Thursday, May 7, 2015

Perjalanan nikmatilah, selayaknya hidup!



Pesona Kota Tua akan membius para pengunjungnya, kecuali memang ketika Kota Tua menjadi tempat menyedihkan seperti berpisahnya dengan mantan pacar. Kota Lama Semarang, Daerah Cagar budaya Braga Bandung, dan Kota Tua Jakarta, bagi saya ketiganya memancarkan pesona yang sama. Eksotis.

Kota Lama Semarang agak kurang terawat, kita digiring pada bangunan-bangunan lama yang sekarat, melepuh dindingnya, pemandangan yang menyedihkan. Keperkasaan bangunan Belanda hilang ditelan usia, harga dirinya luluh lantak, pada akhirnya bangunan-bangunan saksi sejarah itu harus merelakan dirinya disetubuhi oleh tinta, cat dan tulisan-tulisan tak masuk akal. Memang ada beberapa bangunan yang masih difungsikan tapi kecantikannya pudar, seperti laki-laki yang ditinggal istrinya selingkuh.






Tapi justru keadaan yang menyedihkan itu yang bisa membangkitkan ingatan kita tentang kejayaan masa lampau. Dalam keadaan Kota Lama yang sangat putus asa, kita bisa membayangkan bahwa dulu area ini sangat ramai, pelabuhan Tanjung Mas dan Laut Jawa menjadi latar belakang, lampu di pelabuhan yang berkerlap kerlip menjadi penanda bahwa daerah ini menjadi primadona.

Lain halnya dengan Braga, jantung Paris Van Java. Area ini masih hidup penuh gairah apalagi setelah ada puncak perayaan KAA kemarin, tapi memang tak bisa dipungkiri polesan modern tak bisa mengembalikan kesan Tua, modern ya modern. Kemodern-an Braga ditandai dengan maraknya cafe-cafe yang bermunculan. Lalu lintas yang padat, menjadikan daerah ini tak layak untuk para penikmat keheningan dan pengingat kenangan. Ya Braga memang hidup, tapi polesan modern di area ini kental sekali, terlalu modern untuk sebuah Kota Tua di Bandung.

Jakarta, daerah Kota Tuanya luas sekali. Di sini saya merasa hidup, menikmati Kota Tua ketika malam seperti menghadiahi diri sendiri hiburan yang tak berkesudahan. Hiruk pikuk manusia menjadikan tempat ini sangat manusiawi, beragam aktifitas hadir dengan harga murah. Level rakyat jelata, begitu temanku menamainya, tapi justru hiburan bagi rakyat jelata lah yang justru murah tapi sangat mewah.
Lihat di arah jam sembilanmu, orang-orang berjoget dengan bebasnya. Penonton duduk melingkar melihat orang-orang berjoget, sesekali penonton pun terbawa suasana, tubuhny mulai mengikuti irama. Kemudian lihat di arah jam sepuluhmu, orang-orang sibuk berfoto bersama tokoh-tokoh kartun yang lagi marak, dan ada abang perental balon yang merelakan balonnya di genggaman tanganmu.





 
Di Kota Tua Jakarta, di sekelilingmu adalah tawa dan kebahagaian setidaknya itu yang saya rasakan. Daerah ini magis, menyedot para pengunjung untuk menghapus duka dan mengeringkan lukanya. Sekalipun luka itu telah bernanah. Jika saja bangunan-bangunan ini bisa bertutur mungkin dia akan selalu berdendang, menyapa tukang batu akik yang lagi naik daun, ataupun menyapa orang-orang yang berselfie sampai lupa diri bahwa memori hp nya ternyata penuh. mungkin bangunan-bangunan ini bosan mendengarkan suara cempreng penyanyi dangdut setiap malam, atau malah ikut menyanyi dengan suaranya yang berat karena usia? 

Saya jadi ingat beberapa tempat yang sangat magis yang mampu membuat saya lupa akan segala kesedihan.

Alun-alun kidul Yogyakarta, tempat semua energi positif terhimpun. Di tempat ini tak ada air mata kesedihan, yang hadir adalah gelak tawa bahagia. Di tempat ini kamu akan terlahir sebagai manusia baru yang tak punya dendam, tak ada kebencian. Mungkin beringin kembar yang di berada di tengah-tengah tanah lapang ini menyedot semua derita pengunjungnya, hingga tubuhnya ringkih, tua, akar-akarnya menjuntai ke tanah. Jika saja kita jeli, mungkin saja akar-akar itu adalah duka. 


Akhirnya saya sadar, setiap tempat selalu menyimpan cerita. Begitupun dengan perjalanan, maka nikmatilah, selayaknya hidup.


  
Ket : gambar dokumentasi penulis

No comments:

Post a Comment