Wednesday, December 7, 2016

Pertemuan Cinta

gambar dipinjam dari sini
Saya menjumpai lelaki itu, seperti biasa dia selalu mengembangkan senyumnya ketika berjumpa. Raut cerianya tak pernah hilang meski sedang diselimuti duka sekalipun. Saya mendekapnya erat. Pertemuan ini sudah saya nantikan selama lima tahun. Tak terhitung berapa banyak kerinduan yang saya pendam sendiri. Kesedihan membuat saya kehilangan banyak kata. Saya menemuinya tak berkata-kata. Saya hanya diam menikmati pertemuan ini, saya telusuri setiap lekuk di tubuhnya yang hadir membangun mimpi saya setiap malam selama lima tahun. Saya cermati dengan seksama barangkali ada sesuatu yang sudah hilang dan berpindah. Tak ada. Dia tetap lelaki saya sama seperti lima tahun yang lalu.

Diajaknya saya untuk mencobai beragam pengangan di kota yang menjadi tempatnya tinggal kini. Saya manut saja, kemanapun dia mengajak saya melangkah saya mau. Saya takut ditinggalkan lagi, saya takut kehilangan. Dia mencoba menerangkan kepada saya tentang es doger yang diseruputnya, dia bilang ini adalah minuman paling elit dan bercita rasa tinggi. Ah saya masysgul dengan pernyataannya. Kesukaannya mengindikasikan tentang usia yang sudah dia lewati. Saya mengangguk saja bukan pertanda setuju, tetapi karena saya tak ingin kehilangan dia lagi. Saya memperhatikan cara dia memakan es doger, cepat, kalap, lincah. Hanya butuh lima menit baginya untuk menghabiskan es doger tanpa es itu. Ya dia memesan es doger tanpa es, kebiasannya ini sudah saya hapal. Karena lelaki ini pengidap asam lambung.

Tuesday, December 6, 2016

Angka dan Kata

Gambar diambil dari sini
Tulisan ini dimuat juga di Qureta


Belakangan pagi selalu bising. Suara rengekan pompa air yang memekakkan telinga senada dengan berita pagi di tanah air. Tetapi mau tak mau saya harus menelannya, dipaksa menikmatinya. Tak ada ruang kosong. Suara-suara bersahutan, memaki, menjatuhkan.
Angka bukan sesuatu yang harus disembah, tetapi angka setidaknya bisa menunjukkan kebenaran. Angka bisa membuat kita tampak cerdas sekaligus bodoh. Berhitung bukanlah perkara mudah. Buktinya banyak sekali yang tidak suka matematika, meskipun matematika sejatinya bukanlah pelajaran menghitung.
Angka yang berasal dari India ini sekarang bertebaran di ruang publik. 4 digit, 5 digit, bahkan 6 digit seolah belum cukup melegakan dahaga. Angka yang disebar di ruang maya pun menggumpal, membentuk awan hitam yang sebentar lagi akan berubah menjadi hujan deras. Hujan angka. Hujan angka mengikuti hujan Kata yang telah membasahi bumi lebih dulu sejak beberapa bulan lalu. Hujan masih perkara rezeki dari yang maha pemurah, dia masih dinanti untuk menyuburkan tanah. Tetapi tak jarang, hujan membawa petaka. Awan pekat, yang membawa air di perutnya dan menumpahkannya seketika bisa membuat makhluk di bawahnya kalang kabut. Berlindung di bawah payung, di teras-teras perkantoran dan halte bus, tak sedikit juga yang berlindung dibalik nama besar. Begitu juga dengan Angka dan Kata. Angka dan Kata yang sudah tak wajar jika terus didengungkan akan menyebabkan asam lambung meningkat dan gangguan tidur.
Hasilnya bukanlah kebenaran, melainkan gosip yang sudah tak bisa lagi ditakar kadar kedunguannya. Semua hanya menelan gosip tanpa berusaha mencari kebenarannya. Angka dan Kata ditangkap sekenanya, seenaknya, semaunya. Angka dan kata dimanipulasi bahkan dimutilasi. Melahirkan bercak-bercak keraguan dan prasangka. Pada akhirnya saya berusaha membuktikannya sendiri. Menjadi seperti mereka, berhitung dengan data bukan dengan khayal. Dengan susah payah menghitung angka dengan presisi. Saya pun harus rela dihujani kata-kata yang memekakkan telinga, sepeti palu Thor ada di samping telinga. 

