Monday, March 19, 2018

Stephen Hawking dan Generasi Muda

Suatu pagi, hampir sepuluh tahun lalu di bulan ketika hujan masih turun dengan kerap, saya mendatangi sebuah perpustakaan. Terlalu pagi, lantainya dingin dan masih basah, aroma kertas menyeruap masuk ke lubang hidungku tanpa
ampun, deretan rak dengan buku yang berjejer rapi tinggi sekali hingga menyentuh langit-langit. Di pojok kanan ada beberapa buku yang terbuka, berserakan sisa kemarin sore. Sambil
menunggu penjaga perpus membersihkan ruangan, tangan saya tak kuasa mengambil buku dengan
segera. Entah mengapa, buku yang saya ambil supernova karya Dee Lestari. Buku itu saya bolak-balik, saya amati sampulnya, membaca kembali daftar isi dan sub-bab judul. Supernova, saya telah menamatkannya dulu, dulu sekali.

Pemilik perpus yang disapa abang datang dengan wajah segar, tampak sekali ia bersemangat hari ini. “Hai Ren, baca Supernova juga?” Matanya melirik buku yang saya pegang.
“Ya, bang tentu, aku kuliah jurusan sains, jadi membaca buku ini bikin penasaran,” saya jawab sekenanya.
“oh...lo anak MIPA? nih....” tangannya dengan enteng melempar buku ke arah saya.
“Hawking...,” kening saya berkerut membaca namanya.
“lo pasti uda khatam kan baca buku dia,”
“saya sering mendengar namanya, tapi jujur bang, saya belum pernah membaca bukunya,”
“hah?”



Saya sudah menduga, abang pasti terkejut, dengan mata mendelik abang menjelaskan bahwa jika anak sains tak mengenal Hawking itu berdosa, dibalik perkataannya saya mencium ada nada sinis. Serupa ejekan atau malah keprihatinan. Tentu saja, saya jelaskan pada abang, di kelas, teman-teman saya lebih suka membaca Harun Yahya. Buku-bukunya yang sudah di format dalam bentuk digital banyak didownload dan disebarluaskan. Beberapa kajian dakwah di mushola jurusan pun banyak membedah buku-buku Harun Yahya. Mungkin memang saya yang kurang gaul atau kurang bervariasi dalam berteman, sehingga saya tidak menemukan ada teman membicarakan Hawking. Apalagi membaca karyanya, terlebih mempelajari teorinya. Jikapun ada satu ada dua suara pernah membicarakan Hawking, itu hanya tentang ke-atheis-annya dengan mimik wajah yang bergidik ngeri.

Abang menggelengkan kepalanya. “tuh di sana setumpuk buku Harun Yahya, dan lihat di bagian kiri di atas di deretan rak kedua, itu buku-buku Hawking, terserah lo mau pilih yang mana, Ren.” Abang nampaknya sudah paham benar bahwa hal
seperti itu bisa terjadi di kampus negeri, di jurusan MIPA, pertengahan tahun 2000. “seumur  saya membuka perpus di sini, hampir sepuluh tahun, hanya ada dua orang anak MIPA yang pernah  kesini, Ifan dan kamu,” abang berkata dengan serius seolah ia turut berduka atas matinya
keingintahuan generasi muda akan pengetahuan.
-----

Peristiwa itu, masih saya ingat dengan jelas, bagaimana akhirnya saya meminjam buku Hawking danmulai menghapus beberapa file Harun Yahya di komputer setelah menamatkannya. Satu hal yang  saya sesali, mengapa saya memberikan waktu saya untuk membaca sesuatu yang nirfaedah hanya  karena teman-teman yang lain melakukannya.

Beberapa hari lalu, ketika Stephen Hawking meninggal, dunia sontak berduka. Wajah-wajah yang tertunduk terekam kamera mengiringi kepergian si jenius yang kontroversial karena karyanya.  Hawking bukan saja hanya meninggalkan ilmu tetapi ia juga menghadirkan spirit lain, dengan  kondisi tubuhnya yang menderita sakit ALS, ia tak gentar untuk memecahkan misteri semesta.  Kemunculan pemikiran Hawking sangat berpengaruh pada dunia sains. Ia berhasil menjadikan buku sains menjadi populer dan jadi buku ilmiah terlaris. Di tahun 1990an, generasi muda bangga  menenteng buku Hawking, seolaholah dengan begitu ia menjadi naik kelas dan paham sains, tetapi  lain halnya ketika saya kuliah. Pertengahan 2000an, di sebuah kampus negeri, di fakultas MIPA,  di jurusan FISIKA, euphoria Hawking sama sekali tidak memenuhi ruang belajar kami.





No comments:

Post a Comment