Saturday, July 25, 2015

Panca

Lima. Seperti halnya panca indera, yang mempunya fungsi untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Lima, kita telah melewatinya. Lima kejadian. Lambat-lambat pagi itu kamu mengucapkan mantra tentang waktu. ”Waktu sejatinya harus dituntun untuk mewujudkan keinginan kita, katamu”. Kata-katamu menggema pada langit-langit kamar. Hening, hanya ada suara lirih dari nafas yang sedang dilatih dan diajak bicara.

Penglihatan, mata adalah indera pertama yang mempunyai potensi besar sebagai pembohong. Bohong, karena tidak semua yang dilihat mata adalah kenyataan, bisa saja dibalik fisik yang sempurna tersimpan hati yang buas. Bisa saja, di balik deretan gelar tersimpan suatu karakter yang culas, bisa juga dibalik mobil mewah ada sosok yang terus menerus menyimpan rasa iri. 

Setelah puas oleh mata yang melihat fisik, maka kita pun sama-sama menugasi telinga untuk saling mendengar tentang kita, tentang mereka, tentang Tuhan, tentang waktu, tentang tempat, tentang peristiwa, tentang semesta. Headset menjadi saksi bahwa telah banyak aksara yang dititipkan pada pikir melalui telinga. Telinga kita terlatih untuk mendengarkan penjelasan, diskusi, argumentasi, tangisan, sanggahan, tudingan, makian, sangkaan. Telinga menghimpun letupan huruf setiap harinya.

Mata dan telinga kita telah aktif dan teruji, masing-masing dari kita telah tahu dan paham.

Hidung, inilah sumber kehidupan. Tempat masuk dan keluarnya nafas, sang empunya tubuh. Kita telah sama-sama saling mencium gelagat, mencium niat, mencium gejala, mencium resiko, dan mencium aroma tubuh yang telah lekat juga pekat. Aromamu ada pada blouse yang kukenakan, aromaku hadir pada kemeja merah yang selalu menemani kamu dalam berkarya. Hidung kita ternyata telah khatam membaui aroma-aroma yang biasa hadir, ataupun aroma yang hanya sesekali saja, lantas dengan cekatan hidung menyampaikan pesan jika aroma yang kucium tidak seperti biasanya, misal ada aroma yang menyengat yang tiba-tiba hadir dari gang sebelah rumah, aroma perempuan bergincu tebal. Ataupun aroma laki-laki berambut kelimis. Hidung, padanya kita menitipkan penjagaan diri, untuk aroma-aroma yang asing.

Kulit, meraba. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, nol. Ya, tentu aku sedang menghitung. Aku telah bisa meraba mu tanpa melihat, mataku sudah ku istirahatkan setelah tahun-tahun pertama dia sibuk kufungsikan. Aku juga telah bisa merabamu tanpa mendengar. Mistis, katamu. Kita tergelak, bahwa kita telah menjadi cenayang sekarang. Kamu tak bisa berkelit lagi, tak mungkin lagi berbohong, tak bisa lagi selingkuh, “ini yang berat, katamu sambil tersenyum simpul”.

Rasa. Lidah. Tempat mencecap segala ekspresi, rasa sakit, bahagia, sedih, marah. Raja yang makin meraja, bukannya melempem seperti kerupuk yang dibiarkan di udara terbuka. Tapi si Rasa ini malah makin solid seperti kue donat yang makin mengeras jika dibiarkan berhari-hari. Kalau kita memberikan kesempatan Lidah untuk bicara, mungkin surat cinta untukmu ini tak cukup selembar. “Rasamu sempurna katamu, tentu”. Rasaku lebih dari sempurna, kataku menyombongkan diri.

Meski sejatinya indera kita hanya panca, tapi aku berharap akan menapak pada angka nol, Nol bukan berarti permulaan tapi dialah akhir dari perjalanan. Nol, yang angkanya berbentuk bulat atau lingkaran, merupakan suatu lintasan yang tak berhingga. Ketakhinggaan kita menamainya. 

Pada akhirnya, kita sekarang menatap bintang yang sama, di koordinat yang sama. Bintang segi Lima, padanya kita menitipkan cerita. 



gambar dipinjam dari sini

No comments:

Post a Comment