![]() |
Gambar diambil dari sini |
Tulisan ini dimuat juga di Qureta
Belakangan pagi selalu bising. Suara rengekan pompa air yang memekakkan
telinga senada dengan berita pagi di tanah air. Tetapi mau tak mau saya harus
menelannya, dipaksa menikmatinya. Tak ada ruang kosong. Suara-suara bersahutan,
memaki, menjatuhkan.
Angka bukan sesuatu yang harus disembah, tetapi angka setidaknya bisa
menunjukkan kebenaran. Angka bisa membuat kita tampak cerdas sekaligus bodoh. Berhitung bukanlah perkara mudah.
Buktinya banyak sekali yang tidak suka matematika, meskipun matematika sejatinya
bukanlah pelajaran menghitung.
Angka yang berasal dari India ini sekarang bertebaran di ruang
publik. 4 digit, 5 digit, bahkan 6 digit seolah belum cukup
melegakan dahaga. Angka yang disebar di ruang maya pun menggumpal, membentuk
awan hitam yang sebentar lagi akan berubah menjadi hujan deras. Hujan angka.
Hujan angka mengikuti hujan Kata yang telah membasahi bumi lebih dulu sejak beberapa bulan lalu. Hujan masih perkara rezeki dari yang maha
pemurah, dia masih dinanti untuk menyuburkan tanah. Tetapi tak jarang, hujan
membawa petaka. Awan pekat, yang membawa air di perutnya dan menumpahkannya
seketika bisa membuat makhluk di bawahnya kalang kabut. Berlindung di bawah payung, di teras-teras perkantoran dan halte bus,
tak sedikit juga yang berlindung dibalik nama besar. Begitu juga dengan Angka dan Kata. Angka dan
Kata yang sudah tak wajar jika terus didengungkan akan menyebabkan asam
lambung meningkat dan gangguan tidur.
Hasilnya bukanlah kebenaran, melainkan gosip yang sudah tak bisa lagi
ditakar kadar kedunguannya. Semua hanya menelan
gosip tanpa berusaha mencari kebenarannya. Angka dan Kata ditangkap sekenanya,
seenaknya, semaunya. Angka dan kata dimanipulasi bahkan dimutilasi. Melahirkan bercak-bercak
keraguan dan prasangka. Pada akhirnya saya berusaha membuktikannya sendiri. Menjadi seperti mereka, berhitung dengan data bukan dengan khayal. Dengan susah payah
menghitung angka dengan presisi. Saya
pun harus rela dihujani kata-kata yang memekakkan telinga, sepeti palu Thor ada
di samping telinga.
Caci, maki. Penanda diri.
Lantang, kritis. Penanda keberanian.
Menerima tanpa mencerna, mendapat tanpa bertanya. Penanda kebodohan.
Santun, sopan dan
bersih tak melulu penanda kebaikan.
Pada akhirnya saya harus mengajak Angka dan Kata berbicara untuk menghentikan kegaduhan. Angka merajuk, Kata
memelas. Wajah mereka penuh derita.
"Saya rindu ruang-ruang sunyi. Saya ingin
melahirkan kalimat-kalimat cinta, bukan permusuhan. Saya ingin membesarkan
anak-anak Inspirasi bukan malah menjatuhkan. Saya ingin menjahit kalimat
kedamaian bukan ajakan perang” kata Kata.
"Saya mendamba kelas-kelas nalar. Saya ingin
diperdebatkan dalam ruang-ruang ilmiah tentang sebuah penemuan besar yang
bermanfaat untuk bumi, bukan hanya sekedar saling mengklaim jumlah. Saya merindu matematikawan sejati yang menyentuh saya
dengan halus dan sopan” kata Angka.
Saya mendengarkan dengan seksama, sesekali melihat mereka menarik nafas
panjang. Sesekali menengok ruangan yang masih saja gaduh penuh Angka dan Kata. Banyak sekali orang
menuding Angka, banyak juga yang menghardik Kata. Angka dan Kata di adu lewat
alasan argumentasi. Angka dan Kata menjadi primadona, di televisi, di ruang
maya, di kelas, di taman, di ruang diskusi, bahkan di kamar tidur. Angka sesak,
Kata sekarat. Saya hanya bisa memeluk Angka dan Kata yang tengah berduka.
No comments:
Post a Comment