Tuesday, December 6, 2016

Angka dan Kata

Gambar diambil dari sini
Tulisan ini dimuat juga di Qureta


Belakangan pagi selalu bising. Suara rengekan pompa air yang memekakkan telinga senada dengan berita pagi di tanah air. Tetapi mau tak mau saya harus menelannya, dipaksa menikmatinya. Tak ada ruang kosong. Suara-suara bersahutan, memaki, menjatuhkan.
Angka bukan sesuatu yang harus disembah, tetapi angka setidaknya bisa menunjukkan kebenaran. Angka bisa membuat kita tampak cerdas sekaligus bodoh. Berhitung bukanlah perkara mudah. Buktinya banyak sekali yang tidak suka matematika, meskipun matematika sejatinya bukanlah pelajaran menghitung.
Angka yang berasal dari India ini sekarang bertebaran di ruang publik. 4 digit, 5 digit, bahkan 6 digit seolah belum cukup melegakan dahaga. Angka yang disebar di ruang maya pun menggumpal, membentuk awan hitam yang sebentar lagi akan berubah menjadi hujan deras. Hujan angka. Hujan angka mengikuti hujan Kata yang telah membasahi bumi lebih dulu sejak beberapa bulan lalu. Hujan masih perkara rezeki dari yang maha pemurah, dia masih dinanti untuk menyuburkan tanah. Tetapi tak jarang, hujan membawa petaka. Awan pekat, yang membawa air di perutnya dan menumpahkannya seketika bisa membuat makhluk di bawahnya kalang kabut. Berlindung di bawah payung, di teras-teras perkantoran dan halte bus, tak sedikit juga yang berlindung dibalik nama besar. Begitu juga dengan Angka dan Kata. Angka dan Kata yang sudah tak wajar jika terus didengungkan akan menyebabkan asam lambung meningkat dan gangguan tidur.
Hasilnya bukanlah kebenaran, melainkan gosip yang sudah tak bisa lagi ditakar kadar kedunguannya. Semua hanya menelan gosip tanpa berusaha mencari kebenarannya. Angka dan Kata ditangkap sekenanya, seenaknya, semaunya. Angka dan kata dimanipulasi bahkan dimutilasi. Melahirkan bercak-bercak keraguan dan prasangka. Pada akhirnya saya berusaha membuktikannya sendiri. Menjadi seperti mereka, berhitung dengan data bukan dengan khayal. Dengan susah payah menghitung angka dengan presisi. Saya pun harus rela dihujani kata-kata yang memekakkan telinga, sepeti palu Thor ada di samping telinga. 
Peluh, keluh. Penanda hadirnya usaha.
Caci, maki. Penanda diri.
Lantang, kritis. Penanda keberanian.
Menerima tanpa mencerna, mendapat tanpa bertanya. Penanda kebodohan.  
Santun, sopan dan bersih tak melulu penanda kebaikan.
Pada akhirnya saya harus mengajak Angka dan Kata berbicara untuk  menghentikan kegaduhan. Angka merajuk, Kata memelas. Wajah mereka penuh derita.
"Saya rindu ruang-ruang sunyi. Saya ingin melahirkan kalimat-kalimat cinta, bukan permusuhan. Saya ingin membesarkan anak-anak Inspirasi bukan malah menjatuhkan. Saya ingin menjahit kalimat kedamaian bukan ajakan perang” kata Kata.
"Saya mendamba kelas-kelas nalar. Saya ingin diperdebatkan dalam ruang-ruang ilmiah tentang sebuah penemuan besar yang bermanfaat untuk bumi, bukan hanya sekedar saling mengklaim jumlah. Saya merindu matematikawan sejati yang menyentuh saya dengan halus dan sopan” kata Angka.
Saya mendengarkan dengan seksama, sesekali melihat mereka menarik nafas panjang. Sesekali menengok ruangan yang masih saja gaduh penuh Angka dan Kata. Banyak sekali orang menuding Angka, banyak juga yang menghardik Kata. Angka dan Kata di adu lewat alasan argumentasi. Angka dan Kata menjadi primadona, di televisi, di ruang maya, di kelas, di taman, di ruang diskusi, bahkan di kamar tidur. Angka sesak, Kata sekarat. Saya hanya bisa memeluk Angka dan Kata yang tengah berduka.  



No comments:

Post a Comment