Thursday, March 8, 2018

Di Atas Genteng


Review Film : Di Atas Genteng, Film dokumenter peraih 5 besar Eagle Award 2017
Sutradara : Ika Yuliana dan Sangga Arta W.



Pendingin di ruangan mini teater berukuran 6x6 mulai meniupkan udara. Menyapa wajah, tengkuk dan seluruh tubuh. Membuat tangan terus-terusan ingin bersidekap. Di layar yang tak terlalu besar ada rak-rak yang tersusun menjulang, tinggi hingga atap, dingin dan gelap. Perasaan saya sudah tak karuan, saya seperti diajak berpetualang di masa kecil.

Saya seperti melihat diri saya ada diantara mereka. Naik ke deretan rak  yang paling atas dengan kedua kaki bertumpu pada deretan rak  yang berbeda, membantu meletakkan genteng basah. Lalu berjalan ke area depan, ada tubuh-tubuh liat laki-laki yang terbuka, otot-otot bahu, lengan dan dada menonjol begitu rupa, berpeluh. Salah satunya mencetak empleng, tanah liat yang telah dibentuk kotak. Dua lainnya memasukkannya ke dalam mesin pres yang sudah diminyaki. Mata saya melotot melihat kegesitan tangan-tangan kekar tersebut. Cepat dan konsisten. Sedikit saja kamu lengah, tangan kekarmu akan terpotong mesin pressan, seperti yang sudah-sudah. Di samping mesin pres, ada meja besar, rendah, tempat menyimpan genteng-genteng mentah yang baru jadi. Tak kalah cepat, tangan-tangan terampil perempuan akan merapihkannya. Keret. Begitulah istilahnya. Dari meja besar itu, genteng yang sudah rapi akan disimpan ke rak, hingga kering. Jika sudah dirasa pas keringnya, maka genteng-genteng itu akan dijemur seharian penuh, di bawah terik matahari. Genteng-genteng kering inilah yang akan dibakar semalam suntuk, hingga matang, menjadi warna orange dan bisa dipakai untuk menghiasi atap rumah kita.

Rutinitas tersebut terjadi setiap hari selama berpuluh-puluh tahun, mungkin hampir satu abad, di Jatiwangi. Jebor, kami menamainya. Tempat segala aktifitas produksi genteng.. Denyut nadi kehidupan di Jatiwangi. Hingga tahun 2000-an munculnya pabrik-pabrik besar seperti Tekstil dan sepatu pelan tapi pasti menggerus keberadaan pabrik genteng Jatiwangi.

Di Atas Genteng, film besutan Ika Yuliana dan Sangga Arta, berhasil memotret kegelisahan warga Jatiwangi. Masa transisi dari Jebor ke pabrik-pabrik besar membuat konflik sosial. Perubahan metode bekerja, kebangkrutan Jebor yang berjalan pasti, budaya-budaya baru yang muncul, hingga pergantian peran, suami yang di rumah, istri yang bekerja di pabrik, karena pabrik banyak membutuhkan pekerja perempuan.

Di tengah-tengah masa krisis Jatiwangi, kadus Ila dan JAF berusaha keras untuk mempertahankan peradaban genteng, mengenalkan ke mata yang lebih luas bahwa di Jatiwangi ada genteng. Salah satu kampanye yang dilakukan adalah dengan mengadakan kontes binaraga bagi para pekerja Jebor. Lebih dari sekedar hiburan, ini adalah usaha mempertahankan diri.

Kontes binaraga. Memperlihatkan tubuh-tubuh atletis para pekerja Jebor. Mereka ada, untuk dilihat dan dipahami. Mereka melawan atas keserakahan para konglomerat asing yang menancapkan kakinya dengan paksa di tanah Jatiwangi. Mereka bicara melalui tubuh bahwa ada peradaban yang tengah dikoyak, ada tanah-tanah liat di bawah pabrik-pabrik besar itu berdiri.

Di Atas Genteng, berhasil masuk dalam 5 besar film dokumenter Eagle Award 2017. Selasa, 6 Maret 2017 dalam rangka bulan film, film dokumenter diputar Layarkita di bioskop Concordia Museum Konferensi Asia Afrika. Sang sutradara Ika Yuliana turut hadir, Ika bukan hanya menyuguhkan konflik di Jatiwangi tetapi mengajak para penonton untuk memecahkan solusinya. Upaya Ika dan teman-temannya sangat layak diapresiasi.
Masih ada sedikit harapan agar Jatiwangi kota genteng tak menjadi tinggal sejarah, seperti banyak kota lainnya. Tetapi, jika memang tidak terselamatkan tetapi setidaknya orang Jatiwangi telah melawan, sekaras-kerasnya mempertahankan peradabannya.










2 comments:

  1. makasih atas apresiasinya..
    semoga makin banyak teman yg memahami apa sedang kita lakukan

    ReplyDelete
  2. makasih atas apresiasinya..
    semoga makin banyak teman yg memahami apa sedang kita lakukan

    ReplyDelete