![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmnwllRdwKVlDUNfNZN2zjylHdW5VtSIg4cgrVR2UXs19ksvlH2iTbLVb7NCO0NlBNdM3NNHUIGENvc6SYnpglPe5_-fd-Kz6s0_HkqGp8dovKQ-9p0muNWkP2ahJxcQ3gzRCl2J5Fap8/s320/Untitled.jpg) |
Gambar dokumentasi pribadi |
Kokok ayam jantan pagi ini terdengar
nyaring sekali. Semburat matahari merah tertangkap sudut mata. Sinar hangatnya membuat
betah berlama-lama berdiam di depan jendela. Sesekali terdengar suara megaphone memanggil penduduk seantero
kampung.
Hari ini, semua tampak sibuk. Bapak
dan emak sudah bersiap dari pagi. Mereka tampak asyik memasang tali sepatu. Baju,
topi dan sepatunya senada bercorak merah putih. Bendera merah putih yang
terbuat dari kertas kecil tampak tergeletak di samping tubuhnya. Saya menyaksikan
itu semua penuh takjim. Mata saya tak berhenti menatap bendera merah putih yang sudah
seminggu ini berdiri gagah tepat di depan rumah. Tiang yang tinggi membuatnya
menjadi lebih berarti.
Emak dan bapak pergi tanpa pamit. Pintu
rumah dibukanya perlahan. Terdengar bunyi langkah kaki mengendap-ngendap seolah
khawatir derapnya akan membuat saya terbangun, padahal saya telah terjaga sedari
tadi.
Dengan mata yang menyipit, dari
celah-celah jendela saya mengintip kepergian mereka. Mereka melangkah sambil
bergandengan tangan. Langkah kakinya sejajar. Bapak menenteng tas kecil yang
berisi air minum. Tangan emak terus mengibar-ngibarkan bendera merah putih yang
dibuat bapak semalam.
Lamat-lamat terdengar suara bapak di megaphone, acara jalan santai dalam
menyambut hari kemerdekaan sepertinya akan segera dimulai. Terdengar bapak
menjelaskan rute perjalanan. Saya pun tersadar segera beranjak dan bersiap,
menyusul mereka, emak dan bapak.
Rute jalan santai tak berubah dari
tahun-tahun sebelumnya. Kepala-kepala menongol dari balik-balik pagar,
menyoraki kami yang terus berjalan sambil bernyanyi. Sesekali tangan mereka
mengepal berteriak “merdeka” kubalas dengan teriakan yang lebih kencang lagi “merdeka”.
Beberapa dari mereka terlihat asyik duduk di depan televisi menanti upacara pengibaran
bendera merah putih di istana.
Sepanjang mata memandang saya lihat
merah putih berkibar-kibar dalam diam. Tak peduli ia dipasang dimana. Beragam bentuk
hadir menghiasi sudut rumah, jalan, masjid, alun-alun dan tak ketinggalan
membentang sepanjang jalan, dihubungkan dengan menggunakan tali kasur dari
rumah ke rumah.
Hari makin terik, langkah kaki juga
semakin gontai. Rasanya tak sabar ingin segera menuju titik akhir. Kulihat emak
dan bapak sudah tidak saling bersama, mereka terpisah. Bapak memimpin
perjalanan, meninggalkan emak yang memang terlalu santai berjalan. Mata saya mengawasi
mereka dari belakang. Titik akhir pun sudah terlihat, hati ini membuncah rasanya, sambil
terus bernyanyi lagu kemerdekaan, langkah kakiku rasanya makin melebar.
Saya, bapak dan emak tiba di garis
finish. Kami saling berpandangan, saling memekik “merdeka”. Peluh bercucuran
membasahi anak-anak rambut, turun ke pelipis, jatuh di sudut telinga. Dengan kaki
berselonjor saya menyaksikan beberapa anak kecil sudah bersiap mengikuti
perlombaan balap karung. Terdengar aba-aba, satu-dua-tiga, anak-anak kecil pun
melesat, meloncat, beberapa ada yang bertubrukan dan terguling. Beberapa orang
tua mereka tergelak, tawa lebar menghasilkan derai air mata tipis-tipis. Sesekali
mereka menyusut air matanya. Dari kejauhan saya menangkap momen itu dalam
ingatan. Mengabadikannya dalam hati dan pikiran, menyimpannya rapat-rapat
untuk sesekali kuintip.
Usai lomba balap karung, anak-anak
kecil itu tak segera beranjak. Lomba demi lomba mereka ikuti, matahari makin
nekat berada di atas kepala mereka, memanggang kepala-kepala dengan rambut yang
mungkin sudah tidak dikeramas selama satu minggu. Kecurangan kecil sesekali
terlihat ketika lomba makan kerupuk, tangan kecil mereka sebagian memegang
kerupuknya, kadang ada saja orang tua yang nakal berupaya segala cara agar
anaknya menang. Anaknya memang menang
menggondol hadiah snack yang dibungkus
kado, tapi saat itu juga ia sebenarnya telah menanam benih kecurangan.
Sinar matahari makin meredup. Perlombaan
makin habis. Kerupuk sudah tandas, gentong-gentong air sudah pecah, jarum dan
botol sudah berserakan dimana-mana, karung-karung goni tergelatak pasrah
meminta dirapihkan. Saya pun beranjak, menggandeng emak dan bapak.
Kututup ingatan tentang hari
kemerdekaan berbelas tahun lalu itu. Hari ini, saya berdiam saja di depan
televisi menyaksikan presiden Jokowi memimpin upacara. Sambil mata ini nanar
dan perih, aroma panas mulai menjalar ketika menatap video heroik anak SMP naik
ke ujung tiang bendera. Kusapa emak melalui pesan singkat whatsapp, kusapa juga
bapak melalui sms, semoga tersisa sedikit ingatan dalam benak mereka ketika kaki
mereka masih melangkah bersama.