Friday, December 28, 2018

Perpusnas RI : Surga Para Pencari

Foto dokumentasi pribadi

Pagi-pagi sekali saya sudah bersiap. Jadwal keberangkatan kereta api jam 07.35 membuat saya harus bersigegas sejak suara sayup speaker musola di samping rumah terdengar. Hari itu, 2 November saya menuju Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) di Jakarta.

3 jam perjalanan, jarak tempuh kereta Bandung-Jakarta terasa sangat singkat. Kereta berhenti di stasiun akhir, Gambir. Udara ibukota mulai menyergap, keringat dengan cepat membasahi tubuh. Saya disambut luapan massa yang saat itu sedang berkumpul di Monas, membuat sulit bergerak.

Gedung tinggi menjulang 27 lantai itu bukan saja menjadi harapan para pencari data tetapi menjadi pengguyur dahaga saya setelah cukup penat berjibaku hampir 45 menit dalam lautan massa. Sebenarnya, jarak dari stasiun kereta Gambir ke Perpusnas RI tidaklah jauh, hanya lima menit saja dengan menggunakan motor, bahkan bisa berjalan kaki. Gedung Perpusnas RI yang baru saja diresmikan kini menjadi salah satu ikon Indonesia, terletak di pusat kota mudah dijangkau oleh siapa saja.

Tentu saya tak sendiri, teman saya sudah menunggu untuk menemani dan membantu proses pencarian data. Ia, sudah lebih dulu ada di Jakarta. Kami saling berbagi tugas. Proses pencarian tidaklah mudah. Saya mengibaratkan data itu seperti jodoh, ia akan datang di saat yang tepat.

Mencari data perempuan abad 19 menjadi tantangan tersendiri. Sudah menjadi rahasia umum, rendahnya kesadaran mengarsipkan data terkadang membuat langkah-langkah peneliti menjadi tersendat. Pencarian data hingga ke luar negeri pun kerap dilakukan. Belanda menjadi salah satu negara acuan pencarian data Indonesia terkait era kolonialisme.  

Berkunjung ke perpustakaan dimanapun kita harus mempunyai bekal, tahu apa yang akan kita cari. Beruntung, situs perpusnas RI www.perpusnas.go.id yang dapat diakses terbuka menjadi panduan awal untuk mencari data. Jauh sebelum ke perpusnas RI, terlebih dahulu saya melakukan pengecekan data di perpustakaan daerah Jawa Barat yang terletak di Bandung. Dibantu oleh pustakawan, saya disarankan untuk mencari buku yang dimaksud di Perpusnas RI, karena pada katalog yang dapat diakses secara online buku yang saya cari hanya ada di perpusnas RI. 

Perpusnas RI yang buka setiap hari dari jam 08.30-18.00 selain melayani peminjaman juga menyediakan pelayanan foto kopi dan scan berbayar. Pengujung juga diharapkan patuh pada peraturan perpusnas seperti tidak boleh mengscan dokumen sendiri karena dikhawatirkan akan merusak data. Data yang sudah kita foto kopi tidak dapat diambil di hari yang sama (berlaku untuk buku langka). Setidaknya, pencari data dari luar kota harus menyediakan waktu untuk menginap di Jakarta.  

Pelayanan Perpusnas RI sangat baik, sebagai pengunjung dari luar kota saya merasa puas. Sayang, perpindahan dari gedung lama di Salemba ke gedung baru di Medan Merdeka ini membuat proses pengkatalogan data menjadi terhambat. Banyak buku/data yang saya cari tertera dalam mesin pencari tetapi tidak ada ketika saya ingin melihat bentuk fisiknya. Selain itu, banyak data yang tidak bisa dibaca, karena data tersebut sudah usang, lapuk dimakan usia. Kurangnya tenaga penterjemah aksara dan bahasa juga menjadi hambatan tersendiri, ketika data yang saya cari masih dalam bentuk aksara dan bahasa jawa, sunda ataupun lainnya.

Matahari hampir tergelincir, bersiap pamit pergi. Mata sudah tak kuat menahan kantuk, dinginnya udara dari Air Conditioner di setiap ruangan Perpusnas RI membuat tubuh sedikit meriang. Pencarian data belum usai, besok dan hari-hari ke depan saya akan kembali ke sini, seperti lumrahnya yang dilakukan oleh setiap para pencari data. Tentu saja, dukungan dan peran besar Cipta Media Ekspresi, Ford Foundation dan Wikimedia telah membuat saya berani melangkah jauh.            

-RA-

No comments:

Post a Comment