Sebuah resensi
“Rumah adalah tempat di mana kita dibutuhkan” sebuah kalimat
Dee Lestari yang pertama kali muncul di benak saya ketika Film Soshite Chichi ni Naru atau dalam bahasa
Inggrisnya “Like father Like Son” selesai di putar di bioscoop Concordia,
Selasa 10 Mei 2016. Film
berdurasi 2 jam dibuat tahun 2013 yang disutradarai
oleh Hirokazu Koreeda. Soshite Chichi ni Naru memenangkan Jury
Prize dan memenangkan pujian dari Juri Ekumenis, juga dinominasikan
untuk Palme
d'Or pada Festival Film Cannes 20131.
Sebuah film
drama keluarga Jepang, berkisah tentang anak berusia 6 tahun yang tertukar di
rumah sakit ketika bayi. Tema ini terdengar umum di telinga penikmat sinetron
di Indonesia. Sinetron “Putri Yang Tertukar” bertema sama namun sangat berbeda
dalam pengekspresiannya. Cerita bermula saat suster yang membantu proses
persalinan dua bayi di hari yang sama, menukarkan Keita (Keita Ninomiya) dengan
Ryusei (Shogen Hwang). Keita yang dirawat oleh pasangan Ryota (Masaharu
Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono) sebenarnya adalah anak dari pasangan Yudai (Riri Furanki) dan
Yukari (Yoko Maki).
Dua keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Ryota seorang
arsitek dan sangat sibuk sehingga tidak punya waktu bermain dengan Keita. Yudai
penjaga toko kelontong, bermain dengan anaknya sepanjang hari, seorang ayah
yang hangat.Bagi Yudai kedekatan dengan anak sangat penting, karena waktu tidak
akan terulang. kehangatan bisa lahir dari mana saja dari kesederhanaan dan
tempat yang buruk sekalipun.
Sorotan utama pada film ini, bukan tentang konflik batin si anak tetapi
malah kondisi psikologis Ryota yang terlihat tidak menerima kenyataan bahwa Keita
bukan anak kandungnya. Bagi sebagian orang, darah daging sendiri sangat penting,
ini pula yang terjadi pada Ryota, Ryota memaksakan diri untuk menukarkan Keita.
Anak terlahir untuk dicintai, bahkan tak peduli siapa orang yang mencintainya.
Dia hanya akan pulang pada tempat di mana dia merasa dibutuhkan. Hal ini yang
terjadi pada Ryusei ketika kabur ke rumah Yudai yang bukan ayah kandungnya.
Alur yang berjalan lambat bagi saya terasa monoton, tapi sutradara
selalu berhasil menaikkan mood kembali. Like Father Like Son, pantas
mendapat penghargaan.
No comments:
Post a Comment