Wednesday, March 4, 2015

Ada yang Tiada 2



Tulisan saya sebelumnya berbicara tentang persiapan perpisahan jasad dan ruh, dan waktu itu ibu telah di rawat di rumah sakit selama 14 hari. Dan sekarang, ini adalah hari ke-7 setelah kepergian ibu. Ya, ibu meninggal tepat satu hari setelah dia berulang tahun. Saya berpikir mungkin ini kado yang diberikan Tuhan buat ibu. Satu bulan, ibu berjuang melawan bakteri yang mengganas, tubuh primanya pun menyusut, mengerut, habis di makan penyakit. 

Tiga kali masuk ruang ICU karena kondisi drop dan sebanyak tiga kali itu pula doa-doa penuh dilantunkan oleh orang-orang terdekat, kadang kala kita seringkali berdoa hanya dalam posisi terjepit. Saya berbincang dengan anak ibu yang lain bertanya tentang perasaannya yang harus tersiksa karena orang yang paling dicintainya harus menyerah dengan sonde, selang oksigen, 5 kantong darah yang di transfusikan juga kateter.
Anak ibu hanya menyandarkan kepalanya di bahuku.  Saya semestinya tak bertanya, matanya sudah memberikan jawaban yang banyak dari yang saya harapkan. “Aku hanya ingin ini segera berakhir baik, apapun hasilnya” katanya.

Pasrah. Itu adalah titik manusia sudah tak punya daya lagi, jika sudah begini, Tuhan pun di cari. Spiritual, ternyata kita butuh hal yang satu ini. Saya dan kamu kebetulan berdoa pada Tuhan yang sama, tetapi saudara terdekat ibu berdoa pada Tuhan yang berbeda. Tapi kami sepakat bahwa doa itu akan sampai ke alamat yang sama. 

Saya berkesempatan menengok ibu, saya tak pernah berpikir bahwa itu adalah yang terakhir. Tapi saya tahu bahwa waktunya sudah dekat. Di depan ruang ICU saya dan anak ibu lainnya mencoba tidur sambil tetap terjaga, hati ini was-was, telinga ini seolah tajam sekali mendengar setiap panggilan dari ruang ICU. Subuh jam 4, waktunya saya musti pulang, saya bersiap. Tetapi bukan itu yang membuat saya terbangun, saya terbangun oleh bayangan atau mungkin itu mimpi tentang ibu yang berbaju putih seperti mengenakan mukena, tersenyum kepada saya. Saya pun langsung terjaga. Anak ibu lainnya masih terlelap. 

Saya pun bergegas pulang.
Saya tahu, waktunya sudah dekat.

Tiba di tempat tujuan, saya langsung aktifkan HP dan benar saja banyak pesan masuk, “ibu meninggal”. Seketika ketangguhan saya runtuh, 15 menit saya perlu menenangkan diri, bagaimanapun saya kehilangan ibu.

Selamat berpisah dengan kateter, sonde, infus, selang oksigen dan ventilator ya bu, tubuh ibu sekarang tak lagi menerima penyiksaan.

Di hari ke tujuh ini sebenarnya saya ingin bertanya pada ibu, bagaimana rasanya berpisah? Apakah menyakitkan? Atau jangan-jangan perpisahan itu melegakan? Bagaimana dengan doa-doa yang kami lantunkan selama 7 hari ini untuk ibu? Apakah cukup?

Saya pun bertanya dengan anak ibu yang lainnya, “bagaimana rasanya?lega?”.
“Ya aku lega, karena hasil akhirnya sudah jelas”.

Mungkin kebanyakan orang yang mendengar akan marah karena perpisahan malah disambut dengan kelegaan, harusnya dengan dukacita.

Tapi beberapa orang, segelintir ya hanya segelintir saja mempunyai pandangan bahwa perpisahan bukanlah sesuatu hal yang menakutkan dan menyedihkan.

“Aku hanya ingin ibu sembuh” katanya.
Sembuh bagi banyak orang berarti seperti sediakala, tetapi ketika saya tanya padanya tentang definisi sembuh, baginya sembuh adalah diangkat penyakitnya. Kematian berarti pelepasan segala rasa sakit.

Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya sendiri lega?
Ya saya lega, karena saya tahu penyiksaan terhadap tubuh melalui alat-alat medis telah berakhir.

Mengenang 7 hari meninggalnya ibu...
Tulisan ini kuhaturkan.

No comments:

Post a Comment