Tuesday, May 12, 2015

Sebuah Perayaan



Saya pernah mengalami malam-malam yang mengerikan. Tubuh saya di lumat habis oleh binatang buas, kuku-kuku hitamnya mencengkram tangan dan kaki saya. Dengusan yang keluar dari hidungnya sungguh membuat saya muak. Saat itu saya seringkali berdoa bahwa kematian telah dekat, tapi ternyata sepertinya saya mencintai hidup lebih besar daripada saya mendamba kematian. 

Binatang buas itu tak segan-segan membunuh mangsanya, gigi-giginya yang tajam dia pakai untuk mengunyah tanpa sisa daging santapannya. Seringkali saya mengecohnya dengan menyuguhkan musik-musik pencipta kedamaian. Rileksasi music, itu judul aplikasi yang saya download dari smartphone, berharap music bisa menenggelamkan segala hal dan kepenatan, atau juga barangkali menenggalamkan rembulan agar lebih cepat pulang.

Pada pagi yang masih ranum, saya mendapati binatang buas itu tertunduk lesu. Gigi tajamnya menguning, matanya sayu, kulitnya kusam, impoten, begitu saya menamainya. Saya dekati dia perlahan sambil berjaga-jaga membawa cemeti dan parang. Dia tak bereaksi. Lalu saya ayunkan cambuk berkali-kali pada badannya, dia merintih kesakitan. Saya seperti kurang waras, saya terus cambuki dia sambil mengucapkan sumpah serapah, saya menangis hebat. Menangisi duka yang berkepanjangan selama ini, menangisi malam-malam yang telah di rampas dengan paksa, menangisi tubuh saya yang telah ditindihnya setiap malam.


Dia mendengus seperti biasa. Lidahnya menjulur, tanda dia kepayahan. Tak ada kata maaf darinya, begitupun tak ada pengampunan dari saya.

Semua impas.


Saya terkulai karena energi yang tersedot habis. Dengan teliti, saya periksa  kaki saya, jari-jarinya, betis, lutut, paha, selangkangan, pinggang, perut, dada, payudara, lengan, dagu, bibir, telinga, mata, alis, leher, rambut. Saya bergidik membayangkan bahwa semua ini telah di rasainya. Saya pernah mencuci tubuh saya dengan tanah sebanyak tujuh kali, katanya itu cara untuk menghilangkan najis di zaman Muhammad, yang lahir pada abad ke 6 Masehi.

Saya beranjak, menyisir rambut saya dan menggulungnya, memakai make up, memakai lisptik, memakai blazer, hari ini aktifitas saya padat. Saya tak peduli pada makhluk berkaki empat yang sedang meringkuk kepayahan itu. Saya tak peduli! mungkin dia mati sebentar lagi.

Matahari, dulu seringkali saya mengumpatnya karena dia merampas waktu-waktu hidup saya. Ya, saya adalah penikmat malam. Wajah malam membuai saya dalam keheningan dan rasa damai. Malam bukan hanya milik para penjual angkringan, ataupun seniman yang acapkali berkarya ketika malam. Tapi malam juga adalah milik saya, perempuan yang seringkali berpikir bahwa mencintai hidup mungkin lebih mudah daripada mendamba kematian.

Malam sangat larut ketika saya pulang. Saya dapati makhluk berkaki empat itu terdiam kaku. Kematian telah menjemputnya dengan caranya sendiri. Lidahnya menjulur, matanya melotot saya, bulu-bulu di badannya rontok seketika. Saya kembali berpikir bahwa ternyata kuasa mempunyai masa nya sendiri. Dulu, binatang buas ini gagah perkasa. Hidupnya penuh dengan pujian banyak orang. Dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan kuasanya. Tapi ternyata alam tak bisa dibantah. Kerapuhan menunggunya. Perlahan, semuanya jatuh. Harga dirinya yang pertama kali jatuh, lalu gigi taringnya yang mulai keropos. Otot-otot kakinya yang dulu kuat setiap kali mencengkram korbannya, bahkan sudah tak bisa lagi menopang tubuhnya. Terakhir yang saya lihat, yang jatuh dari tubuhnya adalah bulu-bulunya. Simbol kekuasaan dia selama ini, pakaian yang mampu menyamarkan dia sehingga hidupnya bisa bergelimpangan pujian.

Saya yang merasa pernah menjadi korbannya, tak sudi mendoakan kematiannya. Kematiannya tak layak dirayakan, biarkan dia membusuk sampai dikerubungi lalat. Namanya tak perlu lagi diingat.
Malam ini setelah seminggu kematiannya. Saya mengadakan perayaan sederhana atas diri saya, tubuh saya yang tak harus menjalani malam mengerikan lagi. Saat ini saya berani kembali tersenyum pada bulan, kuucapkan maaf padanya karena kemarin hanya sumpah serapah yang keluar dari mulut saya setiap kemunculannya.

Saya buka pakaian saya, blouse, celana jeans, underwear. Saya resmi telanjang. Saya padamkan lampu kamar, membuka jendela dan kupersilahkan dengan khidmat cahaya rembulan menjamahi tubuh saya. Saya merasakan aliran hangat di anak sungai saya. Saya tahu saya telah bercinta dengan cahaya, saya menikmatinya. Saya tak mau berhenti. Sosok imajiner yang kupanggil dengan nama Tuhan ternyata berhasil membuktikan kasihnya. Satu malam ini berhasil mengganti malam-malam saya yang mengerikan.

Saya tahu perayaan ini harus segera di akhiri. Tapi saya tak bisa berhenti. Saya tak mau berhenti.


ket : gambar diambil dari sini

No comments:

Post a Comment