Saturday, July 25, 2015

Negeri Tak Bernama 2 (Kelas Senin Pagi)

Kelas senin pagi. Tepat jam 10.

Ruangan pendopo yang terletak lebih tinggi dibandingkan perumahan penduduk menjadi pusat kegiatan. Seperti hari ini, kelas senin pagi. Ada 10 orang yang datang. Aku  melihat ada 2 wajah baru diantara lainnya. Dua-duanya lelaki. Rambutnya ikal, kulitnya putih, hidungnya mancung. Segera aku mengajaknya berkenalan, Cleo dan Kinan.

Tanpa aba-aba, kami langsung duduk melingkar. Angin yang bertiup masuk ke ruangan terbuka pendopo ini. Menghembuskan aroma alam yang ramah, mengajak bermain.

Kami saling berpasangan. Tanpa sengaja aku memilih berpasangan dengan Kinan. Diandra pelatih kelas senin pagi, memberi petunjuk. Kami di haruskan duduk saling berhadapan dan memegang tangan pasangan kami. Lalu salah satu dari kami diharuskan berbicara apa saja selama 15 menit dan salah satunya lagi mendengarkan. Seketika ruangan pun menjadi riuh oleh ceracau yang tak jelas dari 5 orang. Kelima lainnya mendengarkan dengan seksama, ada juga yang sudah terlihat bosan. Aku duluan kebagian berbicara. Aku berbicara banyak hal. Dari mulai aktifitas, kegemaran, perc intaan, hingga masa lalu. Mulutku tak henti berbicara, terkadang emosional. Tanpa sadar aku seperti dipaksa mengeluarkan segala hal yang terpendam. Kepingan-kepingan kenangan seolah menunggu giliran untuk dimuntahkan. Kinan memberiku kekuatan melalui genggaman, dari sorot matanya aku tahu dia sedang menyimak. Dari bahasa tubuhnya sepertinya dia tak sabar ingin merespon apa yang kubicarakan, tapi waktuku berbicara belum habis, tersisa 5 menit lagi. Akhirnya 15 menit kujalani dengan berbicara banyak hal tanpa lawan bicara. Aku terdiam beberapa saat. Ada perasaan lega setelah semua yang mengendap akhirnya keluar dengan semestinya. Tiba giliran Kinan yang berbicara dan aku yang mendengarkan. 5 menit pertama aku bisa menyimak Kinan, 10 menit selanjutnya aku sudah tak tahan mendengar suaranya. Mungkin itu juga yang dirasakan Kinan tadi. Waktu seperti enggan melumat hitungan, detik-demi-detik seperti berhenti. Inilah konsep rasa bosan, jenuh.

Bincang Hati

Mendung itu masih menggayut di pelupuk matamu, enggan pergi. Kita telah kehabisan kata-kata, yang tersisa hanyalah amarah.

7 tahun tanpa penyelesaian katamu. Cinta yang telah luruh, hati yang  telah datar kemana perginya rasa yang telah tergarami selama 7 tahun ini? Kamu menentangku.

Aku menarik nafas ini memang terlalu sulit. Jika cinta ibarat air, maka aku telah mengalir ke banyak muara denganmu, dalam perjalanannya kita lalui karang, kita terjun dari tempat tinggi, kita jompalitan, kita tak hanya berjalan. Kalau pada akhirnya sekarang ini aliran kita terhenti pada danau yang tenang, lalu ini salah siapa?

Aku tak mau melihatmu tersiksa, akupun tahu aku tak layak disakiti. Kita memang seringkali tak paham bahwa rasa ternyata bisa berhenti.

Kamu tak siap sendiri, begitupun aku. Tapi itu tak harus menjadi alasan untuk kita tetap bersama. Kamu terlalu istimewa jika keberadaanmu hanya menjadi alasan karena aku takut sendiri. Kamu adalah tujuan, pencapaian.

Lalu 7 tahun ini akan menjadi hal yang sia-sia?kali ini kamu  mengucapkannya dengan suara meninggi.

Panca

Lima. Seperti halnya panca indera, yang mempunya fungsi untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Lima, kita telah melewatinya. Lima kejadian. Lambat-lambat pagi itu kamu mengucapkan mantra tentang waktu. ”Waktu sejatinya harus dituntun untuk mewujudkan keinginan kita, katamu”. Kata-katamu menggema pada langit-langit kamar. Hening, hanya ada suara lirih dari nafas yang sedang dilatih dan diajak bicara.

Penglihatan, mata adalah indera pertama yang mempunyai potensi besar sebagai pembohong. Bohong, karena tidak semua yang dilihat mata adalah kenyataan, bisa saja dibalik fisik yang sempurna tersimpan hati yang buas. Bisa saja, di balik deretan gelar tersimpan suatu karakter yang culas, bisa juga dibalik mobil mewah ada sosok yang terus menerus menyimpan rasa iri. 

Setelah puas oleh mata yang melihat fisik, maka kita pun sama-sama menugasi telinga untuk saling mendengar tentang kita, tentang mereka, tentang Tuhan, tentang waktu, tentang tempat, tentang peristiwa, tentang semesta. Headset menjadi saksi bahwa telah banyak aksara yang dititipkan pada pikir melalui telinga. Telinga kita terlatih untuk mendengarkan penjelasan, diskusi, argumentasi, tangisan, sanggahan, tudingan, makian, sangkaan. Telinga menghimpun letupan huruf setiap harinya.

Mata dan telinga kita telah aktif dan teruji, masing-masing dari kita telah tahu dan paham.