Thursday, November 30, 2023

Pelajaran dari si Hitam

Semalam hujan deras dan lama, suaranya memecah keheningan. Alpha, Cello dan Gato, ketiga kucing yang berada di rumah tidak dapat tertidur pulas. Suara guntur membuat mereka terjaga. Beruntung ketiganya terlindung dan aman, juga berada di dalam kamar yang dapat memberikan rasa hangat.

Esoknya, seperti biasa saya membuka pintu dan menghirup udara segar. Sekilas memeriksa apakah ada kucing jalanan yang menunggu, karena sudah hampir empat bulan, biasanya ada si Hitam kucing berwarna hitam yang rajin mengunjungi rumah untuk sekedar mencari makan.

Hitam pun datang, kotak makannya yang semalam penuh telah habis. Segera saya isi kembali dengan makanan kering. Saya tahu kesukaan Hitam selayaknya kucing lainnya adalah makanan basah, tetapi pagi itu saya menunda untuk memberi Hitam makanan basah. Agak siang atau malam saja saya akan berikan Hitam makanan kesukaannya, pikir saya saat itu.

Tak berapa lama terjadi keributan di luar. Ternyata ada satpam yang membawa jaring. Saat itu juga saya tahu Hitam ditangkap. Di Komplek perumahan saya memang selalu ada penangkapan kucing liar rutin sebulan sekali. Dengan dalih menertibkan kawasan agar layak dihuni oleh manusia, maka menghilangkan mahkluk lain salah satunya kucing adalah cara yang mereka tempuh. Menggunakan rasa superioritas, manusia seolah berhak mengklaim bahwa bumi ini hanya untuk dirinya.

Dan benar saja, Hitam di dalam jaring, tak berdaya, ketakutan. Perasaan bersalah langsung menyergap karena tadi saya tidak sempat memberi makanan kesukaannya. Emosi sedih dan marah pun langsung menguasai diri saya, namun untungnya mampu saya tahan. Sepintas saya marah mengapa harus di tangkap lalu dibuang, hanya karena ada laporan warga yang mengatakan bahwa mobilnya tergores oleh kucing? apakah alasan ini bisa diterima?layakkah alasan ini dijadikan alasan untuk menghilangkan kucing yang jelas-jelas lebih tak berdaya, yang mungkin jika ditunggu sebulan lagi Hitam akan mati, karena saat ini kondisi Hitam sedang sakit dan lemas.

Tapi saat itu juga saya mengerti ada banyak hal yang tidak bisa saya kendalikan. Saya tidak mampu menolong Hitam. Saya juga tidak dapat melontarkan kata-kata marah pada satpam. Saya dengan sadar membiarkan semuanya berlalu di depan saya. Saya hanya dapat menyaksikan Hitam dimasukkan ke dalam karung lalu dibawa menjauh. Saya amati emosi saya, masih ada sedih, marah, dan penyesalan. Dada saya sedikit panas, juga bergemuruh. Saya amati hingga semuanya mereda.

Beruntung saya masih dapat bertemu Hitam yang berada di kandang di samping pos satpam, sedang menunggu kucing lainnya untuk kemudian di buang di suatu tempat. Saya masih bisa memberinya makanan basah kesukaannya. Hitam sangat ketakutan, tubuhnya basah, ia mengeram, makanannya tidak ia sentuh. Wajar saja, siapa yang tidak trauma ketika kamu sedang berjalan kemudian dijaring, dimasukkan ke dalam karung, lalu didiamkan di kandang?

Yang terjadi pada Hitam bukanlah yang pertama kali. Kucing-kucing yang sedang hidup sendirian hanya karena dia liar tidak berpemilik ditangkap kemudian dibuang. Hal ini berlaku juga untuk mahkluk hidup lainnya. Ular, tikus, diburu. Burung-burung, rumah tempat dia bernaung, pohon-pohon ditebang, lahannya dijadikan bangunan.

Ego manusia melihat ini sebagai bentuk usaha yang wajar, normal untuk menyamankan diri, tanpa pernah melihat lebih jauh bahwa sebenarnya kehadiran manusia yang masif inilah yang menganggu keberadaan mereka. Semesta rumah bersama bukan untuk dimonopoli oleh satu kalangan saja. Lantas, mengapa berbagi ruang untuk makhluk lainnya seolah pekerjaan yang berat? Biarkan mereka mati secara alami tanpa perlu manusia menjadi algojo bagi mereka.

Memikirkan keserakahan manusia memang tak ada habisnya. Pagi ini saya belajar dari Hitam tentang betapa kasihannya seseorang yang dikendalikan oleh ego, hidupnya penuh dengan ketidakpuasan hingga harus mencari kepuasan dengan membuang makhluk lain. Padahal jika bersedia, sedikit saja rasa cinta kasih dapat mengikis ego sehingga pelan-pelan, kepuasan akan lahir dari dalam diri bukan dari luar.

Saya memeluk Alpha, Cello, dan Gato dengan erat. Memaafkan diri saya sendiri atas ketidakmampuan memberikan perlindungan pada kawan mereka. Semoga Hitam berbahagia, hanya itu mantra yang saya lapalkan ketika saya beradu mata dengan Hitam yang ada di kandang, dengan kondisi lemas dan ketakutan. Semoga semua makhluk berbahagia, semoga semua hidup berbahagia.  

No comments:

Post a Comment