![](https://ichef.bbci.co.uk/wwfeatures/wm/live/1280_640/images/live/p0/3d/ph/p03dph55.jpg)
ampun, deretan rak
dengan buku yang berjejer rapi tinggi sekali hingga menyentuh langit-langit. Di
pojok kanan ada beberapa buku yang terbuka, berserakan sisa kemarin sore.
Sambil
menunggu penjaga
perpus membersihkan ruangan, tangan saya tak kuasa mengambil buku dengan
segera. Entah mengapa,
buku yang saya ambil supernova karya Dee Lestari. Buku itu saya bolak-balik,
saya amati sampulnya, membaca kembali daftar isi dan sub-bab judul. Supernova,
saya telah menamatkannya dulu, dulu sekali.
Pemilik perpus yang
disapa abang datang dengan wajah segar, tampak sekali ia bersemangat hari ini.
“Hai Ren, baca Supernova juga?” Matanya melirik buku yang saya pegang.
“Ya, bang tentu, aku
kuliah jurusan sains, jadi membaca buku ini bikin penasaran,” saya jawab
sekenanya.
“oh...lo anak MIPA?
nih....” tangannya dengan enteng melempar buku ke arah saya.
“Hawking...,” kening
saya berkerut membaca namanya.
“lo pasti uda khatam
kan baca buku dia,”
“saya sering
mendengar namanya, tapi jujur bang, saya belum pernah membaca bukunya,”
“hah?”
Saya sudah menduga,
abang pasti terkejut, dengan mata mendelik abang menjelaskan bahwa jika anak
sains tak mengenal Hawking itu berdosa, dibalik perkataannya saya mencium ada
nada sinis. Serupa ejekan atau malah keprihatinan. Tentu saja, saya jelaskan pada
abang, di kelas, teman-teman saya lebih suka membaca Harun Yahya. Buku-bukunya
yang sudah di format dalam bentuk digital banyak didownload dan disebarluaskan.
Beberapa kajian dakwah di mushola jurusan pun banyak membedah buku-buku Harun
Yahya. Mungkin memang saya yang kurang gaul atau kurang bervariasi dalam
berteman, sehingga saya tidak menemukan ada teman membicarakan Hawking. Apalagi
membaca karyanya, terlebih mempelajari teorinya. Jikapun ada satu ada dua suara
pernah membicarakan Hawking, itu hanya tentang ke-atheis-annya dengan mimik
wajah yang bergidik ngeri.
Abang menggelengkan kepalanya. “tuh di sana setumpuk buku Harun Yahya, dan lihat di bagian kiri di atas di deretan rak kedua, itu buku-buku Hawking, terserah lo mau pilih yang mana, Ren.” Abang nampaknya sudah paham benar bahwa hal
seperti itu bisa
terjadi di kampus negeri, di jurusan MIPA, pertengahan tahun 2000. “seumur saya membuka perpus di sini, hampir sepuluh
tahun, hanya ada dua orang anak MIPA yang pernah kesini, Ifan dan kamu,” abang berkata dengan
serius seolah ia turut berduka atas matinya
keingintahuan
generasi muda akan pengetahuan.
-----
Peristiwa itu, masih
saya ingat dengan jelas, bagaimana akhirnya saya meminjam buku Hawking danmulai
menghapus beberapa file Harun Yahya di komputer setelah menamatkannya. Satu hal
yang saya sesali, mengapa saya
memberikan waktu saya untuk membaca sesuatu yang nirfaedah hanya karena teman-teman yang lain melakukannya.
Beberapa hari lalu,
ketika Stephen Hawking meninggal, dunia sontak berduka. Wajah-wajah yang
tertunduk terekam kamera mengiringi kepergian si jenius yang kontroversial
karena karyanya. Hawking bukan saja
hanya meninggalkan ilmu tetapi ia juga menghadirkan spirit lain, dengan kondisi tubuhnya yang menderita sakit ALS, ia
tak gentar untuk memecahkan misteri semesta.
Kemunculan pemikiran Hawking sangat berpengaruh pada dunia sains. Ia
berhasil menjadikan buku sains menjadi populer dan jadi buku ilmiah terlaris.
Di tahun 1990an, generasi muda bangga
menenteng buku Hawking, seolaholah dengan begitu ia menjadi naik kelas
dan paham sains, tetapi lain halnya
ketika saya kuliah. Pertengahan 2000an, di sebuah kampus negeri, di fakultas
MIPA, di jurusan FISIKA, euphoria
Hawking sama sekali tidak memenuhi ruang belajar kami.
No comments:
Post a Comment