gambar dipinjam dari sini
Suara jangkrik mulai memecah malam, dedaunan gemerisik ditiup angin kemarau. Ada udara yang menerobos masuk dari celah-celah pintu dan jendela menjadikan suhu kamar ini dingin.
Nyai Ontosoroh mulai
menggigil. Setiap malam diawalinya dengan tangisan kecil. Malam baginya adalah
penyerahan tubuh pada sang empunya uang, yakni suaminya. Melacurkan diri,
begitulah Ontosoroh menamainya. Malam baginya seperti serigala yang sedang
mengendap-ngendap kelaparan. Sejak dia menjadi Nyai, kehidupan hanya sebuah
siklus tanpa makna. Tembang-tembang Centhini yang pernah ia baca tentang
senggama yang indah seolah menjadi uraian kata tanpa isi.
Gelap dan pekat malam
membuat Ontosoroh mahir memainkan peran. Berbagai topeng dicobanya. Dia mulai
belajar mengenakan topeng ketika menginjak remaja. Di lihatnya orang-orang
sekelilingnya juga begitu. Sepupunya, Rukmini senang sekali memakai konde dan
gincu yang tebal, Rukmini berjualan di pasar. Pinggulnya megal-megol setiap
kali berjalan apalagi ditambah dengan siulan laki-laki. Jika sore tiba, Rukmini
mengurut-ngurut mengolesi betisnya dengan minyak kelapa. Gaya berjalan yang
dibuat-buatnya agar menarik hati laki-laki membuat Rukmini pegal-pegal
seharian. Harinah, budenya selalu lembut pada tetangga, gelar bu lurah yang
disandangnya membuat ia harus selalu menjadi dewa penyelamat untuk warganya.
Tak jarang, sepanjang malam Inah menggerutu kepada suaminya Sarkim. “beras
habis, uang juga habis, semuanya kuberikan untuk wargamu”. Kalau kau tak ikhlas
kenapa kau berikan itu pada mereka, ujar Sarkim. Oalah...mas, kau tak paham
rupanya, aku berbuat begitu agar posisimu sebagai lurah aman, tak diambil
orang. Empat belas tahun usia Ontosoroh kala itu, dia manggut-manggut dari
balik pintu. Mencoba belajar tentang kepalsuan.
Pada mulanya Ontosoroh
berharap baktinya kepada orangtua berbalaskan pahala dan pahala itu
diterjemahkan dalam harapan untuk bahagia. Tapi nyatanya tidak sesederhana itu,
terkadang penyerahan tubuhnya menghasilkan puisi. Seperti orang gila, dia
bersenandung lirih dengan mata menatap langit-langit kamar secara nanar.
kamu lucuti satu persatu
ssshhhh...katamu
mulutku bungkam tapi hatiku tidak
tanganku mengepal, mataku menatapmu
nyalang
lalu aku pun merintih kesakitan dan
kamu merasa menang
aku mengerang kamu senang
aku menangis kamu tergelak
aku menerawang kamu terpejam
tanganku pegal memegang daging tak
bertulang
aku mual hendak muntah ketika semua
berjejal di mulutku
tak lebih kental dari ingus
tak lebih cair dari air
kuusap pahaku, cairan di mana-mana
bercampur dengan air mata
hingga sukar kubedakan
mana benih mana hasil
Kadangkala Ontosoroh
membayangkan persetubuhan bersama Rauf pemuda yang dicintainya. Rauf berkulit
legam dan bekerja sebagai buruh panggul di pasar. Jika persetubuhan dengan
Rauf, mata Ontosoroh kembang kempis, senyumnya pun menipis. Ontosoroh percaya,
Rauf adalah satu-satunya yang membuat cinta tak mesti terluka.
Kaki-kaki kita menepi di bibir
pantai
Debur ombak membuyarkan lamunan
Menyapu semua yang melekat padanya
Basah... semua basah.
