Saturday, December 30, 2017

Penghujung Tahun

Tak lama lagi, angka-angka akan berganti. Semakin bertambah dan (seharusnya) menjadi. Tahun ini saya didera kehilangan kata-kata. Tak lagi sering menceracau ataupun menulis. Saya dilanda keheningan. Hening yang mengganggu. Mungkin saya terlampau bahagia hingga tak bisa menulis, konon katanya menulis akibat kesedihan. Saya tak menampik, saya terlalu bahagia.

Saya mengingat, di purnama yang ke-empat ada perempuan yang datang kembali. Dia seperti diciptakan untuk datang sesekali, entah untuk mengganggu ataupun sedikit menghibur. Cinta yang dibawanya tak cukup memendarkan peristiwa. Semua terjadi sekelebat, cepat dan hancur. Ada ragam cerita yang dijalin kembali, saling berkelindan satu sama lain, hingga saya dan dirinya dibuai dalam jejak-jejak yang lalu. Itu tak cukup ternyata. Yang kemarin tak akan sama. Perempuan itu pun lamat-lamat (dipaksa) menghilang. Hidup kembali sama. Keberadaannya tak lebih dari sekedar ingatan. Janji-janji yang terlanjur diucapkan, luruh seketika. Tak ada yang perlu disesali, semua terjadi begitu saja.

Selain dia. Ada juga laki-laki yang datang kembali. Kali ini dia datang untuk menetap. saya sebenarnya tak ingin menerimanya kembali, terlampau tak termaafkan. Tetapi sorot mata dan gestur tubuhnya tak kuasa membuat saya menolak kehadirannya. Dia saya terima sepenuh hati, meskipun bara belum juga hilang.
Lelaki itu kini menemani hari-hari. Pesan singkat darinya tak sebenar-benarnya saya tunggu. Dia datang semaunya. Tak penah peduli dengan rinduku dan kecemasanku. Dia hanya peduli dirinya ada. Laki-laki ini hadir di masa lalu, dan kini mengusik masa depan saya. Saya ikuti saja. Toh, saya tak bisa melakukan apa-apa, kecuali menerima.

Wednesday, July 26, 2017

Filosofi Kopi, dan Hal-hal yang Belum Selesai


Gambar diambil dari https://www.cgv.id/uploads/movie/compressed/MOV3193.jpg

Film Filosofi Kopi 2 hadir belakangan ini memenuhi layar bioskop. Pada menit awal penonton akan dimanjakan oleh pemandangan di banyak wilayah Indonesia yang memang aduhai bagusnya. Saya yakin banyak penonton seketika menandai banyak tempat yang akan mereka kunjungi sesuai dengan tempat pengambilan gambar yang ada di Filosofi Kopi.

Ternyata berpindah memang tak mudah. Tergambar jelas kebanyakan orang Indonesia memilih untuk hal yang pasti. Berpetualang bukanlah hal yang biasa. Menetap di suatu tempat, mempunyai rumah dan keluarga sepertinya masih menjadi mimpi hampir semua orang Indonesia. Di tengah kebiasaan masyarakat Indonesia yang memilih cenderung hidup menetap daripada nomaden, maka kedai Filosofi Kopi pun yang berkeliling pun ditinggalkan pegawainya satu persatu.

Jadilah Ben dan Jodi memutar otak agar kedai tetap hidup. Pilihannya hanya satu, kembali ke Jakarta dan membuka kedai kembali. Perjalananan Filosofi Kopi 2 pun di mulai. Ada Luna Maya sebagai Tara rekan bisnis Ben dan Jodi dan Nadine Alexander sebagai Brie, sarjana pertanian lulusan universitas luar negeri yang memilih menjadi Barista di Kedai Filosofi Kopi.

Konflik satu persatu datang. Rekan bisnis dan percintaan menjadi bumbu film ini. Cinta segitiga, cinta yang hampir mampir pada orang-orang yang salah terlebih dahulu hingga akhirnya cinta menemukan jalannya sendiri di waktu dan pada orang yang tepat. Cinta memang muara dari segala hal. Ia pantas mendapatkan tempat tertinggi.

Terlepas dari aktingnya yang memang super bagus, Ben yang diperankan oleh Rico Jericho berhasil memerankan sosok yang emosional dan keras kepala. Agak sedikit tidak nyaman ketika adegan Ben marah pada Tara di hadapan banyak pelanggan.

