Tulisan saya sebelumnya berbicara tentang
persiapan perpisahan jasad dan ruh, dan waktu itu ibu
telah di rawat di rumah sakit selama 14 hari. Dan sekarang, ini adalah hari
ke-7 setelah kepergian ibu. Ya, ibu meninggal tepat satu hari setelah dia
berulang tahun. Saya berpikir mungkin ini kado yang diberikan Tuhan buat ibu.
Satu bulan, ibu berjuang melawan bakteri yang mengganas, tubuh primanya pun
menyusut, mengerut, habis di makan penyakit.
Tiga kali masuk ruang ICU karena kondisi drop
dan sebanyak tiga kali itu pula doa-doa penuh dilantunkan oleh orang-orang
terdekat, kadang kala kita seringkali berdoa hanya dalam posisi terjepit. Saya
berbincang dengan anak ibu yang lain bertanya tentang perasaannya yang harus
tersiksa karena orang yang paling dicintainya harus menyerah dengan sonde,
selang oksigen, 5 kantong darah yang di transfusikan juga kateter.
Anak ibu hanya menyandarkan kepalanya di
bahuku. Saya semestinya tak bertanya,
matanya sudah memberikan jawaban yang banyak dari yang saya harapkan. “Aku
hanya ingin ini segera berakhir baik, apapun hasilnya” katanya.
Pasrah. Itu adalah titik manusia sudah tak
punya daya lagi, jika sudah begini, Tuhan pun di cari. Spiritual, ternyata kita
butuh hal yang satu ini. Saya dan kamu kebetulan berdoa pada Tuhan yang sama,
tetapi saudara terdekat ibu berdoa pada Tuhan yang berbeda. Tapi kami sepakat
bahwa doa itu akan sampai ke alamat yang sama.
Saya
berkesempatan menengok ibu, saya tak pernah berpikir bahwa itu adalah yang
terakhir. Tapi saya tahu bahwa waktunya sudah dekat. Di depan ruang ICU saya
dan anak ibu lainnya mencoba tidur sambil tetap terjaga, hati ini was-was,
telinga ini seolah tajam sekali mendengar setiap panggilan dari ruang ICU.
Subuh jam 4, waktunya saya musti pulang, saya bersiap. Tetapi bukan itu yang
membuat saya terbangun, saya terbangun oleh bayangan atau mungkin itu mimpi
tentang ibu yang berbaju putih seperti mengenakan mukena, tersenyum kepada
saya. Saya pun langsung terjaga. Anak ibu lainnya masih terlelap.
Saya pun bergegas pulang.
Saya tahu, waktunya sudah dekat.
Tiba di tempat tujuan, saya langsung aktifkan
HP dan benar saja banyak pesan masuk, “ibu meninggal”. Seketika ketangguhan
saya runtuh, 15 menit saya perlu menenangkan diri, bagaimanapun saya kehilangan
ibu.
Selamat berpisah dengan kateter, sonde, infus,
selang oksigen dan ventilator ya bu, tubuh ibu sekarang tak lagi menerima
penyiksaan.
Di hari ke tujuh ini sebenarnya saya ingin
bertanya pada ibu, bagaimana rasanya berpisah? Apakah menyakitkan? Atau
jangan-jangan perpisahan itu melegakan? Bagaimana dengan doa-doa yang kami
lantunkan selama 7 hari ini untuk ibu? Apakah cukup?
Saya pun bertanya dengan anak ibu yang
lainnya, “bagaimana rasanya?lega?”.
“Ya aku lega, karena hasil akhirnya sudah
jelas”.
Mungkin kebanyakan orang yang mendengar akan
marah karena perpisahan malah disambut dengan kelegaan, harusnya dengan
dukacita.
Tapi beberapa orang, segelintir ya hanya
segelintir saja mempunyai pandangan bahwa perpisahan bukanlah sesuatu hal yang
menakutkan dan menyedihkan.
“Aku hanya ingin ibu
sembuh” katanya.
Sembuh bagi banyak orang
berarti seperti sediakala, tetapi ketika saya tanya padanya tentang definisi
sembuh, baginya sembuh adalah diangkat penyakitnya. Kematian berarti pelepasan
segala rasa sakit.
Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya sendiri lega?
Ya saya lega, karena saya tahu penyiksaan
terhadap tubuh melalui alat-alat medis telah berakhir.
Mengenang 7 hari meninggalnya ibu...
Tulisan ini kuhaturkan.
No comments:
Post a Comment