitu pengadilan. Lembaga hukum yang idealnya memberikan keadilan dan hukuman pada yang bersalah.

Hal itu pula yang dirasakan oleh adik saya, RR. Mahasiswi semester 4 sebuah Perguruan Tinggi di Bandung. RR, menjadi salah satu korban kekerasan dalam pacaran. Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (pacarnya) sekitar Mei 2014. Saya harus mengacungkan jempol kekaguman kepada adik saya ini, RR berani melapor ke kantor polisi terdekat, dengan keadaan wajah hancur karena dihajar pelaku, RR pun melakukan visum.
RR mempunyai harapan yang tinggi pada pemberi keadilan agar memberikan keadilan yang seadil-adilnya untuk dirinya. Dari mulai pelaporan, penyidikan, sampai pada tahap proses pengadilan. Itu adalah masa-masa kelam bagi RR, teror dari pelaku, sidang yang tak selesai-selesai dan bayangan bahwa pelaku akan lolos menyebabkan RR mengalami depresi, percobaan bunuh diri pun 2x dilakukan oleh RR.

Tapi untunglah jiwa RR selalu tertolong, ada tangan-tangan yang menyangga tubuh RR ketika RR mencoba menjatuhkan diri dari lantai 8 kampusnya.

Saya sendiri pernah melihat pelaku. Waktu itu saya menemani RR untuk menjalani sidang komisi disiplin di kampusnya, seketika RR menjerit histeris, sidang komisi disiplin pun dicancel. RR trauma, jelas!

Proses persidangan berjalan bertele-tele dengan beragam alasan baik dari pihak pengadilan maupun dari pelaku. Rabu menjadi hari yang menegangkan bagi RR, kasusnya disidangkan setiap hari rabu, rabu demi rabu tanpa kepastian. Kemarin, Rabu tanggal 4 Maret 2015 seharusnya itu menjadi hari putusan, tetapi sayang pelaku tidak hadir dengan alasan sakit, sidang pun di tunda. Proses penundaan yang berulang kali membuat perkara ini semakin kabur.

Dengan kondisi ini jiwa RR pun makin labil, bayangan pelaku akan menerima hukuman yang ringan pun terbayang sudah, Jaksa hanya menuntut 6 bulan penjara.

Untuk sebuah tindak kekerasan yang hampir merenggut nyawa dan mengobrak-abrik mental RR, saya kira ini tak adil. Jika hukuman yang dijatuhkan oleh hakim hanya 6 bulan maka ini sama saja dengan negara ini memberikan ruang untuk para pelaku kekerasan.

Besok, Rabu tanggal 11 Maret 2015 agenda sidang adalah pembacaan putusan karena penundaan minggu kemarin. Semoga menjadi hari keadilan bagi RR. Hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 maret kemarin, sudah seharusnya menjadi momentum bahwa kekerasan terhadap perempuan tak bisa lagi dimaklumi.
 

Wednesday, March 4, 2015

Ada yang Tiada 2



Tulisan saya sebelumnya berbicara tentang persiapan perpisahan jasad dan ruh, dan waktu itu ibu telah di rawat di rumah sakit selama 14 hari. Dan sekarang, ini adalah hari ke-7 setelah kepergian ibu. Ya, ibu meninggal tepat satu hari setelah dia berulang tahun. Saya berpikir mungkin ini kado yang diberikan Tuhan buat ibu. Satu bulan, ibu berjuang melawan bakteri yang mengganas, tubuh primanya pun menyusut, mengerut, habis di makan penyakit. 

Tiga kali masuk ruang ICU karena kondisi drop dan sebanyak tiga kali itu pula doa-doa penuh dilantunkan oleh orang-orang terdekat, kadang kala kita seringkali berdoa hanya dalam posisi terjepit. Saya berbincang dengan anak ibu yang lain bertanya tentang perasaannya yang harus tersiksa karena orang yang paling dicintainya harus menyerah dengan sonde, selang oksigen, 5 kantong darah yang di transfusikan juga kateter.
Anak ibu hanya menyandarkan kepalanya di bahuku.  Saya semestinya tak bertanya, matanya sudah memberikan jawaban yang banyak dari yang saya harapkan. “Aku hanya ingin ini segera berakhir baik, apapun hasilnya” katanya.