Saturday, November 26, 2016

Rekaman Mata dari NuArt Sclupture Park : Happy Salma, Ayu Laksmi, Nasirun


Jumat selayaknya hari lain adalah hari keberkahan. Sore itu senja tak datang dengan jingganya. Mendung menggayut sempurna. Saya menuju tempat cantik, NuArt Sculpture Park untuk menonton pementasan monolog Happy Salma.

Tiba di NuArt langsung terlihat lampu-lampu cantik dan suasana alam yang segar. NuArt salah satu surga kecil di Bandung. NuArt ternyata punya hajat besar yaitu pembukaan pameran Carangan kolaborasi dua seniman besar Nasirun dan I Nyoman Nuarta. Jam 19.00 acara sudah mulai, ternyata pak Menteri Perhubungan turut hadir. Tak mau kalah dengan seniman, Pak Budi Karya pun bernarasi “Seni dan manusia, tidak ubahnya ibarat garis dan warna. Keduanya saling melengkapi saling pula menghiasi, dengan seni manusia bebas bereksperi dan berimajinasi. Seni mempunyai kontribusi besar dalam melembutkan jiwa dan refleksi nilai bangsa. Hidup harus bermakna dan berwarna”. Semula saya kira acara hanya pementasan monolog Happy Salma ternyata ada kejutan lain. Ayu Laksmi tampil membuka acara. Seluruh mata hening memandang penuh khidmat, angin semilir, gemericik air sungai yang berada tepat di bawah NuArt menjadi backsound alami. Tanpa diminta sang alam seperti ikut memeriahkan acara.

Tuesday, November 22, 2016

Berkaca pada Eiger

Sudah berhari-hari saya tak keluar rumah. Di luar rumah hiruk pikuk tak karuan. Gaduh. Suara keadilan dan kebencian menyeruak di mana-mana. Saya memilih diam. Menyibukkan diri dengan yoga dan tenggelam dalam lautan abjad. Bukan tanpa sebab, tetapi ini adalah bentuk saya melakukan perlawanan terhadap suara-suara bising.

“Kamu harus bersuara, tidak bersuara berarti memihak” sayup-sayup bisikan serupa itu selalu hadir di ruang-ruang imajiner. Di sini netral saja sudah sebuah dosa. Sosok-sosok imajiner, belakangan bermain-main dalam benak. Mereka hadir meriuhkan suasana, bukan kedamaian yang lahir tetapi kebencian yang semakin memenuhi segala ruang. Lebih baik saya menyingkir. Bukan karena tak sanggup bertarung, tetapi bukankah bertarung tak mesti dengan bersuara keras?

Saya tak hendak membuat perkara. Hidup hanya serupa permainan. Permainan yang menyenangkanlah yang saya pilih. Bukan pula saya mencari aman. Tetapi kadangkala diam dibutuhkan karena bising juga tak menyelesaikan masalah. Saya tak ingin terjebak dalam lingkaran pseudoactivity. Diam bentuk perlawanan yang paling manis. Seperti Buddhis yang menjalankan darmanya dalam keheningan.

Thursday, September 15, 2016

Mereka tak pernah Menunda Pergi

Gambar dokumentasi pribadi,
"Perjalanan menuju timur" 24 Juni 2016, Tol Cipali
Dalam waktu dua minggu saya mendapat kabar duka dari dua orang teman. Seorang ibu yang ditinggalkan anaknya yang berusia 4 tahun, dan seorang anak yang ditinggalkan ibunya. Kehilangan selalu menyedihkan dan melahirkan beragam penyesalan. Penyesalan bisa berupa menyalahkan diri sendiri karena belum banyak hal yang bisa kita berikan pada mereka, ataupun juga tentang tingkah kita yang kadang menyakiti mereka.

Seringkali saya menyaksikan dari jauh tentang mereka yang sedang kehilangan. Ikut larut dalam kesedihan yang sedang mereka alami. Tak  berani mendekat, khawatir malah akan melemahkan mereka dengan beragam kata yang seringkali salah.

