Review Film : Di Atas Genteng, Film
dokumenter peraih 5 besar Eagle Award 2017
Sutradara : Ika Yuliana dan Sangga Arta W.
Pendingin
di ruangan mini teater berukuran 6x6 mulai meniupkan udara. Menyapa wajah,
tengkuk dan seluruh tubuh. Membuat tangan terus-terusan ingin bersidekap. Di
layar yang tak terlalu besar ada rak-rak yang tersusun menjulang, tinggi hingga
atap, dingin dan gelap. Perasaan saya sudah tak karuan, saya seperti diajak
berpetualang di masa kecil.
Saya
seperti melihat diri saya ada diantara mereka. Naik ke deretan rak yang paling atas dengan kedua kaki bertumpu
pada deretan rak yang berbeda, membantu
meletakkan genteng basah. Lalu berjalan ke area depan, ada tubuh-tubuh liat laki-laki
yang terbuka, otot-otot bahu, lengan dan dada menonjol begitu rupa, berpeluh.
Salah satunya mencetak empleng, tanah
liat yang telah dibentuk kotak. Dua lainnya memasukkannya ke dalam mesin pres
yang sudah diminyaki. Mata saya melotot melihat kegesitan tangan-tangan kekar
tersebut. Cepat dan konsisten. Sedikit saja kamu lengah, tangan kekarmu akan
terpotong mesin pressan, seperti yang sudah-sudah. Di samping mesin pres, ada
meja besar, rendah, tempat menyimpan genteng-genteng mentah yang baru jadi. Tak
kalah cepat, tangan-tangan terampil perempuan akan merapihkannya. Keret. Begitulah istilahnya. Dari meja
besar itu, genteng yang sudah rapi akan disimpan ke rak, hingga kering. Jika
sudah dirasa pas keringnya, maka genteng-genteng itu akan dijemur seharian
penuh, di bawah terik matahari. Genteng-genteng kering inilah yang akan dibakar
semalam suntuk, hingga matang, menjadi warna orange dan bisa dipakai untuk
menghiasi atap rumah kita.
Rutinitas
tersebut terjadi setiap hari selama berpuluh-puluh tahun, mungkin hampir satu
abad, di Jatiwangi. Jebor, kami menamainya. Tempat segala aktifitas produksi
genteng.. Denyut nadi kehidupan di Jatiwangi. Hingga tahun 2000-an munculnya
pabrik-pabrik besar seperti Tekstil dan sepatu pelan tapi pasti menggerus
keberadaan pabrik genteng Jatiwangi.
Di
Atas Genteng, film besutan Ika Yuliana dan Sangga Arta, berhasil memotret
kegelisahan warga Jatiwangi. Masa transisi dari Jebor ke pabrik-pabrik besar
membuat konflik sosial. Perubahan metode bekerja, kebangkrutan Jebor yang
berjalan pasti, budaya-budaya baru yang muncul, hingga pergantian peran, suami
yang di rumah, istri yang bekerja di pabrik, karena pabrik banyak membutuhkan
pekerja perempuan.
Di
tengah-tengah masa krisis Jatiwangi, kadus Ila dan JAF berusaha keras untuk
mempertahankan peradaban genteng, mengenalkan ke mata yang lebih luas bahwa di Jatiwangi
ada genteng. Salah satu kampanye yang dilakukan adalah dengan mengadakan kontes
binaraga bagi para pekerja Jebor. Lebih dari sekedar hiburan, ini adalah usaha
mempertahankan diri.
Kontes
binaraga. Memperlihatkan tubuh-tubuh atletis para pekerja Jebor. Mereka ada,
untuk dilihat dan dipahami. Mereka melawan atas keserakahan para konglomerat
asing yang menancapkan kakinya dengan paksa di tanah Jatiwangi. Mereka bicara
melalui tubuh bahwa ada peradaban yang tengah dikoyak, ada tanah-tanah liat di
bawah pabrik-pabrik besar itu berdiri.
Di
Atas Genteng, berhasil masuk dalam 5 besar film dokumenter Eagle Award 2017. Selasa,
6 Maret 2017 dalam rangka bulan film, film dokumenter diputar Layarkita di
bioskop Concordia Museum Konferensi Asia Afrika. Sang sutradara Ika Yuliana
turut hadir, Ika bukan hanya menyuguhkan konflik di Jatiwangi tetapi mengajak para
penonton untuk memecahkan solusinya. Upaya Ika dan teman-temannya sangat layak
diapresiasi.
Masih
ada sedikit harapan agar Jatiwangi kota genteng tak menjadi tinggal sejarah,
seperti banyak kota lainnya. Tetapi, jika memang tidak terselamatkan tetapi
setidaknya orang Jatiwangi telah melawan, sekaras-kerasnya mempertahankan
peradabannya.
makasih atas apresiasinya..
ReplyDeletesemoga makin banyak teman yg memahami apa sedang kita lakukan
makasih atas apresiasinya..
ReplyDeletesemoga makin banyak teman yg memahami apa sedang kita lakukan