Pasrah. Itu adalah titik manusia sudah tak punya daya lagi, jika sudah begini, Tuhan pun di cari. Spiritual, ternyata kita butuh hal yang satu ini. Saya dan kamu kebetulan berdoa pada Tuhan yang sama, tetapi saudara terdekat ibu berdoa pada Tuhan yang berbeda. Tapi kami sepakat bahwa doa itu akan sampai ke alamat yang sama. 

Saturday, February 14, 2015

Ada Yang Tiada

Setiap ruh memerlukan jasad untuk melekat. Jasad yang terdiri dari beberapa organ akan bekerja sama untuk kemudian menggerakkan pikiran dan hati yang berwujud tindakan.

Kadang kala kita tidak pernah mengerti tentang apa yang kita miliki, sampai sesuatu itu menghilang dan tak berfungsi. Ungkapan ini benar adanya. Konsep lahir dan bathin datang satu paket. Banyak dari kita hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah saja, seolah bathin menempati porsi kedua padahal mustinya setara.

Tentang kematian, itu seperti hal yang tabu untuk di bahas. “Ssshhh, jangan ngomong tentang kematian” banyak diantara kita langsung berbicara sshhhh lalu di sambut dengan ucapan pamali seraya menempelkan jari di bibir ataupun kode dengan gelengan kepala.

Kematian seperti benar-benar tak terjangkau, alam kematian apalagi. Kematian seperti kata-kata yang jika diucapkan maka orang tersebut akan tersedot dan tak kembali. Jika saja setiap kematian disambut dengan meriah, dan dipersiapkan sebaik-baiknya. Mungkin saja para penjual tissu akan kekurangan omzet penjualan karena para pelayat tak menangis.

Rumah sakit, menjadi salah satu tempat perpisahan. Seringkali dinding di rumah sakit menyimpan rahasia tentang tangisan akan berpisahnya jasad dan ruh. Saya menulis ini sembari membayangkan bagaimana jika saya meninggal kelak? Akankah perpisahan saya di saksikan dinding rumah sakit atau barangkali tempat lainnya.

Para perawat, semestinya jauh-jauh hari mempersiapkan sanak saudara tentang kematian si sakit. Atau barangkali dokter sesekali mengingatkan yang sakit “hei... bu bagaimana persiapan menjelang kematian”. Tapi sekali lagi itu adalah mustahil di sini, ya di sini.

Friday, January 23, 2015

Negeri yang Lucu



Lucu, negeri kita benar-benar lucu. Itu katamu siang tadi. Kamu lihat penjual minuman itu? Dia menjajakan minumannya seolah semua orang kehausan, apa dia tidak lihat bahwa aku telah meminum habis seluruh air matamu siang dan malam. Aku kenyang.

Lalu apa yang kamu tertawakan?

Aku menertawakan negerimu itu... negeri yang katanya kaya oleh sinar matahari dan berlimpah cahaya rembulan itu, negeri yang katanya di huni oleh ratusan bidadari berparas cantik yang siap melengkungkan senyum-senyum indah dari bibir bergincu berupa warna.

Negeri yang juga penuh oleh doa-doa yang dipanjatkan siang dan malam dari para penghuninya yang beriman.

Lantas apa yang lucu?

Dagelan semua ini.

Negerimu mencoba bermain drama, tapi lihat drama yang ditampilkan sangat murahan. Semua ingin menjadi aktor utama, apa mereka tidak pernah belajar tentang pemeranan? Suruh para petinggi-petinggi di negerimu untuk berkunjung ke STSI eh ISBI Bandung, juga ke ISI Solo, ISI Yogya, IKJ dan sekolah seni lainnya, untuk lebih mendalami menjadi pemain drama.

Lalu apa hubungannya dengan penjual minuman tadi?

Apa kamu tidak melihat penjual minuman tadi berpura-pura menjual minuman, sebenarnya yang dia jual adalah harga dirinya. Wah kenapa bisa begitu?tanyaku semakin tak mengerti. Kamu lihat dia bilang bahwa yang dia jual adalah es teh manis, padahal dia tahu betul bahwa teh tersebut tidak manis, entah karena teh dengan kualitas buruk ataupun gula dengan kualitas buruk.