Teman saya yang ditinggalkan anaknya merasa ingin mati karena sudah tak ada lagi yang ia perjuangkan di dunia ini. Sambil menghisap rokok kuat-kuat ia bertutur dengan raut wajah yang sukar kutebak. Saya hanya bisa diam menyikapinya, tak ada kata yang bisa menabahkan jika seseorang sedang amat kehilangan.

Teman saya yang ditinggalkan ibunya menceritakan proses bagaimana ibunya tiada, jatuh di kamar mandi katanya, selang beberapa menit selepas mereka berdua tertawa di kamar tidur. Teman saya langsung membawa sang ibu ke UGD RS, di UGD seperti biasa selalu ada drama ekonomi. Apakah keluarga pasien yang sedang sekarat membawa uang atau tidak? Teman saya memaki-maki petugas UGD sambil menunjukkan dompetnya. Selamatkan ibu saya, saya mempunyai uang! Tindakan pun segera dilakukan, hanya satu kata kunci, uang!

Friday, July 15, 2016

Waktu Tak Pernah Meniada, Kamu yang Tiada

The Race Alone karya Ugo Untoro
Beauty is the first, the alone, the sole, the strange, the infinity 
Seringkali saya ditinggalkan, sesekali saya meninggalkan. Petang itu, ketika Bathara kala baru saja pamit kamu pun menyatakan pergi, tanpa meminta persetujuan. Kamu pergi tepat ketika kita baru saja menyudahi semua permainan hari ini. Separuh hari setiap hari kulewatkan denganmu. Permainan yang dilakukan di taman diiringi suara gaduh anak-anak kecil, dan seringkali kita dibekali oleh-oleh senyuman dari mulut-mulut kecil yang penuh dengan kata ketika permainan usai.

Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkanmu pergi. Gemuruh rasa panas di dada tak lagi jadi soal. Pengkhianatan, seringkali hadir justru ketika semua sedang baik-baik saja. Kamu pergi dengan alasan yang tak masuk akal, kamu terlihat rikuh memungut kata-kata yang mengada-ada. Wajahmu yang seringkali saya puja, sore itu berubah menjadi sosok yang tak pernah saya kenal. Matamu, hidungmu, bibirmu semua menjadi saksi bahwa kamu sedang berbohong.

Ketiadaan waktu, katamu. Waktu tak pernah meniada, kamu yang tiada.

Denarius. Saya memberimu sebutan pendek akhir-akhir ini. Akhirnya kutemukan alasan kamu tiada. Kamu terlihat menang dengan keputusan yang telah kamu buat, tanpa sedikitpun merasa menyesal apalagi bersalah. Kita semakin berbeda, dulu kita serupa. Orang menyangka bagai pinang dibelah dua. Kepalsuan memang tak akan bertahan lama.

Monday, July 4, 2016

Rosetta

Sebuah Resensi 

Rosetta film yang diperankan oleh Emilie Deguenne bercerita tentang perjuangan seorang perempuan berusia 18 tahun yang melakukan segala cara untuk mendapatkan pekerjaan. Adegan film ini diawali dengan Rosetta yang dipecat dari pekerjaannya, meronta, mengamuk dan memukul atasannya. Adegan heroik menjadi pembuka yang tidak terlalu manis tetapi mengundang penasaran. Saya mulai bertaruh dengan Rosetta, awalnya saya mengharapkan bahwa Rosetta akan membawa saya pada petualangan yang seru khas film-film Hollywood, ada pembuka yang manis, ada konflik yang membuat urat nadi mengencang di pertengahan film serta adegan penutup yang mapan. Tapi ternyata saya salah besar. Film berdurasi 90 menit hanya menampilkan adegan-adegan pengulangan tanpa ending yang jelas.

Kegigihan Rosetta untuk mendapatkan pekerjaan memaksanya melakukan berbagai cara termasuk menikam temannya sendiri Riquet yang diperankan oleh Fabrizio Rongione. Riquet menjadi pelayan di toko Waffle dan Rosetta dengan cara yang licik akhirnya menggantikan Riquet. Rosetta ingin mempunyai hidup yang normal, ibu yang sembuh dari kecanduannya akan alcohol, mempunyai pekerjaan yang mapan dan tempat tinggal yang layak. Dia selalu bercakap dengan dirinya sebelum tidur “Namamu Rosetta. Namaku Rosetta. Kamu mendapatkan pekerjaan. Aku mendapatkan pekerjaan. Kamu mempunyai teman. Aku mempunyai teman. Kamu memiliki hidup normal. Aku memiliki hidup normal. Kamu tidak akan jatuh dalam lubang. Aku tidak akan jatuh ke dalam lubang”. Semacam self doctrine, harapan agar hidupnya lebih baik keesokan harinya.

