Pesona Kota Tua akan membius para pengunjungnya, kecuali
memang ketika Kota Tua menjadi tempat menyedihkan seperti berpisahnya dengan
mantan pacar. Kota Lama Semarang, Daerah Cagar budaya Braga Bandung, dan Kota
Tua Jakarta, bagi saya ketiganya memancarkan pesona yang sama. Eksotis.
Kota Lama Semarang agak kurang terawat, kita digiring pada
bangunan-bangunan lama yang sekarat, melepuh dindingnya, pemandangan yang
menyedihkan. Keperkasaan bangunan Belanda hilang ditelan usia, harga dirinya
luluh lantak, pada akhirnya bangunan-bangunan saksi sejarah itu harus merelakan
dirinya disetubuhi oleh tinta, cat dan tulisan-tulisan tak masuk akal. Memang ada
beberapa bangunan yang masih difungsikan tapi kecantikannya pudar, seperti laki-laki
yang ditinggal istrinya selingkuh.
Tapi justru keadaan yang menyedihkan itu yang bisa
membangkitkan ingatan kita tentang kejayaan masa lampau. Dalam keadaan Kota
Lama yang sangat putus asa, kita bisa membayangkan bahwa dulu area ini sangat
ramai, pelabuhan Tanjung Mas dan Laut Jawa menjadi latar belakang, lampu di pelabuhan
yang berkerlap kerlip menjadi penanda bahwa daerah ini menjadi primadona.
Lain halnya dengan Braga, jantung Paris Van Java. Area ini
masih hidup penuh gairah apalagi setelah ada puncak perayaan KAA kemarin, tapi
memang tak bisa dipungkiri polesan modern tak bisa mengembalikan kesan Tua,
modern ya modern. Kemodern-an Braga ditandai dengan maraknya cafe-cafe yang
bermunculan. Lalu lintas yang padat, menjadikan daerah ini tak layak untuk para
penikmat keheningan dan pengingat kenangan. Ya Braga memang hidup, tapi polesan
modern di area ini kental sekali, terlalu modern untuk sebuah Kota Tua di
Bandung.
Jakarta, daerah Kota Tuanya luas sekali. Di sini saya merasa
hidup, menikmati Kota Tua ketika malam seperti menghadiahi diri sendiri hiburan
yang tak berkesudahan. Hiruk pikuk manusia menjadikan tempat ini sangat
manusiawi, beragam aktifitas hadir dengan harga murah. Level rakyat jelata, begitu
temanku menamainya, tapi justru hiburan bagi rakyat jelata lah yang justru
murah tapi sangat mewah.
Lihat di arah jam sembilanmu, orang-orang berjoget dengan
bebasnya. Penonton duduk melingkar melihat orang-orang berjoget, sesekali
penonton pun terbawa suasana, tubuhny mulai mengikuti irama. Kemudian lihat di
arah jam sepuluhmu, orang-orang sibuk berfoto bersama tokoh-tokoh kartun yang
lagi marak, dan ada abang perental balon yang merelakan balonnya di genggaman
tanganmu.
Di Kota Tua Jakarta, di sekelilingmu adalah tawa dan
kebahagaian setidaknya itu yang saya rasakan. Daerah ini magis, menyedot para
pengunjung untuk menghapus duka dan mengeringkan lukanya. Sekalipun luka itu
telah bernanah. Jika saja bangunan-bangunan ini bisa bertutur mungkin dia akan selalu
berdendang, menyapa tukang batu akik yang lagi naik daun, ataupun
menyapa orang-orang yang berselfie sampai lupa diri bahwa memori hp nya
ternyata penuh. mungkin bangunan-bangunan ini bosan mendengarkan suara
cempreng penyanyi dangdut setiap malam, atau malah ikut menyanyi dengan
suaranya yang berat karena usia?
Saya jadi ingat beberapa tempat yang sangat magis yang mampu
membuat saya lupa akan segala kesedihan.
Alun-alun kidul Yogyakarta, tempat semua energi positif
terhimpun. Di tempat ini tak ada air mata kesedihan, yang hadir adalah gelak
tawa bahagia. Di tempat ini kamu akan terlahir sebagai manusia baru yang tak
punya dendam, tak ada kebencian. Mungkin beringin kembar yang di berada di
tengah-tengah tanah lapang ini menyedot semua derita pengunjungnya, hingga
tubuhnya ringkih, tua, akar-akarnya menjuntai ke tanah. Jika saja kita jeli,
mungkin saja akar-akar itu adalah duka.
Akhirnya saya sadar, setiap tempat selalu menyimpan cerita. Begitupun
dengan perjalanan, maka nikmatilah, selayaknya hidup.
Ket : gambar dokumentasi penulis
No comments:
Post a Comment