Tak ada gading yang tak retak. Film yang diambil dari buku Dee Lestari ini ditunggu-tunggu oleh penonton dari tahun lalu. Sosok Dee Lestari sebagai pengarang novel best seller menjadi salah satu motivasi terbesar kenapa film ini layak di tonton. Sumber cerita naskah yang memikat berhasil menjadikan Filosofi Kopi pertama berkesan bagi banyak orang. Sayangnya di Filosofi Kopi 2 ini terlihat tampak kurang greget. Terkesan hanya drama saja, drama cinta.

Dengan judul Filosofi Kopi saya berharap akan menemukan banyak hal tentang kopi, dari mulai fisik kopi, pengolahan, pemaknaan yang filosofis atau bahkan efek positif dan negatif dari kopi.  Tak nampak juga cerita tentang bisnis, strategi, pengalaman, jungkir balik Tara yang pebisnis sukses. Namun, meski begitu Filosofi Kopi merupakan salah satu film Indonesia yang layak dan harus ditonton.

Seperti kata bapaknya Ben, Kopi itu bukan untuk diminum tapi untuk dinikmati seperti itulah juga filmnya, nikmati setiap detilnya. Kesan tidak hadir begitu saja, dia butuh dilahirkan dan kesadaran untuk menerimanya, meski banyak hal yang belum selesai tetapi saya sudah seharusnya menghaturkan terima kasih kepada setiap orang yang terlibat dalam pengerjaan film ini.  Bravo!

Bandung, 26 Juli 2017

-RA-

Friday, July 7, 2017

Hujan

Sepertinya hujan sedang sering mampir di kotamu. Membasahi taman kota, membuat bunga-bunga menari dan tentu saja membasahi atap rumah lalu mengalir deras melalui kaca jendela kamarmu.
Seharusnya kamu tak perlu menunggu hujan dengan serius. Hujan akan datang dengan sendirinya menyapamu jika diperutnya sudah penuh dengan air yang siap dimuntahkannya. Memangnya jika hujan benar-benar datang dan mengajakmu bercumbu di dalam selimut, kamu mau apa?
Alih-alih sumringah, yang ada kamu malah menggigil kedinginan. Sebenarnya mungkin ya, yang kamu butuhkan hanya hujan dengan raut manis yang turun perlahan-lahan di kala sore hari, ketika beramai-ramai burung prenjak pulang menuju sarangnya. Kamu juga tentunya akan kelabakan jika hujan turun 24 jam menyapamu di depan jendela dan mengajakmu bercinta.
Hujan siap datang kapan saja, tapi apa kamu siap? Ya... kan?

***

Hujan itu digdaya. Dia akan menampakan diri pada mereka yang memang berani memeluknya. Hujan tak suka hanya dipandangi, dia suka jika kita bermain-main dengannya. Kuyup, ya tentu. Tapi itu yang ia ingini, basah bersama, bukan hanya dinikmati tetesan air yang jatuh dari tubuhnya, ataupun dilumat aromanya demi kamu dapat mencicipi wangi petrichor.

Tuesday, June 13, 2017

Nisan Dengan Huruf P

Flamboyan menyapa di muka pintu
Hening, sunyi
Nisan-nisan berbicara
Tentang kerinduan dan kehilangan
                   Kaki renta yang tertatih
                   Tangan legam urat menonjol
                   Gigi keropos ikut mengeja
                   Merapal doa
Habis lelah sedikit harapan
Waduk dan gunung menjadi mata
Bagi tubuh ringkih yang kian bongkok
Mencari nisan berhurup P
                   Nisan itu bisu
                   Tak ada tempat untuk tubuh ini membujur di sampingnya
                   P yang dinanti dan dicari
                   Sudah tak lagi sendiri
Meski tanah tak bisa dibohongi
Tentang tubuh mana yang ia ingini
                   Sambil menyiapkan bekal untuk pulang
                   Aku sibuk mengusap hati yang berduka selamanya


Puisi ini untuk Mbah Sri yang terus mencari Nisan Pawiro Sahid dalam Film Ziarah



Thursday, June 1, 2017

Rococo


Lagi, saya melahirkan. Entah untuk keberapa kalinya saya tak tahu. Saya tak pernah menghitung sudah berapa kali saya mengejan dan berapa banyak bulir keringat resah yang menemani malam-malam yang sunyi dalam ranjang persalinan. Bagi saya setiap yang saya lahirkan harus segera saya lupakan, membiarkan mereka berkembang sendiri. Mengingatnya sesekali saja. Jika mereka beranjak dewasa dan mencari saya, tentu saja seluruh tangan akan saya pergunakan untuk memeluk mereka. Tak sedikitpun cinta saya beranjak. Cinta saya utuh untuk mereka.

