Friday, July 15, 2016

Waktu Tak Pernah Meniada, Kamu yang Tiada

The Race Alone karya Ugo Untoro
Beauty is the first, the alone, the sole, the strange, the infinity 
Seringkali saya ditinggalkan, sesekali saya meninggalkan. Petang itu, ketika Bathara kala baru saja pamit kamu pun menyatakan pergi, tanpa meminta persetujuan. Kamu pergi tepat ketika kita baru saja menyudahi semua permainan hari ini. Separuh hari setiap hari kulewatkan denganmu. Permainan yang dilakukan di taman diiringi suara gaduh anak-anak kecil, dan seringkali kita dibekali oleh-oleh senyuman dari mulut-mulut kecil yang penuh dengan kata ketika permainan usai.

Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkanmu pergi. Gemuruh rasa panas di dada tak lagi jadi soal. Pengkhianatan, seringkali hadir justru ketika semua sedang baik-baik saja. Kamu pergi dengan alasan yang tak masuk akal, kamu terlihat rikuh memungut kata-kata yang mengada-ada. Wajahmu yang seringkali saya puja, sore itu berubah menjadi sosok yang tak pernah saya kenal. Matamu, hidungmu, bibirmu semua menjadi saksi bahwa kamu sedang berbohong.

Ketiadaan waktu, katamu. Waktu tak pernah meniada, kamu yang tiada.

Denarius. Saya memberimu sebutan pendek akhir-akhir ini. Akhirnya kutemukan alasan kamu tiada. Kamu terlihat menang dengan keputusan yang telah kamu buat, tanpa sedikitpun merasa menyesal apalagi bersalah. Kita semakin berbeda, dulu kita serupa. Orang menyangka bagai pinang dibelah dua. Kepalsuan memang tak akan bertahan lama.
Permainan di taman yang seringkali kita kunjungi tak pernah kusudahi. Ternyata taman telah membuat saya jatuh cinta, bukan kamu. Saya baru menyadarinya, saya cinta kamu karena taman, bukan sebaliknya. Hari-hari saya renda dengan sangat hati-hati, saya tak mau kembali patah. Sesekali ada yang menjenguk, tetapi tak tinggal. Beberapa kali ada yang menawarkan diri untuk menjadi partner permainan di taman, tapi saya belum siap.

Ada seseorang, mungkin dia keturunan malaikat tanpa sayap. Dia tak pernah melepaskan pandangan dari saya. Mungkin diapun ikut terluka ketika sore itu kamu pergi. Di hatinya yang besar saya sering bersandar, sesekali bercerita dan  tak jarang menumpahkan air mata. Diapun ikut geram ketika tahu alasan kamu pergi sungguh tak masuk akal, dan diapun menamaimu Denarius. Tanpa sadar, kamu melukai dua, tak hanya satu. Menyembuhkan satu hati saja tak mudah, apalagi dua? Apa kamu mampu?

Dengan gayamu yang cengengesan dan mimik wajah polos tanpa rasa bersalah, kamu melangkah santai menuju alasan yang menjadi tujuanmu. Saya dan keturunan malaikat itu bergegas untuk membenahi taman, menghilangkan jejak-jejakmu dari sana selama-lamanya. Taman yang suci tak layak disinggahi kepalsuan.

Denarius, lagi kusebut namamu. Hanya untuk meyakinkan saya bahwa kita memang telah jauh berbeda arah. Terbesit rasa berterima kasih untukmu, berkat perpisahan saya mengalami lagi banyak pertemuan. Saya juga jadi paham bahwa ada keturunan malaikat yang selalu ada untuk saya. Dia hadir ketika kamu baru sejengkal melangkah pergi.
  

-------

No comments:

Post a Comment