Monday, July 4, 2016

Rosetta

Sebuah Resensi 

Rosetta film yang diperankan oleh Emilie Deguenne bercerita tentang perjuangan seorang perempuan berusia 18 tahun yang melakukan segala cara untuk mendapatkan pekerjaan. Adegan film ini diawali dengan Rosetta yang dipecat dari pekerjaannya, meronta, mengamuk dan memukul atasannya. Adegan heroik menjadi pembuka yang tidak terlalu manis tetapi mengundang penasaran. Saya mulai bertaruh dengan Rosetta, awalnya saya mengharapkan bahwa Rosetta akan membawa saya pada petualangan yang seru khas film-film Hollywood, ada pembuka yang manis, ada konflik yang membuat urat nadi mengencang di pertengahan film serta adegan penutup yang mapan. Tapi ternyata saya salah besar. Film berdurasi 90 menit hanya menampilkan adegan-adegan pengulangan tanpa ending yang jelas.

Kegigihan Rosetta untuk mendapatkan pekerjaan memaksanya melakukan berbagai cara termasuk menikam temannya sendiri Riquet yang diperankan oleh Fabrizio Rongione. Riquet menjadi pelayan di toko Waffle dan Rosetta dengan cara yang licik akhirnya menggantikan Riquet. Rosetta ingin mempunyai hidup yang normal, ibu yang sembuh dari kecanduannya akan alcohol, mempunyai pekerjaan yang mapan dan tempat tinggal yang layak. Dia selalu bercakap dengan dirinya sebelum tidur “Namamu Rosetta. Namaku Rosetta. Kamu mendapatkan pekerjaan. Aku mendapatkan pekerjaan. Kamu mempunyai teman. Aku mempunyai teman. Kamu memiliki hidup normal. Aku memiliki hidup normal. Kamu tidak akan jatuh dalam lubang. Aku tidak akan jatuh ke dalam lubang”. Semacam self doctrine, harapan agar hidupnya lebih baik keesokan harinya.

Rosetta adalah film Perancis - Belgia yang memenangkan Palme d’Or dan aktris terbaik di Cannes Film Festival tahun 1999. “Hidup tidak seindah FTV” mungkin itu ungkapan satire yang pantas ditempatkan pada film Rosetta. Alur yang flat, pengambilan kamera yang sangat dekat membuat tidak terlalu nyaman. Sutradara  Dardenne brothers ingin membawa penonton menjadi sosok Rosetta yang harus berjalan menyusuri hutan, mengganti sepatunya, berbungkuk melewati pintu berkawat, sesekali memancing ikan, memapah ibunya yang terkapar di halaman karena mabuk, mengisi ulang gas, membayar sewa air, menjual baju-baju bekasnya untuk mendapatkan uang. Penonton diajak menjadi Rosetta sepenuhnya. Sosok Rosetta yang impulsive tergambar pada caranya mengambil keputusan. Seperti ketika dia memancing dan mendapatkan ikan, ikan yang didapatnya dilepas kembali ke kolam, berulang kali. Pekerjaan yang sudah didapatnya dengan susah payah akhirnya dilepas begitu saja.


‘Ces’t La Vie’ ini yang mau ditampilkan pada film Rosetta. Suatu film tak mesti memiliki opening-klimaks-ending. Film bisa saja berjalan mengambang, menyisakan keganjilan dan tanda tanya. 

No comments:

Post a Comment