Thursday, September 8, 2011

Dia

Dia berjalan dengan langkah panjang – panjang, sesekali matanya gesit mencari sesuatu yang dari tadi dicarinya, aku memerhatikannya sedari tadi dari café ini, sebentar – sebentar aku kehilangan sosoknya, kalau sudah begini, aku menajamkan penglihatan ke segala penjuru, sampai mataku lelah karena terus-terusan dipaksa untuk fokus. Ah ya… itu dia, aku melihatnya lagi, dengan tas ransel kecil yang disampirkan di bahunya, jam tangan berwarna silver di pergelangan tangan kirinya, dan rambutnya yang bergerak kesana kemari seiring dia melangkah.

Dia masih terus mencari, menyusuri sepanjang jalan Djuanda ini, Jalan ini penuh dengan muda-mudi, kawasan elit dan menjadi pusat kota Bandung, beragam hiburan dengan suara music yang menghentak menjadi background sepanjang jalan ini, taman yang dipenuhi lampu dan air mancur menjadi pusat perhatian bagi mereka yang haus akan ketenangan, tenda – tenda makanan yang bermunculan ketika sore ini mendominasi pemandangan, dengan beragam menu yang hanya ada di Jalan Djuanda.

Akupun menjadi salah satu penikmat jalan Djuanda, mengambil tempat dari lepas magrib tadi di sudut café yang menyediakan aneka cemilan malam hari, jagung bakar beraneka rasa, pisang bakar, roti kukus menjadi menu utama pada café yang ku tempati, satu demi satu kursi mulai penuh, aku pun menjadi gerah selain tak suka dengan ramai, aku kehilangan pandangan pada dia yang sedari tadi aku perhatikan.

Hampir 15 menit lamanya, sosoknya menghilang, aku berusaha mengedarkan pandang ke semua tempat yang masih bisa kulihat dari kursi yang kududuki, rasanya enggan aku beranjak, aku berpikir jalan Djuanda tidaklah panjang, tak mungkin dia berjalan terlalu jauh.

Gerimis mulai muncul satu-satu, aku mulai cemas, sosoknya tak juga terlihat, kunikmati lagi pisang bakar keju dan bandrek yang kupesan, kucoba nikmati gerimis yang turun perlahan, mensesap aroma hujan, tapi tak bisa, pikiranku melayang padanya, mulutku komat kamit mengucap doa, agar aku bisa melihatnya segera.

Hampir 30 menit yang lalu, diatas semua resahku tiba-tiba aku melihatnya, berlari kecil menjauhi gerimis, sesekali mencari tempat untuk berteduh, sepatu ketsnya menciptakan cipratan pada genangan yang dipijaknya, langkahnya ringan, semakin mendekat ke arahku, ku tersenyum lebar, berharap dia melihatku dan membalasnya, tapi ternyata tidak, dia sibuk merogoh tas ranselnya, aku sudah tak berjarak dengannya, dia masuk ke café yang sama, aku terkesima bisa melihatnya dengan jarak pandang yang dekat, leherku tak lagi kaku, karena aku tak harus memanjangkannya seperti tadi ketika mencari sosoknya, darahku sepertinya menggelegak tepat ketika dia menatapku, ya… benar dia memang menatapku, dan bahkan menuju kesini, aku seperti buronan yang tertangkap basah, tak tahu lagi harus bagaimana, aku pasrah dengan apa yang akan dia lakukan terhadapku, kubenarkan tempat dudukku, rasanya detik berjalan lambat, langkah-langkahnya yang tadi kuperhatikan panjang-panjang di jalan Djuanda sana, sekarang terlihat kaku, bergetar tungkainya, hmm… mungkin.

Ya… dia mengambil duduk tepat di depanku, aku masih menatapnya malu-malu…

“ini setangkai mawar putih untuk kamu”

Katanya… membuka perbincangan, dan sesudahnya mawar itu berpindah ke tanganku, kucium aromanya wangi, sewangi dia.

Tak ada lagi suara, hanya desah nafas yang terengah, café ini semakin penuh, aku semakin merapat didekatnya, berbagi tempat hanya dengannya.

No comments:

Post a Comment