Burung hilir mudik mengangkasa
Menatap cemburu pada dua makhluk
yang digulung ombak
Terhempas air dan mata terpejam
Kaki kita saling melekat
Tubuh kita tanpa sekat
Debur ombak membuat kita terhenyak
Lalu kita sama-sama tersentak
Basah... semua basah.
Suatu ketika suaminya
tak sengaja menemukan catatan Ontosoroh tentang Rauf di buku hariannya. Mukanya
merah. Marah. dipanggilnya Ontosoroh. Suaranya menggelegar mengalahkan ringkik
kuda yang ada di kandang belakang rumah, beberapa pekerja di rumahnya segera
undur diri. Mereka paham akan situasi, bukan sekali dua majikannya semarah itu.
Tuan
memang biasa begitu, apalagi kalau dalam keadaan mabuk. Begitu kata mereka.
Ontosoroh mendekat,
raut mukanya pasrah tapi tegas. Dia geraikan rambutnya yang biasanya tergulung
rapih. Dia pakai gincu berwarna merah norak, dia pakai segala perhiasan, dia
pakai baju terbaiknya, dia kenakan selop tinggi. Suaminya kaget, Ontosoroh di
hadapannya menjelma seperti pelacur.
“Kenapa kamu berdandan seperti ini, kita
tak hendak ke pesta”
Ontosoroh tersenyum sinis, “bukankah ini
yang kamu inginkan?
Suaminya hanya mampu menggeleng, dalam
hatinya dia menyadari bahwa dia telah menikahi perempuan yang cerdas.
Ontosoroh tak mau
berpasrah diri. Rauf menjadi kekuatan dirinya. Dia telah tahu bahwa Rauf adalah
pelabuhan terakhir tempat dia merangkum segenap cerita. Ontosoroh mengingat
pertemuan terakhirnya dengan Rauf enam bulan lalu. Kala itu Rintik hujan baru
saja reda, menyisakan air di atap genting yang turun tetes demi tetes melalui
talang air, teras dan daun-daun menjadi basah, seperti bibirnya yang juga masih
basah setelah meminum kopi dengan tegukan terakhir tadi. “Seminggu lagi aku
pergi ke Malaysia, bekerja di pasar tak lagi cukup. Aku ingin mencoba peruntungan
di negeri Orang” Ujar Rauf. Ontosoroh bimbang, dia merasa akan kehilangan
cinta. Jarak dan ruang selalu mampu menjadi pembatas. Ontosoroh merencanakan
dirinya untuk minggat, Rauf berjanji akan menunggunya di pelabuhan untuk segera
berlayar bersama.
Ontosoroh ingat, malam
ini Rauf tengah menunggunya, tapi dia belum menemukan cara untuk minggat. “Ontosoroh
aku mencintaimu, aku punya harta berlimpah, puluhan ekor kuda, tanah
berhektar-hektar. Semuanya akan kuwariskan jika kau punya keturunan dariku.
Pernikahan kita telah enam bulan. Beragam cara telah kulakukan agar kau bisa
hamil, tapi kau sendiri tak ada usaha Ontosoroh. Aku ini sudah tua. Sebentar
lagi tubuhku akan habis di makan cacing, engkau masih muda, cantik dan cerdas.
Ketika menjadi jandaku engkau masih akan laku, kau bodoh kalau kau meninggalkan
aku hanya untuk laki-laki melarat itu. sabarlah sedikit, tunggu aku sampai mati”.
Hati ontosoroh mulai
melunak, dia menarik lengan suaminya untuk segera melakukan percumbuan. Dia
menginginkan anak. Dia menginginkan harta.
Ontosoroh menggila di
ranjang, topeng mulai dia kenakan. Dilihatnya suaminya puas. Semoga benih
tertanam di rahimnya, bayangan dia akan menjadi kaya raya berkeliaran di
kepalanya. Ya.. dia akan menjadi janda dari tuan Mellema.
--------------------------
Cerita
ini mengambil fragmen dari buku Bumi Manusia - Tetralogi Pulau Buru Karya
Pramodya Ananta Toer.
Bacaan teman minum kopi. Thx
ReplyDeleteTerimakasih...
ReplyDelete