Menuju kelahiran tentu tak gampang, ada proses persetubuhan yang harus dilakukan berkali-kali, beruntung jika satu kali jadi. Sesudahnya lorong-lorong gelap siap menyambut, pegal yang tak berkesudahan, posisi tubuh yang selalu salah, entah itu ketika berbaring ataupun duduk dan beragam kesakitan hanya dialami oleh perempuan yang mengandung.

Kali ini bayi itu berwarna merah dan cukup gempal. Saya namai Rococo. Selama dalam kandungan Rococo tak rewel, dia seringkali mengajak bermain, menendang-nendang perut dan berbicara mengenai rahasia langit, permukaan bawah laut, dan dunia dalam tanah.

Rococo seringkali menghibur. Menyeret saya untuk meninggalkan dunia orang dewasa yang sedang karut marut. Dalam dunia Rococo tak ada ingar bingar pembicaraan politik ataupun sengketa kekuasaan atas nama agama. Bersama Rococo seringkali saya tersenyum sendiri seperti orang jatuh cinta. Rococo lebih-lebih dari seorang anak, dia belahan jiwa. Saya jadi teringat bagaimana proses “menguleni” Rococo. Berjam-jam di depan laptop menunggu satu hurup keluar sampe punggung pegal dan lupa makan. Rela gak mandi hingga sore demi menunggui “ilham” datang. Bertaburan coretan di kertas, mengganti tema, mengganti alur cerita, tak jarang juga saya putus asa.

Bagi yang lain mungkin Rococo tak ada keistimewannya. Tapi bagi saya dia bilangan genap yang melengkapi keganjilan. Saya senang, kaki-kaki Rococo sekarang mulai menjejak di banyak tempat. Rococo akan keliling dunia, semoga dia mau mengajak ibunya.  





















Monday, May 29, 2017

Perempuan yang Berharap : Sisi Lain Film Ziarah




BW Purba Negara, saya pertama kali mengenal karyanya melalui film Cheng-Cheng Po yang diproduksi tahun 2007. Cheng-Cheng Po adalah film anak yang berkisah tentang keberagaman, kasih sayang dan tolong menolong. Cheng-Cheng Po memenangkan Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 dan Audience Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007.

Melalui film barunya Ziarah, BW Purba Negara seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ada banyak hal sederhana yang dapat memperkaya kehidupan. Mbah Sri, Perempuan sepuh yang menjadi pemain utama dalam film Ziarah ini menjadi pengingat kesadaran tentang cinta, kesetiaan, pengorbanan dan tentu saja kematian.

Mbah Sri, diceritakan sebagai istri seorang veteran yang sepanjang hidupnya mencari kuburan suaminya. Mbah Sri terus mencari, dari desa ke desa, berjalan kaki, menggunakan bus berpindah angkot ataupun mobil angkutan barang demi mencari di mana jasad suaminya disatukan dengan tanah.

Suami Mbah Sri, Pawiro Sahid pergi berjuang ketika jaman perang agresi militer Belanda II, tetapi dia tidak kunjung kembali. Sejak saat itu Mbah Sri memulai pencariannya. Bertanya ke teman-teman seperjuangan suaminya, ke orang-orang yang tidak dikenalnya, hanya berlandaskan ingatan puluhan tahun silam. Seringkali informasi yang diterimanya tidak benar. Tapi Mbah Sri keras kepala, baginya mati dan dimakamkan di sebelah pusara suaminya adalah cita-cita yang tak bisa diganti.

Ziarah, merupakan film semi dokumenter yang bercerita tentang beberapa peristiwa sejarah. Ragam peristiwa ketika pemerintahan Orba seperti pembuatan waduk besar-besaran yang menenggelamkan banyak desa diceritakan di film ini. Orba adalah periode di mana suara dibungkam dan hak individu tak lagi bisa diperoleh.

Ziarah selain menyuguhkan pemandangan dan sejarah yang Indonesia sekali, juga mengetengahkan sosok perempuan. Perempuan yang berharap dari hari ke hari demi bertemu suaminya, kekasihnya. Bertahun-tahun dilaluinya dengan penantian dan kesetiaan. Perempuan yang berpikir bahwa suaminya juga mencintai dirinya dan akan mencarinya. Tetapi kenyataan berbicara lain, suaminya ternyata menikah lagi. Dan yang berbaring di samping pusara suaminya adalah istri keduanya.

Siapapun pasti akan rapuh mendapati kenyataan orang yang dinantinya ternyata sudah tak lagi jadi miliknya, bertahun-tahun. Tetapi perempuan seperti diberikan rasa sabar yang berlipat-lipat dibanding makhluk lainnya. Perempuan dilahirkan untuk menjadi kuat. Hatinya seolah diperuntukkan untuk penerimaan, dan beragam pemakluman.