Apa penjual es teh manis itu tahu?bahwa dulu Priangan yang didiaminya pernah menjadi tempat perkebunan teh terbaik, masa-masa yang gemilang bagi Priangan. Sekarang coba lihat Prianganmu yang semakin putus asa, Priangan yang sekarat karena lahannya menjadi hunian bagi manusia-manusia yang sebagian manusia-manusia itu menjadi pemain drama di pentas panggung Negerimu.
Penjual minuman itu menjual harga dirinya dan menukarnya dengan rupiah.

Para pejabat di negerimu itu ya begitu juga, mereka menelanjangi dirinya sendiri, menjual harga dirinya dan menukarnya dengan dollar.

Negeri yang katanya kaya ini tak ubahnya sebuah lukisan bagi rakyat, yang hanya bisa dipandangi. Elit-elitnya terlalu rakus, sampai tak bisa membedakan mana warna jingga lembayung sore hari atau jingga ketika fajar datang. Bodoh!!

Lalu apa yang akan kamu lakukan, menertawakan terus-terusan negerimu yang lucu itu atau memaki-maki penjual minuman itu?

Akan kuborong semua minuman di abang penjual itu, ku bayar di awal air matamu dengan air teh murahan ini, agar malam-malam selanjutnya kamu tak lagi menangis, menangis karena negerimu atau menangis karena hal lain.

Lantas untuk negerimu?

Aku akan segera ke Gedung KPK, membentuk barikade pembelaan terhadap kebenaran.
Kamu sendiri bagaimana, ikut denganku malam ini ke gedung KPK atau hanya Ikut menertawakan dan hanya sekedar menjadi penonton?



@Na_Asyari
Turut berbela sungkawa untuk matinya kebenaran di Negeri ini. 


Friday, January 2, 2015

Kaum Wanita dan Nabi



Sebuah Resensi dari Buku Karya Annemarie Schimmel “Jiwaku adalah Wanita” Aspek Feminin dalam Spritualitas Islam, Diterbitkan oleh Mizan tahun 1998 dalam bab Kaum Wanita dan Nabi
Buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris dengan judul  “Meine Seele ist eine Frau : Das Weibliche im Islam”, terbitan Kosel tahun 1995


“Allah telah membuatku menyayangi dari duniamu kaum wanita dan wewangian” hadist nabi ini sering dikutip, jadi bagaimana mungkin islam bisa dikenal sebagai agama yang berpandangan negatif terhadap kaum wanita?
Khadijah, janda yang telah mempunyai anak itu menjadi istri pertama Muhammad dan kemudian melahirkan anak-anaknya. Peran Khadijah bagi kehidupan Muhammad membuat dia pantas mendapat sebutan Ibu kaum beriman dan wanita terbaik Khair an-nisa.
Setelah Khadijah, Aisyah putri abu bakar menjadi istri Muhammad. Wanita-wanita lainnya yang menjadi istri Muhammad adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya atau dicerai atau juga bekas budak. Fakta ini mendukung perkawinan kembali janda-janda di kalangan kaum modernis di India pada abad ke-19 dan ke-20.  
Aisyah mempunyai peran penting. Dia menjadi pendokumentasi untuk berbagai masalah yang timbul dari tradisi, dan membahasnya dengan para sahabat nabi. Aisyah juga terjun ke medan perang pada tahun 656 untuk melawan Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya, Aisyah pun menjadi kebanggaan orang Sunni. Panggilan Muhammad kepada Aisyah Kallimi ya Humaira “Bicaralah padaku, gadis kecilku yang kemerah-merahan”.
Aisyah tidak disukai dalam tradisi Syi’ah sebab dia menentang Ali, Ali yang oleh kaum Syi’ah dihormati sebagai imam yang pertama. Yang membuat hubungan semakin memburuk antara Aisyah dan Ali adalah ketika Ali mengungkapkan komentar negatif tentang wanita itu ketika dia kehilangan kalungnya dalam suatu perjalanan dan diantar kembali ke tengah khalifah oleh seorang pemuda. Namun keraguan mengenai kehormatannya itu segera dihilangkan oleh turunnya wahyu QS 24:11. Dalam literatur kaum Nusairi ultra-Syi’ah, Aisyah bahkan dibandingkan dengan sapi kekuning-kuningan, kurban yang diserahkan kepada Musa dalam QS 2:67-72.