Saturday, August 18, 2018

Sepotong Ingatan tentang Hari Kemerdekaan



Gambar dokumentasi pribadi

Kokok ayam jantan pagi ini terdengar nyaring sekali. Semburat matahari merah tertangkap sudut mata. Sinar hangatnya membuat betah berlama-lama berdiam di depan jendela. Sesekali terdengar suara megaphone memanggil penduduk seantero kampung.

Hari ini, semua tampak sibuk. Bapak dan emak sudah bersiap dari pagi. Mereka tampak asyik memasang tali sepatu. Baju, topi dan sepatunya senada bercorak merah putih. Bendera merah putih yang terbuat dari kertas kecil tampak tergeletak di samping tubuhnya. Saya menyaksikan itu semua penuh takjim. Mata saya tak berhenti menatap bendera merah putih yang sudah seminggu ini berdiri gagah tepat di depan rumah. Tiang yang tinggi membuatnya menjadi lebih berarti.

Emak dan bapak pergi tanpa pamit. Pintu rumah dibukanya perlahan. Terdengar bunyi langkah kaki mengendap-ngendap seolah khawatir derapnya akan membuat saya terbangun, padahal saya telah terjaga sedari tadi.

Dengan mata yang menyipit, dari celah-celah jendela saya mengintip kepergian mereka. Mereka melangkah sambil bergandengan tangan. Langkah kakinya sejajar. Bapak menenteng tas kecil yang berisi air minum. Tangan emak terus mengibar-ngibarkan bendera merah putih yang dibuat bapak semalam.

Lamat-lamat terdengar suara bapak di megaphone, acara jalan santai dalam menyambut hari kemerdekaan sepertinya akan segera dimulai. Terdengar bapak menjelaskan rute perjalanan. Saya pun tersadar segera beranjak dan bersiap, menyusul mereka, emak dan bapak.

Rute jalan santai tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Kepala-kepala menongol dari balik-balik pagar, menyoraki kami yang terus berjalan sambil bernyanyi. Sesekali tangan mereka mengepal berteriak “merdeka” kubalas dengan teriakan yang lebih kencang lagi “merdeka”. Beberapa dari mereka terlihat asyik duduk di depan televisi menanti upacara pengibaran bendera merah putih di istana.

Sepanjang mata memandang saya lihat merah putih berkibar-kibar dalam diam. Tak peduli ia dipasang dimana. Beragam bentuk hadir menghiasi sudut rumah, jalan, masjid, alun-alun dan tak ketinggalan membentang sepanjang jalan, dihubungkan dengan menggunakan tali kasur dari rumah ke rumah.

Hari makin terik, langkah kaki juga semakin gontai. Rasanya tak sabar ingin segera menuju titik akhir. Kulihat emak dan bapak sudah tidak saling bersama, mereka terpisah. Bapak memimpin perjalanan, meninggalkan emak yang memang terlalu santai berjalan. Mata saya mengawasi mereka dari belakang. Titik akhir pun sudah terlihat, hati ini membuncah rasanya, sambil terus bernyanyi lagu kemerdekaan, langkah kakiku rasanya makin melebar.

Saya, bapak dan emak tiba di garis finish. Kami saling berpandangan, saling memekik “merdeka”. Peluh bercucuran membasahi anak-anak rambut, turun ke pelipis, jatuh di sudut telinga. Dengan kaki berselonjor saya menyaksikan beberapa anak kecil sudah bersiap mengikuti perlombaan balap karung. Terdengar aba-aba, satu-dua-tiga, anak-anak kecil pun melesat, meloncat, beberapa ada yang bertubrukan dan terguling. Beberapa orang tua mereka tergelak, tawa lebar menghasilkan derai air mata tipis-tipis. Sesekali mereka menyusut air matanya. Dari kejauhan saya menangkap momen itu dalam ingatan. Mengabadikannya dalam hati dan pikiran, menyimpannya rapat-rapat untuk sesekali kuintip.

Usai lomba balap karung, anak-anak kecil itu tak segera beranjak. Lomba demi lomba mereka ikuti, matahari makin nekat berada di atas kepala mereka, memanggang kepala-kepala dengan rambut yang mungkin sudah tidak dikeramas selama satu minggu. Kecurangan kecil sesekali terlihat ketika lomba makan kerupuk, tangan kecil mereka sebagian memegang kerupuknya, kadang ada saja orang tua yang nakal berupaya segala cara agar anaknya menang. Anaknya  memang menang menggondol hadiah snack yang dibungkus kado, tapi saat itu juga ia sebenarnya telah menanam benih kecurangan.

Sinar matahari makin meredup. Perlombaan makin habis. Kerupuk sudah tandas, gentong-gentong air sudah pecah, jarum dan botol sudah berserakan dimana-mana, karung-karung goni tergelatak pasrah meminta dirapihkan. Saya pun beranjak, menggandeng emak dan bapak.

Kututup ingatan tentang hari kemerdekaan berbelas tahun lalu itu. Hari ini, saya berdiam saja di depan televisi menyaksikan presiden Jokowi memimpin upacara. Sambil mata ini nanar dan perih, aroma panas mulai menjalar ketika menatap video heroik anak SMP naik ke ujung tiang bendera. Kusapa emak melalui pesan singkat whatsapp, kusapa juga bapak melalui sms, semoga tersisa sedikit ingatan dalam benak mereka ketika kaki mereka masih melangkah bersama.             



No comments:

Post a Comment