Melalui mbah Sri, sosok perempuan menjelma menjadi makhluk yang sangat tangguh. Sendiri dan menanti. Menyepi dan berharap. Mencari dan Berjuang. Hingga mendapati kenyataan dan masih bisa memaafkan. Perempuan seperti mbah Sri, tentu saja sangat banyak. Beruntung BW Purba Negara berhasil merekam salah satunya.

Film Ziarah selain memberikan pengalaman batin yang kaya, juga mampu mengungkap hal-hal sederhana yang bisa kita maknai. Salah satunya tentang cara ungkap cinta yang sederhana dan disaksikan oleh sandal jepit yang menemani langkah-langkah Mbah Sri.

Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk Film Ziarah. Bravo!


Bandung, 29 Mei 2017
Rena Asyari 

Sunday, May 28, 2017

Cinta dan Kehidupan

Cinta itu kesepakatan, bukan sepihak apalagi diam.
Cinta itu tindakan, bukan hanya ragam kata.
Cinta yang tak mau melakukan apapun, itu adalah cinta yang paling lemah. Dan cinta yang paling lemah adalah kesia-siaan jika memaksa dipertahankan.

Kita tak hidup pada jaman Sisifus yang melakukan kesalahan lantas dihukum.
Kamu bebas melakukan apapun, memilih, lalu mencampakkan ataupun sebaliknya, tak akan ada yang menghukum kecuali dirimu sendiri.

Cinta yang benar tak hanya butuh ketenangan, apalagi menggenang. Ia perlu bergemuruh, karena gemuruhlah yang melahirkan rindu juga anak-anak kasih lainnya.Gemuruhlah yang melahirkan kepedulian, juga ketidakterimaan. Pendeknya, gemuruhlah yang melahirkan kehidupan.

Menjalani hidup dengan gemuruh tentu tak tenang. Tapi memilih cinta yang diam artinya memilih kesengsaraan. Penderitaan yang sengaja dipelihara, lantas karena terbiasa penderitaan pun memjadi candu. Ini bukan sekali dua terjadi, peradaban dibangun atas dasar candu pada siksaan.

Diantara sedikitnya kesenangan yang ditawarkan adalah masih tersisanya sebuah pilihan. Berjalan dengan gemuruh, debur ombak dan menerjang badai untuk sampai di pulau berikutnya, atau hanya diam, menunggu kesempatan. Kesempatan yang kerap kali tak mau mampir karena terlampau sungkan dirinya tak pernah diminta untuk hadir.

Hidup itu pilihan. Pepatah ini basi!
Tak ada keterpaksaan, semuanya kesediaan. Begitu juga dengan ketidakbahagiaan, dan kesakitan. Mereka hadir sebagai jawaban atas pilihan yang sudah kita sepakati. Tak ada orang lain mengambil peran. Hanya diri.

Kamu adalah pilihan Kamu adalah kesempatan, tawaran. Dulu aku tak perlu berpikir dua kali untuk mengambil tawaran tersebut.
Cukup sekali saja. Aku suka angka satu. Juga enggan untuk jadi yang kedua.

Thursday, April 27, 2017

DELETE BLOG

Mungkin sesuatu tak pernah dianggap penting sampai kita harus benar-benar melenyapkannya. Atau mungkin sesuatu itu sangat berbahaya hingga kita dengan serius harus menghapus jejaknya. Kisah cinta masa lalu bisa saja menjadi teror bagi siapapun, untuk saya ataupun kamu.

Saya rajin menulis, menulis apa saja. Kadang-kadang tulisan itu bagus dan layak untuk dibaca umum, seringkali hanya menjadi file yang terbengkalai di laptop. Sebenarnya menulis selain melegakan juga bisa membahayakan. Ada saja orang yang tak suka dengan apa yang kita tulis lantas dia kurang kerjaan dan mengomentari tulisan kita, alih-alih mengambil pelajaran dari apa yang kita tulis malah menjadikan tulisan kita untuk menyerang personal. Menulis memang pekerjaan berat.

Saya dulu mempunyai kekasih yang juga rajin menulis, dialah yang mengajari saya untuk terampil memainkan kata-kata. Tetapi sayang, seiring dengan hubungan kami yang kandas sepertinya dia sudah lelah membuai kata. Dia berhenti menulis. Menghapus jejak-jejak tulisannya. Blog pribadinya yang berisi tentang kisah cinta saya dengan dia pun tak segan di delete. Surat-surat elektroniknya, foto dan video yang dikirimkan ke saya bertahun-tahun lalu tak segan dibuang dari komputer. Sayang sekali kebiasaan menulis pun berhenti hanya karena terhimpit rasa bosan dan sesal pernah mencintai. Dia takluk pada ketakutannya. Dia menutup ruang ekspresinya. Dia berpikir menjalani hidup dengan pasangannya yang baru berarti harus membuang habis yang lama. Untungnya bagi saya tak jadi soal, Saya terus menulis.

