Hari itu minggu, aku bergegas ketika lembayung fajar mulai
membentang, merapikan rambut dan baju, menyiapkan ransel yang sudah dipenuhi
camilan, mencari sandal jepitku, lalu melangkah menuju stasiun diiringi kokok
ayam yang datang kesiangan.
Kotak besi itu terlihat dari kejauhan bunyinya selalu
serupa, seolah tak pernah melewati berbagai lapisan zaman, aku mendapatkan
tiket di kelas bisnis, perjalanan kali ini menuju Kota Budaya, tentunya akan
melelahkan begitu kutahu aku hanya kebagian tiket kelas bisnis. Akupun mulai
mencari tempat duduk yang tertera di tiket.
kereta mulai bergerak, raut wajah orang yang ditinggalkan di
stasiun menjadi pemandangan yang mewah, ekspresi mereka ketika ditinggal pergi
oleh keluarga ataupun kekasihnya tidak
bisa dirangkai dalam balutan kata, lambaian tangan yang tak juga turun
sampai kotak besi ini hanya menyisakan titik di mata mereka.
Perkawinan antara gesekan roda dengan rel kereta api mulai
terdengar, menciptakan bunyi yang magis, aku selalu terperdaya pada bunyinya
yang membangkitkan memori ingatan, baik secara brutal ataupun pelan-pelan. Frame-frame penuh cerita mulai hadir di
benakku, rasa sakit, tawa, bahagia,
kesedihan menjelma di detik yang berdekatan, tidak terhenti di situ suasana
melankoli makin membuncah ketika pemandangan klasik mulai menghampar menjadi
santapan mata yang sudah jengah dengan gedung-gedung bertingkat, musim panen
sudah lewat, padi-padi yang baru semata kaki memenuhi pandangan mata.