Thursday, August 29, 2013

Perjalanan Rasa : Pagoda Avalokitesvara



Hari masih pagi ketika kali pertama aku menjejakkan kaki di sini. Suara gesekan daun dari Pohon Bodhi terdengar riuh. Aroma mentari yang masih hangat masuk melalui pori-pori kulit. Kulihat beberapa burung pada ranting-ranting kecil dengan cicitnya yang cerewet menyapa pagi. 


Pagoda Avalokitesvara, begitu namanya. Cantik. Tempat ibadah umat Budha ini terletak di daerah Ungaran Semarang. Ada banyak rasa yang mampir. Kaget, senang, deg-degan, juga sedikit rasa takut. Aku mulai mengambil gambar. Ada 7 tingkatan yang menjulang ke atas. Aku mulai memasuki pelataran. Patung Budha berwarna kuning keemasan di bawah pohon Bodhi menjadi pusat pandangan mata. 2500 tahun lalu sang Budha Gautama bertapa di bawah Pohon Bodhi. Tahun 1955 cangkokan asli dari pohon Bodhinya Gautama ini ditanam di pelataran. 


Aku melihat kertas-kertas merah dengan huruf cina tergantung di ranting-rantingnya. kertas-kertas merah itu berisi permohonan dan harapan. 

Friday, August 23, 2013

KITA



Awalnya kita hanya mengenal sebatas nama.
Menyapa dalam diam.
Berbicara sejarang munculnya pelangi.
Lalu masing-masing dari kita merasakan kecanduan.

Awalnya kita hanya berbicara tentang mereka.
Pekerjaan dan hal-hal sepele yang tidak penting.
Tertawa tanpa arti.
Memicing satu sama lain.
Tak berani saling memandang.
Apalagi mengucap mesra.

Lalu kita mulai berjabat tangan.
Berbicara lebih sering dan rutin.
Serutin mentari pagi terbit.
Kita tak lagi malu.
Saling memanggil nama dengan mesra.
Ada ‘aku’ dan ‘kamu’

Lalu kita mencicipi kopi di senja hari
Menanti dengan diam meluruhnya warna jingga
Kita menjadi gagu
Ketika teriakan anak kecil merusak suasana khidmat itu

Ya.. dia ada melengkapimu

Kita telah menghabiskan rindu
Menikmati tiap jengkal kulit tanpa kain
Menjalani tiap detik dengan praduga

Angin menerpa wajah kita perlahan
Kita terbangun dengan sadar
Tak ada lagi kecupan halus

Kita bergegas
Menuju suatu tempat yang tak sama
Langkah-langkah kita menjadi pertanda
Ada cerita dibalik selimut
Tanpa pernah mereka tahu

Dan kita telah begitu hapal menerjemahkan rasa.




Cibiru, 30 Juli 2013

Friday, August 2, 2013

Perempuan itu bernama Inggit



Kaki kecilnya berjalan menyusuri jalan tak beraspal sepanjang 5 km di bawah sengatan matahari. Badannya kurus kecil, dibalik stagennya ada buku yang sengaja disembunyikan untuk suaminya. Puasanya selama satu minggu berbuah hasil, badannya mengurus sedikit. Dengan mudah buku itu masuk ke dalam stagennya tanpa harus mengundang kecurigaan dari sipir penjara. Kuncup bibirnya merekah ketika satu langkah lagi dia tiba pada pintu penjara. Matanya berbinar menyiratkan kerinduan yang hampir surut jika saja waktu besuknya diundur.  Bertemu dengan Kusno itu adalah hal yang selalu dinantikannya. Kusno adalah belahan jiwa yang tengah larut dalam duka. Gelora perjuangan yang menggelegak dalam tubuh suaminya itu yang menyebabkan keadaanya kini. Kusno harus berada dalam sel berukuran 1x1 meter kecil dan lembab, hingga tidurpun harus dilakukannya tanpa posisi terlentang.
Dari penjara Banceuy Kusno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Jaraknya makin jauh dari rumah, tapi demi sebuah kerinduan Inggit masih setia mengunjungi suaminya. Tak jarang Inggit pun berkirim surat cinta yang digulung dalam lintingan rokok untuk mengungkapkan kerinduannya. Dari Sukamiskinlah sejarah terlahir, pidato pledoi Soekarno yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat”

Tak.. Tak.. Tak.



Tak – Tak – Tak
Bunyinya Menghentak
Seperti Anjing yang menyalak
Juga ketika gigi saling beradu menggertak
tak..itu bunyinya

Lalu hening..
kamu lucuti satu persatu
ssshhhh...katamu
mulutku bungkam tapi hatiku tidak
tanganku mengepal, mataku menatapmu nyalang

lalu aku pun merintih dan kamu merasa menang
aku mengerang kamu senang
aku menangis kamu tergelak
permainan usai dan kamu lunglai

tanganku pegal memegang daging tak bertulang
aku mual hendak muntah ketika semua berjejal di mulutku
tak lebih kental dari ingus
tak lebih cair dari air

kuusap pahaku, cairan di mana-mana
bercampur dengan air mata
hingga sukar kubedakan
mana benih mana hasil

di mana kalian?ibu..ayah
di mana Kau Tuhan
ini ketiga kalinya
rok seragam sekolah berwarna merah harus basah
bukan karena air tapi merah seperti darah

penjaga sekolah itu tertawa
satu lagi bocah kena mangsa
aku menangis terbata

tak..tak...tak
suara itu terdengar lagi
aku terpejam, berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini
hingga tak lagi harus kurasai perih yang hebat di selangkangan



cibiru, 4 Juli 2013





Esensi Ramadhan untuk Bocah



Magrib hampir tiba. Seiring senja yang hendak larut, burung pun terbang rapi menuju sarangnya. Teriakan bocah di pekarangan masjid terdengar gaduh sekali. Keriangan mereka memuncak. Ekpresi yang tak tergambarkan ketika muadzin mulai melapalkan adzan.

Mereka berhamburan keluar dari lingkaran permainan. Bebelotan, boy-boyan, engklek, ucing sumput, gatrik, sapintrong dan berbagai jenis mainan anak sunda lainnya. Pekarangan Masjid ketika sore disulap menjadi taman bermain kanak-kanak tak berbayar. Mereka tak lagi peduli dengan siapa yang menang dan kalah. Berlarian menuju kantin depan masjid. Bagi mereka seteguk air limun lima ratus menjadi puncak kebahagian di hari itu.

Kantin abah penuh dengan bocah. Soun dan sambelnya, kurupuk, gorengan, urab, lotek menjadi menu istimewa ketika magrib hampir tiba. Tangan-tangan kecil berlomba membeli makanan, abah melayani dengan penuh senyum. “Allahumma laka sumtu wabika amantu...”, ujarnya dalam hati. Denting sendok segera beradu pada semangkuk kolak pisang. Keriaan yang tergambar pada wajah bocah seolah melengkapi pahala puasa hari ini. Mulut bocah-bocah itu penuh dengan makanan, setelah makanan kecil habis merekapun berlarian pulang untuk segera menandaskan apa yang tersisa di meja makan.