Saturday, July 25, 2015

Bincang Hati

Mendung itu masih menggayut di pelupuk matamu, enggan pergi. Kita telah kehabisan kata-kata, yang tersisa hanyalah amarah.

7 tahun tanpa penyelesaian katamu. Cinta yang telah luruh, hati yang  telah datar kemana perginya rasa yang telah tergarami selama 7 tahun ini? Kamu menentangku.

Aku menarik nafas ini memang terlalu sulit. Jika cinta ibarat air, maka aku telah mengalir ke banyak muara denganmu, dalam perjalanannya kita lalui karang, kita terjun dari tempat tinggi, kita jompalitan, kita tak hanya berjalan. Kalau pada akhirnya sekarang ini aliran kita terhenti pada danau yang tenang, lalu ini salah siapa?

Aku tak mau melihatmu tersiksa, akupun tahu aku tak layak disakiti. Kita memang seringkali tak paham bahwa rasa ternyata bisa berhenti.

Kamu tak siap sendiri, begitupun aku. Tapi itu tak harus menjadi alasan untuk kita tetap bersama. Kamu terlalu istimewa jika keberadaanmu hanya menjadi alasan karena aku takut sendiri. Kamu adalah tujuan, pencapaian.

Lalu 7 tahun ini akan menjadi hal yang sia-sia?kali ini kamu  mengucapkannya dengan suara meninggi.


Aku sekuat tenaga menahan bulir air yang hendak jatuh dari pelupuk mata. Sebelum air mata ini jatuh lebih dulu, aku memilih memandangmu. Kamu yang nampak kesakitan, matamu yang membengkak, tapi rahangmu mengencang, aku tahu ini menyita seluruh emosimu. Tapi ketika kudapati kondisimu seperti ini aku justru tak bergerak, aku bertahan di tempatku. kebisuan seolah menjadi hadiah atas kebersamaan kita.

Kamu bukan barang, yang akan kubuang jika telah selesai ku pakai. Kita telah sama-sama sepakat bahwa hati tidak diperuntukkan untuk menyimpan. Aku menjemput bola merah yang di apit arakan awan setiap pagi denganmu, aku pun mengantarkan bola merah itu untuk tenggelam dalam kapas ukuran raksasa bersamamu. Pagi dan senja yang dilewatkan bersama tak mungkin kuhilangkan rekaman itu. Otakku bukan selemah hardisk komputer yang bisa langsung mendelete file jika sudah tak diinginkan, ingatanku tak serapuh itu.

Tapi aku masih belum mengerti kenapa kamu tiba-tiba berhenti? Apa sudah tak mampu untuk bertahan?kamu bertanya.

Getir. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa, segala sangkalan kamu aku tahu itu adalah hal yang tidak ingin kamu ucapkan. Kamu telah mengerti sebenarnya tapi kamu mencoba bernegosiasi, mengais-ngais rasa yang menurutmu mungkin masih tersisa di hatiku dan hatimu. Sia-sia. Semua sudah berubah, tak hilang hanya berganti.

Kamu, laki-laki berbadan tegap akhirnya meluruh, meringkuk mendekap lutut, menyembunyikan kepalamu pada kedua lututmu, mengharap jawaban seolah lutut adalah harapan terakhir bahwa ini semua hanya mimpi.

Aku mendekat, ragu tanganku ingin menyentuhmu. Sentuhan pun rasanya aneh untuk seseorang yang bahkan telah kuhapal setiap jengkal kulitnya.

Kebekuan yang bertahan lama, aku tak ingin menahannya lebih lama lagi. Aku tak mau melihatmu tersiksa. Kuberanikan diri menyentuh kepalamu, kamu mengelak, mengibaskan tanganku dengan gerakan kepalamu. Aku mencoba lagi, kali ini aku peluk kamu yang tengah meringkuk. Aliran hangat mulai menjalar cepat, kebekuan hendak mencair. Nafasmu yang memburu sekarang terdengar lebih teratur. Kebisuan telah mengantarkan kita untuk memahami hidup, bahwa hati itu mengalir, hati itu dipilih bukan memilih.

Otot-ototmu mulai melemas, kamu pasrah di pelukanku. Lenganmu perlahan memelukku, kita resmi berdekapan

Kita pun tersadar, kita hanyalah dua makhluk yang pernah jatuh cinta bersamaan, dan saat ini kita tahu bahwa kita perlu untuk jatuh cinta lagi. Perahu yang kita naiki terlalu lama berlabuh di pantai, kita lupa caranya berenang, kita lupa caranya bermain ombak, kita lupa bermain dengan kepiting, dan bahkan kita lupa untuk sama-sama mendayung perahu ke tengah lautan. Kita terlalu lama tertambat.

Dalam pelukku aku mengantarkan pesan dari sang hati bahwa semua sudah cukup. Kita perlu bergerak lagi. Pada siapa nanti kamu berlabuh aku akan menjadi orang yang paling berbahagia karena kita telah sama-sama mencoba mendayung sampan yang sama.

Perlahan, aku melepas pelukanku, melepasmu, membebaskanmu. Semoga kamu tak lagi tersakiti. Pelukan ini seolah pertanda bahwa aku telah dimengerti.  Karena sungguh, aku hanya ingin aliran ini mengalir lagi, tak tersumbat seperti setahun belakangan.
Dan aku tahu, sekali aku berbalik aku tak akan pernah kembali.












No comments:

Post a Comment