Monday, July 4, 2016

Like Father Like Son

Sebuah resensi



“Rumah adalah tempat di mana kita dibutuhkan” sebuah kalimat Dee Lestari yang pertama kali muncul di benak saya ketika Film Soshite Chichi ni Naru atau dalam bahasa Inggrisnya “Like father Like Son” selesai di putar di bioscoop Concordia, Selasa 10 Mei 2016. Film berdurasi 2 jam dibuat tahun 2013 yang disutradarai oleh Hirokazu Koreeda.  Soshite Chichi ni Naru memenangkan Jury Prize dan memenangkan pujian dari Juri Ekumenis, juga dinominasikan untuk Palme d'Or pada Festival Film Cannes 20131.

Sebuah film drama keluarga Jepang, berkisah tentang anak berusia 6 tahun yang tertukar di rumah sakit ketika bayi. Tema ini terdengar umum di telinga penikmat sinetron di Indonesia. Sinetron “Putri Yang Tertukar” bertema sama namun sangat berbeda dalam pengekspresiannya. Cerita bermula saat suster yang membantu proses persalinan dua bayi di hari yang sama, menukarkan Keita (Keita Ninomiya) dengan Ryusei (Shogen Hwang). Keita yang dirawat oleh pasangan Ryota (Masaharu Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono) sebenarnya adalah anak dari  pasangan Yudai (Riri Furanki) dan Yukari (Yoko Maki).

Dua keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Ryota seorang arsitek dan sangat sibuk sehingga tidak punya waktu bermain dengan Keita. Yudai penjaga toko kelontong, bermain dengan anaknya sepanjang hari, seorang ayah yang hangat.Bagi Yudai kedekatan dengan anak sangat penting, karena waktu tidak akan terulang. kehangatan bisa lahir dari mana saja dari kesederhanaan dan tempat yang buruk sekalipun.

Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak. Ungkapan itu bukan hanya opini semata. Anak adalah peniru yang ulung, dan dia pengikut yang mahir. Apa yang disodorkan orang tuanya akan diterimanya bulat-bulat. Ryota memaksakan Keita untuk bermain piano. Keita hanyalah bermain piano, tanpa Keita menikmati apa yang sedang dimainkannya. Peniru yang ulung juga terlihat pada cara Ryusei menggigit sedotan, mirip seperti Yudai.

Sorotan utama pada film ini, bukan tentang konflik batin si anak tetapi malah kondisi psikologis Ryota yang terlihat tidak menerima kenyataan bahwa Keita bukan anak kandungnya. Bagi sebagian orang, darah daging sendiri sangat penting, ini pula yang terjadi pada Ryota, Ryota memaksakan diri untuk menukarkan Keita. Anak terlahir untuk dicintai, bahkan tak peduli siapa orang yang mencintainya. Dia hanya akan pulang pada tempat di mana dia merasa dibutuhkan. Hal ini yang terjadi pada Ryusei ketika kabur ke rumah Yudai yang bukan ayah kandungnya.
Alur yang berjalan lambat bagi saya terasa monoton, tapi sutradara selalu berhasil menaikkan mood kembali. Like Father Like Son, pantas mendapat penghargaan.


No comments:

Post a Comment