![]() |
Foto dokumentasi pribadi |
Pagi-pagi
sekali saya sudah bersiap. Jadwal keberangkatan kereta api jam 07.35 membuat
saya harus bersigegas sejak suara sayup speaker musola di samping rumah
terdengar. Hari itu, 2 November saya menuju Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(Perpusnas RI) di Jakarta.
3
jam perjalanan, jarak tempuh kereta Bandung-Jakarta terasa sangat singkat. Kereta
berhenti di stasiun akhir, Gambir. Udara ibukota mulai menyergap, keringat
dengan cepat membasahi tubuh. Saya disambut luapan massa yang saat itu sedang berkumpul
di Monas, membuat sulit bergerak.
Gedung
tinggi menjulang 27 lantai itu bukan saja menjadi harapan para pencari data
tetapi menjadi pengguyur dahaga saya setelah cukup penat berjibaku hampir 45
menit dalam lautan massa. Sebenarnya, jarak dari stasiun kereta Gambir ke
Perpusnas RI tidaklah jauh, hanya lima menit saja dengan menggunakan motor,
bahkan bisa berjalan kaki. Gedung Perpusnas RI yang baru saja diresmikan kini
menjadi salah satu ikon Indonesia, terletak di pusat kota mudah dijangkau oleh
siapa saja.
Tentu
saya tak sendiri, teman saya sudah menunggu untuk menemani dan membantu proses
pencarian data. Ia, sudah lebih dulu ada di Jakarta. Kami saling berbagi tugas.
Proses pencarian tidaklah mudah. Saya mengibaratkan data itu seperti jodoh, ia
akan datang di saat yang tepat.
Mencari
data perempuan abad 19 menjadi tantangan tersendiri. Sudah menjadi rahasia
umum, rendahnya kesadaran mengarsipkan data terkadang membuat langkah-langkah
peneliti menjadi tersendat. Pencarian data hingga ke luar negeri pun kerap
dilakukan. Belanda menjadi salah satu negara acuan pencarian data Indonesia
terkait era kolonialisme.
Berkunjung
ke perpustakaan dimanapun kita harus mempunyai bekal, tahu apa yang akan kita
cari. Beruntung, situs perpusnas RI www.perpusnas.go.id
yang dapat diakses terbuka menjadi panduan awal untuk mencari data. Jauh
sebelum ke perpusnas RI, terlebih dahulu saya melakukan pengecekan data di
perpustakaan daerah Jawa Barat yang terletak di Bandung. Dibantu oleh
pustakawan, saya disarankan untuk mencari buku yang dimaksud di Perpusnas RI,
karena pada katalog yang dapat diakses secara online buku yang saya cari hanya
ada di perpusnas RI.
Perpusnas
RI yang buka setiap hari dari jam 08.30-18.00 selain melayani peminjaman juga menyediakan
pelayanan foto kopi dan scan berbayar. Pengujung juga diharapkan patuh pada
peraturan perpusnas seperti tidak boleh mengscan
dokumen sendiri karena dikhawatirkan akan merusak data. Data yang sudah kita foto
kopi tidak dapat diambil di hari yang sama (berlaku untuk buku langka). Setidaknya,
pencari data dari luar kota harus menyediakan waktu untuk menginap di Jakarta.
Pelayanan
Perpusnas RI sangat baik, sebagai pengunjung dari luar kota saya merasa puas. Sayang,
perpindahan dari gedung lama di Salemba ke gedung baru di Medan Merdeka ini
membuat proses pengkatalogan data menjadi terhambat. Banyak buku/data yang saya
cari tertera dalam mesin pencari tetapi tidak ada ketika saya ingin melihat
bentuk fisiknya. Selain itu, banyak data yang tidak bisa dibaca, karena data
tersebut sudah usang, lapuk dimakan usia. Kurangnya tenaga penterjemah aksara dan
bahasa juga menjadi hambatan tersendiri, ketika data yang saya cari masih dalam
bentuk aksara dan bahasa jawa, sunda ataupun lainnya.
Matahari
hampir tergelincir, bersiap pamit pergi. Mata sudah tak kuat menahan kantuk, dinginnya
udara dari Air Conditioner di setiap
ruangan Perpusnas RI membuat tubuh sedikit meriang. Pencarian data belum usai,
besok dan hari-hari ke depan saya akan kembali ke sini, seperti lumrahnya yang
dilakukan oleh setiap para pencari data. Tentu saja, dukungan dan peran besar
Cipta Media Ekspresi, Ford Foundation dan Wikimedia telah membuat saya berani
melangkah jauh.
-RA-
No comments:
Post a Comment