Like Father Like Son

Sebuah resensi



“Rumah adalah tempat di mana kita dibutuhkan” sebuah kalimat Dee Lestari yang pertama kali muncul di benak saya ketika Film Soshite Chichi ni Naru atau dalam bahasa Inggrisnya “Like father Like Son” selesai di putar di bioscoop Concordia, Selasa 10 Mei 2016. Film berdurasi 2 jam dibuat tahun 2013 yang disutradarai oleh Hirokazu Koreeda.  Soshite Chichi ni Naru memenangkan Jury Prize dan memenangkan pujian dari Juri Ekumenis, juga dinominasikan untuk Palme d'Or pada Festival Film Cannes 20131.

Sebuah film drama keluarga Jepang, berkisah tentang anak berusia 6 tahun yang tertukar di rumah sakit ketika bayi. Tema ini terdengar umum di telinga penikmat sinetron di Indonesia. Sinetron “Putri Yang Tertukar” bertema sama namun sangat berbeda dalam pengekspresiannya. Cerita bermula saat suster yang membantu proses persalinan dua bayi di hari yang sama, menukarkan Keita (Keita Ninomiya) dengan Ryusei (Shogen Hwang). Keita yang dirawat oleh pasangan Ryota (Masaharu Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono) sebenarnya adalah anak dari  pasangan Yudai (Riri Furanki) dan Yukari (Yoko Maki).

Dua keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Ryota seorang arsitek dan sangat sibuk sehingga tidak punya waktu bermain dengan Keita. Yudai penjaga toko kelontong, bermain dengan anaknya sepanjang hari, seorang ayah yang hangat.Bagi Yudai kedekatan dengan anak sangat penting, karena waktu tidak akan terulang. kehangatan bisa lahir dari mana saja dari kesederhanaan dan tempat yang buruk sekalipun.

Wednesday, January 6, 2016

Di Balik Pesta Kembang Api

Pesona kembang api memang tak pernah sirna, suara yang menggelegar bisa termaklumi dengan hadirnya pendar-pendar cahaya di angkasa. Tahun baru adalah perayaan, suka cita bagi mereka yang tak pernah mampu untuk membeli kembang, suatu kemewahan karena kembang api bisa dilihat dimana-mana sekaligus duka cita bagi mereka yang tak bisa menikmati warna-warni cantik di angkasa secara langsung.

Pemaknaan tahun baru, setiap jiwa pasti melakukannya di penghujung hari. Ada yang dengan mudah melupakannya ada juga yang dengan gigih memperjuangkan pemaknaan tersebut. Tahun baru menghadirkan keriaan, optimisme, meskipun melewati malam tahun baru di rumah di bawah selimut, tapi optimisme tetap dialirkan ke dalam dada, tersenyum menyambut matahari pagi di tahun yang berbeda angkanya.

Atau mungkin kekecewaan? Kecewa karena kalender berganti angka dengan cepat sedangkan pergerakan kita sangat lambat di tahun kemarin, tak ada yang sudah kita lakukan selain memanjakan diri sendiri dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, tak ada kesenangan yang kita bagi dengan orang lain, tak ada energi positif yang ditularkan, tak ada re-generasi pemikiran, tak ada... tak ada yang dilakukan.... dan kita mengakui bahwa kita kalah.

Kemarin saya berdiri di tengah kerumunan, menyaksikan percikan cahaya kembang api dari dekat. Semua mata melihat ke langit, seolah langit adalah tempat mereka kembali. Saya terlupa akan seseorang, seseorang yang menunggu dengan sabar di rumah, seseorang yang hanya mendengar gelegar kembang api tanpa melihat kecantikannya, seseorang yang tak berani keluar rumah, seseorang yang saya tinggalkan di belakang. Saya menyesal. Di balik kemegahan pesta kembang api ada jiwa yang sedang tertelungkup dengan rapat di balik selimut, keinginan yang hanya bisa dalam benak. Saya tak bisa membayangkan bagaimana menjadi dirinya.