Lima. Seperti halnya panca indera, yang mempunya fungsi
untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Lima, kita telah
melewatinya. Lima kejadian. Lambat-lambat pagi itu kamu mengucapkan
mantra tentang waktu. ”Waktu sejatinya harus dituntun untuk mewujudkan
keinginan kita, katamu”. Kata-katamu menggema pada langit-langit kamar. Hening, hanya ada suara lirih dari
nafas yang sedang dilatih dan diajak bicara.
Penglihatan, mata adalah indera pertama yang mempunyai potensi
besar sebagai pembohong. Bohong, karena tidak semua yang dilihat mata adalah
kenyataan, bisa saja dibalik fisik yang sempurna tersimpan hati yang buas. Bisa
saja, di balik deretan gelar tersimpan suatu karakter yang culas, bisa juga
dibalik mobil mewah ada sosok yang terus menerus menyimpan rasa iri.
Setelah puas oleh mata yang melihat fisik, maka kita pun
sama-sama menugasi telinga untuk saling mendengar tentang kita, tentang mereka,
tentang Tuhan, tentang waktu, tentang tempat, tentang peristiwa, tentang
semesta. Headset menjadi saksi bahwa
telah banyak aksara yang dititipkan pada pikir melalui telinga. Telinga kita terlatih untuk mendengarkan penjelasan, diskusi, argumentasi,
tangisan, sanggahan, tudingan, makian, sangkaan. Telinga menghimpun letupan huruf setiap harinya.
Mata dan telinga kita telah aktif dan teruji, masing-masing
dari kita telah tahu dan paham.
Hidung, inilah sumber kehidupan. Tempat masuk dan keluarnya
nafas, sang empunya tubuh. Kita telah sama-sama saling mencium gelagat, mencium
niat, mencium gejala, mencium resiko, dan mencium aroma tubuh yang telah lekat
juga pekat. Aromamu ada pada blouse
yang kukenakan, aromaku hadir pada kemeja merah yang selalu menemani kamu dalam
berkarya. Hidung kita ternyata telah khatam membaui aroma-aroma yang biasa
hadir, ataupun aroma yang hanya sesekali saja, lantas dengan cekatan hidung
menyampaikan pesan jika aroma yang kucium tidak seperti biasanya, misal ada
aroma yang menyengat yang tiba-tiba hadir dari gang sebelah rumah, aroma
perempuan bergincu tebal. Ataupun aroma laki-laki berambut kelimis. Hidung,
padanya kita menitipkan penjagaan diri, untuk aroma-aroma yang asing.
Kulit, meraba. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, sembilan, nol. Ya, tentu aku sedang menghitung. Aku
telah bisa meraba mu tanpa melihat, mataku sudah ku istirahatkan setelah
tahun-tahun pertama dia sibuk kufungsikan. Aku juga telah bisa
merabamu tanpa mendengar. Mistis, katamu. Kita tergelak, bahwa kita telah
menjadi cenayang sekarang. Kamu tak bisa berkelit lagi, tak mungkin lagi
berbohong, tak bisa lagi selingkuh, “ini yang berat, katamu sambil tersenyum
simpul”.
Rasa. Lidah. Tempat mencecap segala ekspresi, rasa sakit,
bahagia, sedih, marah. Raja yang makin meraja, bukannya melempem seperti
kerupuk yang dibiarkan di udara terbuka. Tapi si Rasa ini malah makin solid
seperti kue donat yang makin mengeras jika dibiarkan berhari-hari. Kalau kita
memberikan kesempatan Lidah untuk bicara, mungkin surat cinta untukmu ini tak cukup
selembar. “Rasamu sempurna katamu, tentu”. Rasaku lebih dari sempurna, kataku
menyombongkan diri.
Meski sejatinya indera kita hanya panca, tapi aku berharap
akan menapak pada angka nol, Nol bukan berarti permulaan tapi dialah
akhir dari perjalanan. Nol, yang angkanya berbentuk bulat atau lingkaran,
merupakan suatu lintasan yang tak berhingga. Ketakhinggaan kita menamainya.
Pada akhirnya, kita sekarang menatap bintang
yang sama, di koordinat yang sama. Bintang segi Lima, padanya kita menitipkan cerita.
No comments:
Post a Comment