![]() |
gambar dipinjam dari sini |
Saya menjumpai
lelaki itu, seperti biasa dia selalu mengembangkan senyumnya ketika berjumpa.
Raut cerianya tak pernah hilang meski sedang diselimuti duka sekalipun. Saya
mendekapnya erat. Pertemuan ini sudah saya nantikan selama lima tahun. Tak
terhitung berapa banyak kerinduan yang saya pendam sendiri. Kesedihan membuat
saya kehilangan banyak kata. Saya menemuinya tak berkata-kata. Saya hanya diam
menikmati pertemuan ini, saya telusuri setiap lekuk di tubuhnya yang hadir
membangun mimpi saya setiap malam selama lima tahun. Saya cermati dengan
seksama barangkali ada sesuatu yang sudah hilang dan berpindah. Tak ada. Dia
tetap lelaki saya sama seperti lima tahun yang lalu.
Diajaknya saya
untuk mencobai beragam pengangan di kota yang menjadi tempatnya tinggal kini.
Saya manut saja, kemanapun dia mengajak saya melangkah saya mau. Saya takut
ditinggalkan lagi, saya takut kehilangan. Dia mencoba menerangkan kepada saya
tentang es doger yang diseruputnya, dia bilang ini adalah minuman paling elit
dan bercita rasa tinggi. Ah saya masysgul dengan pernyataannya. Kesukaannya
mengindikasikan tentang usia yang sudah dia lewati. Saya mengangguk saja bukan
pertanda setuju, tetapi karena saya tak ingin kehilangan dia lagi. Saya
memperhatikan cara dia memakan es doger, cepat, kalap, lincah. Hanya butuh lima
menit baginya untuk menghabiskan es doger tanpa es itu. Ya dia memesan es doger
tanpa es, kebiasannya ini sudah saya hapal. Karena lelaki ini pengidap asam
lambung.
“Jadi kemana
saja kamu lima tahun ini?” Dia bertanya padaku. Saya terkesiap dengan
pertanyaannya, dia bahkan tidak menyadari bahwa dalam lima tahun saya habiskan waktu
hanya untuk mencarinya. Dalam ruang-ruang mimpi sekalipun, saya mencarinya.
“Saya mencarimu”. Lelaki itu akhirnya tertunduk, baru kali ini saya menyaksikan
dia dalam ketidakoptimisan dan kegetiran. Luka itu sudah terlalu sering, basah
dan makin sulit kering. Hening. Tak ada perbincangan. Saya dan dia seolah-olah
tahu bahwa diam mampu menghadirkan beragam jawaban.
“Mari kita
pulang” katanya sambil menggandeng saya yang masih kebingungan. Pulang? Apakah
ada rumah tempat kita kembali?kata saya mencercanya. 5 tahun lalu, rumah
satu-satunya yang kita bangun bersama hancur diterjang ombak pantai utara, kaki
saya yang biasa dijilat asinnya air laut setiap pagi sejak saat itu merindukan buih-buih
pantai. Itu adalah terakhir kalinya saya menikmati debur ombak. Kita pergi
dengan kedukaan masing-masing. Kamu berjalan ke arah utara, saya ke selatan.
Kita bersikeras untuk saling memunggungi. Kamu tak pernah mencari saya, saya mencari kamu. Kataku
dengan emosional.
Lelaki itu
menutup muka dengan kedua tangannya. Dia seolah tak mau mendengarkan
penjelasan. Saya pikir dia akan balik marah, ternyata tidak. Dia hanya
mengusap-ngusap wajahnya dan tersenyum. Laut kita masih menjadi milik kita, dia
tak pernah pergi. Ke sana kita akan pulang, jika kamu bersedia memulai kembali.
Saya merindukan debur ombak dan asinnya air laut menjilat kaki saya, tak ada
alasan untuk menolak. Bukan semata karena saya mencintainya, tapi karena saya
merindukan laut. Rumah saya pulang. Dan hanya lelaki ini yang tahu bagaimana
menggapai laut dan menaklukannya.
Lelaki itu
menggamit tangan saya mengajak pulang. Ada sedikit enggan dan ketakutan. Takut
dia meninggalkan saya kembali, tetapi kerinduan saya akan laut menghapus
ketidakpercayaan itu. Dengan sandal jepit yang lusuh, kaus yang sepertinya
sudah seminggu tak dicucinya saya pun harus bersisian dengannya. Hanya tersisa
sedikit rasa nyaman dan sedikit kepercayaan padanya. Tetapi hanya itulah yang
saya miliki saat ini.
Dalam perjalanan
pulang saya teringat kembali tentang mimpi-mimpi yang saling berlontacan, tak
pernah membentuk frame yang tepat.
Mungkin serupa ini pula perasaan saya sekarang. Kacau balau.
Sayup-sayup
kudengar suara ombak dari kejauhan, hati saya bergemuruh serupa debur yang
dihentakkan air. Saya tak kuasa menahan kegembiraan, saya peluk dia. “terima
kasih, terima kasih telah membawa saya pulang ke rumah”. Pencarian saya usai
sudah, saya luruh di depan ombak dan laut biru. Juga di hadapannya.
No comments:
Post a Comment