Monday, April 3, 2017

Angkot dan Sebuah Harapan : Catatan Seorang Penumpang

Kamis 9 Maret 2017 lalu lintas Bandung tampak berbeda. Tak ada transportasi publik yang beroperasi. Angkot mogok. Ini sudah kesekian kalinya sejak hadirnya transportasi berbasis aplikasi online. Pemerintah Kota Bandung menghadirkan solusi untuk mengangkut para penumpang. Mobil-mobil dinas yang berada di kelurahan, di kantor kepolisian dan kantor dinas lainnya pun disulap menjadi kendaraan publik yang mengangkut anak sekolah, ibu-ibu yang hendak ke pasar, para karyawan dan mahasiswa.

Hari itu saya ingin menjadi bagian dari sejarah. Menyaksikan kota tanpa angkot melewati jalan-jalan di Bandung yang mendadak lengang. Tentunya saya menghindari titik demonstran berkumpul yakni Gedung Sate. Di mata saya hari itu Bandung seperti kota modern, yang maju warganya, dan disiplin. Tak terlihat kendaraan yang parkir sembarangan ataupun pengendara yang membuang puntung rokok atau botol minum mineral ke jalan juga mobil yang melaju dengan gaya zigzag.

Bertahun-tahun saya pengguna angkot, angkot menghadirkan banyak kenangan. Kenangan naik angkot ketika ibu dan kakak saya dijambret di daerah Ujung Berung jam dua siang bulan Desember tahun 2009. Gelang yang dipakai di pergelangan tangan ibu pun raib seketika. Sejak saat itu ibu saya trauma menaiki angkot. Atau ketika saya bersitegang dengan supir, gara-gara supir angkot merokok dan asapnya memenuhi ruangan penumpang. Saya menegur dengan sopan, dan supir angkot balas menghardik saya “naik taksi saja neng”, jika sudah begitu biasanya saya langsung berhenti dan keluar. Belum lagi angkot yang ngetem hingga beberapa jadwal yang sudah disusun pun gagal. Meski begitu angkot menjadi satu-satunya pilihan berkendara.

Monday, February 6, 2017

Pram, Kehidupan yang Berjejak

Gambar dokumentasi pribadi
Hari ini, tepat 92 tahun yang lalu Pram lahir. Google doodle pun mengapresiasi dengan memasang gambar Pram. Saya tak akan membahas tentang siapa Pram. Sekali anda ketik nama Pramoedya Ananta Toer di mesin pencari, maka ribuan berita tentangnya akan ditampilkan di layar monitor.

Saya ingin berbagi tentang perjumpaan saya dengan karya Pram. Sangat terlambat saya mengenal Pram, tetapi dengan begitu saya sadar bahwa saya harus mengejar ketertinggalan. Tahun 2011 adalah masa dimana saya sering berkunjung ke Batu Api, perpustakaan humaniora di Jatinangor. Saya bertanya pada bang Anton (pemilik Batu Api) “Bang, buku apa yang harus saya baca sebagai warga negara Indonesia”? bang Anton langsung menjawab “kamu jangan pernah mengaku bagian dari bangsa Indonesia kalau belum pernah membaca Pram, mulailah dari Tetralogi Pulau Buru “Bumi Manusia””. Saya pun dengan segera melaksanakan ‘perintah’ sang ‘suhu’ bang Anton.

Saya langsung meminjam Bumi Manusia. Bang Anton benar, buku ini memang wajib dibaca setiap warga negara Indonesia. Pram membawa saya mengenal Minke, Annelis, Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh. Pram seperti meniupkan ruh pada tokoh-tokoh rekaanya. Kata-kata Pram magis, tajam, menguliti, mencerca, memaki, menyindir tanpa takut. Sastra baginya adalah perjuangan. Pram berjuang habis-habisan dengan perih dan pedih. Hati saya ngilu membayangkan Annelis, Minke, dan Nyai Ontosoroh. Bumi Manusia selesai dalam waktu 3 hari, saya makin gelisah, hati saya menggelora. Pram berhasil menyulut amarah, menanamkan kegigihan untuk berjuang hingga terakhir, hingga tetes darah penghabisan.