Friday, July 15, 2016

Waktu Tak Pernah Meniada, Kamu yang Tiada

The Race Alone karya Ugo Untoro
Beauty is the first, the alone, the sole, the strange, the infinity 
Seringkali saya ditinggalkan, sesekali saya meninggalkan. Petang itu, ketika Bathara kala baru saja pamit kamu pun menyatakan pergi, tanpa meminta persetujuan. Kamu pergi tepat ketika kita baru saja menyudahi semua permainan hari ini. Separuh hari setiap hari kulewatkan denganmu. Permainan yang dilakukan di taman diiringi suara gaduh anak-anak kecil, dan seringkali kita dibekali oleh-oleh senyuman dari mulut-mulut kecil yang penuh dengan kata ketika permainan usai.

Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkanmu pergi. Gemuruh rasa panas di dada tak lagi jadi soal. Pengkhianatan, seringkali hadir justru ketika semua sedang baik-baik saja. Kamu pergi dengan alasan yang tak masuk akal, kamu terlihat rikuh memungut kata-kata yang mengada-ada. Wajahmu yang seringkali saya puja, sore itu berubah menjadi sosok yang tak pernah saya kenal. Matamu, hidungmu, bibirmu semua menjadi saksi bahwa kamu sedang berbohong.

Ketiadaan waktu, katamu. Waktu tak pernah meniada, kamu yang tiada.

Denarius. Saya memberimu sebutan pendek akhir-akhir ini. Akhirnya kutemukan alasan kamu tiada. Kamu terlihat menang dengan keputusan yang telah kamu buat, tanpa sedikitpun merasa menyesal apalagi bersalah. Kita semakin berbeda, dulu kita serupa. Orang menyangka bagai pinang dibelah dua. Kepalsuan memang tak akan bertahan lama.

Monday, July 4, 2016

Rosetta

Sebuah Resensi 

Rosetta film yang diperankan oleh Emilie Deguenne bercerita tentang perjuangan seorang perempuan berusia 18 tahun yang melakukan segala cara untuk mendapatkan pekerjaan. Adegan film ini diawali dengan Rosetta yang dipecat dari pekerjaannya, meronta, mengamuk dan memukul atasannya. Adegan heroik menjadi pembuka yang tidak terlalu manis tetapi mengundang penasaran. Saya mulai bertaruh dengan Rosetta, awalnya saya mengharapkan bahwa Rosetta akan membawa saya pada petualangan yang seru khas film-film Hollywood, ada pembuka yang manis, ada konflik yang membuat urat nadi mengencang di pertengahan film serta adegan penutup yang mapan. Tapi ternyata saya salah besar. Film berdurasi 90 menit hanya menampilkan adegan-adegan pengulangan tanpa ending yang jelas.

Kegigihan Rosetta untuk mendapatkan pekerjaan memaksanya melakukan berbagai cara termasuk menikam temannya sendiri Riquet yang diperankan oleh Fabrizio Rongione. Riquet menjadi pelayan di toko Waffle dan Rosetta dengan cara yang licik akhirnya menggantikan Riquet. Rosetta ingin mempunyai hidup yang normal, ibu yang sembuh dari kecanduannya akan alcohol, mempunyai pekerjaan yang mapan dan tempat tinggal yang layak. Dia selalu bercakap dengan dirinya sebelum tidur “Namamu Rosetta. Namaku Rosetta. Kamu mendapatkan pekerjaan. Aku mendapatkan pekerjaan. Kamu mempunyai teman. Aku mempunyai teman. Kamu memiliki hidup normal. Aku memiliki hidup normal. Kamu tidak akan jatuh dalam lubang. Aku tidak akan jatuh ke dalam lubang”. Semacam self doctrine, harapan agar hidupnya lebih baik keesokan harinya.

Like Father Like Son

Sebuah resensi



“Rumah adalah tempat di mana kita dibutuhkan” sebuah kalimat Dee Lestari yang pertama kali muncul di benak saya ketika Film Soshite Chichi ni Naru atau dalam bahasa Inggrisnya “Like father Like Son” selesai di putar di bioscoop Concordia, Selasa 10 Mei 2016. Film berdurasi 2 jam dibuat tahun 2013 yang disutradarai oleh Hirokazu Koreeda.  Soshite Chichi ni Naru memenangkan Jury Prize dan memenangkan pujian dari Juri Ekumenis, juga dinominasikan untuk Palme d'Or pada Festival Film Cannes 20131.

Sebuah film drama keluarga Jepang, berkisah tentang anak berusia 6 tahun yang tertukar di rumah sakit ketika bayi. Tema ini terdengar umum di telinga penikmat sinetron di Indonesia. Sinetron “Putri Yang Tertukar” bertema sama namun sangat berbeda dalam pengekspresiannya. Cerita bermula saat suster yang membantu proses persalinan dua bayi di hari yang sama, menukarkan Keita (Keita Ninomiya) dengan Ryusei (Shogen Hwang). Keita yang dirawat oleh pasangan Ryota (Masaharu Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono) sebenarnya adalah anak dari  pasangan Yudai (Riri Furanki) dan Yukari (Yoko Maki).

Dua keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Ryota seorang arsitek dan sangat sibuk sehingga tidak punya waktu bermain dengan Keita. Yudai penjaga toko kelontong, bermain dengan anaknya sepanjang hari, seorang ayah yang hangat.Bagi Yudai kedekatan dengan anak sangat penting, karena waktu tidak akan terulang. kehangatan bisa lahir dari mana saja dari kesederhanaan dan tempat yang buruk sekalipun.