Sunday, May 26, 2013

Cerita Perjalanan (Bagian 1)


Hari itu minggu, aku bergegas ketika lembayung fajar mulai membentang, merapikan rambut dan baju, menyiapkan ransel yang sudah dipenuhi camilan, mencari sandal jepitku, lalu melangkah menuju stasiun diiringi kokok ayam yang datang kesiangan.

Kotak besi itu terlihat dari kejauhan bunyinya selalu serupa, seolah tak pernah melewati berbagai lapisan zaman, aku mendapatkan tiket di kelas bisnis, perjalanan kali ini menuju Kota Budaya, tentunya akan melelahkan begitu kutahu aku hanya kebagian tiket kelas bisnis. Akupun mulai mencari tempat duduk yang tertera di tiket.

kereta mulai bergerak, raut wajah orang yang ditinggalkan di stasiun menjadi pemandangan yang mewah, ekspresi mereka ketika ditinggal pergi oleh keluarga ataupun kekasihnya tidak  bisa dirangkai dalam balutan kata, lambaian tangan yang tak juga turun sampai kotak besi ini hanya menyisakan titik di mata mereka.

Perkawinan antara gesekan roda dengan rel kereta api mulai terdengar, menciptakan bunyi yang magis, aku selalu terperdaya pada bunyinya yang membangkitkan memori ingatan, baik secara brutal ataupun pelan-pelan. Frame-frame penuh cerita mulai hadir di benakku,  rasa sakit, tawa, bahagia, kesedihan menjelma di detik yang berdekatan, tidak terhenti di situ suasana melankoli makin membuncah ketika pemandangan klasik mulai menghampar menjadi santapan mata yang sudah jengah dengan gedung-gedung bertingkat, musim panen sudah lewat, padi-padi yang baru semata kaki memenuhi pandangan mata.


Monday, May 20, 2013

Cinta dalam Sekeping Koin


Warna kuning keemasan dalam koin itu mengkilat seolah menyerap senja yang baru saja lengser, senja yang memudar perlahan mengundang ribuan burung walet membentuk barisan cantik di angkasa terbang menuju rumahnya, pemandangan yang mewah katamu. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKmc4_SwYOjkVf_QR56fEkrXpKZqjyMsdStuYBIgf-JJF60s4htwpxDhKIsGj5LYQz7yTH90H8w4Sthutl-RaXYI0Z9y56BNj5aX5VwR6qYRKMvoO_rY_eu6HaupSS6DgLrYdR_AzhLYWq/s400/koin_emas.jpg

Lalu senja yang terserap dalam koin itu kamu bagi ke seluruh tubuhku, punggung, pundak, bahu, tangan, tanganmu begitu terlatih membagi senja. Kamu bilang, senja adalah kesederhanaan, warnanya tidak menyilaukan, tetapi meneduhkan. Bercerita tentang senja aku jadi ingat pada sepotong senja yang dikirimkan Sukab untuk Alina, senja yang dikerat Sukab dari langit, disisipkannya pada amplop, amplop di tutup rapat agar senja tak membaur. Ketika Alina membuka amplopnya maka senja pun memendar ke seluruh ruangan, rambut Alina menjadi kuning keemasan, senja yang terkerat pun tak marah, dia malah sumringah, sepotong badannya bisa membuat arti.

Tuesday, May 14, 2013

Ketika Kuantitas mendefinisikan Kenormalan

http://haritsaja.files.wordpress.com/2011/12/bodoh_dan_bingung1.jpg

Saya menulis, karena saya sudah terlalu gerah dengan suara-suara yang lantang meneriakkan kenormalan, dimasyarakat kita yang masih menganut sistem “keturunan” dan “konservatif”, sesuatu baru dianggap normal jika berjumlah banyak. Jika jumlahnya sedikit maka dia adalah abnormal.

Contoh, ketika perempuan menikah di usia 20 – 25 tahun maka dia dianggap normal, lebih dari usia diatas, suara-suara miring makin terdengar nyaring. Memang saya setuju bukan tanpa alasan kebanyakan orang menyuarakan agar menikah di rentang usia tersebut, masa produktif wanita yang terbatas adalah faktor utama kenapa menikah seperti sebuah perlombaan, berlomba-lomba memproduksi keturunan sebelum masa produksi habis.

Menikah bukan lagi upacara sakral, tapi sebuah upacara yang terburu-buru. Alasan pernikahan pun menjadi beragam, dari mulai ingin meningkatkan status sosial, ingin punya anak, takut tidak ada jodoh lagi, menghindari omongan kerabat dan tetangga, sampai status klasik yaitu ingin melegalkan cinta.

Definisi pernikahan di indonesia menurut UU no 1 tahun 1974 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi ini menurut saya terlalu sempit, dan terbatas. Yang kemudian tergambar oleh pasutri adalah terburu-buru membuat keturunan, tanpa menikmati arti ikatan tersebut. Dalam Undang-undang tersebut seolah dibenarkan jika pernikahan dengan paksaan, pernikahan dengan yang belum matang pun sepertinya dibolehkan, yang jelas disana hanya berdasarkan gender, ada pria ada wanita maka boleh menikah.

Pulang



Kali ini kamu benar-benar “pulang”, wajahmu sumringah menyambut hari kepulangan itu tiba, kamu mendadak sehat, wajahmu segar, senyummu mengembang, biasanya yang kulihat hanya pucat, sekarang darah ditubuhmu sepertinya mengalir lagi, degup jantungmu juga berdetak normal, talunya terdengar oleh telingaku, aku senang, penyakit-penyakit itu sepertinya pelan-pelan memudar dari tubuhmu. 

Kemarin, kamu bercerita banyak tentang kisah kekasihmu itu, yang dengan setia kamu sebut “kanjeng rasul”, aku manggut-manggut, lalu kamu bercerita tentang kewajiban setiap muslim untuk memelihara anak yatim, mendengar kata yatim hatiku mencelos, aku tak nyaman dengan kata-kata itu, tapi kamu terlalu antusias untuk terus bercerita.

Makanmu banyak, dan kamu tak muntah. Batukmu pun mereda, dengan kondisi yang dirasa sehat kamu memainkan keyboard, menyanyikan lagu elegi esok pagi-nya Ebiet G. Ade, aku mendekat sambil kuambil gitar, dan aku mengalun denganmu, di depan kamar kulihat sosok perempuan yang tersenyum kepada kita, ditangannya ada dua air teh hangat, kita saling mengedip, suaraku menyelinap dibalik jari-jemarimu yang mahir memainkan tuts-tuts keyboard itu.