Tuesday, November 19, 2024

Pindah ke Solo

September 2024


Perjalanan hidup membawa saya ke kota ini, kota yang pertama kali saya kunjungi hampir enam belas tahun lalu. Kala itu, saya masih kuliah, dengan tubuh kecil, tak punya harapan, uang, teman, mimpi. Satu-satunya yang nampak jelas dan dipunyai hanyalah sikap keras kepala. 

Tak pernah terbayang dalam angan, bahwa saya akan mengalami hidup di kota ini. Tinggal dan menetap di sini. Sejak kedatangan yang pertama, saya telah jatuh cinta. Kota ini jika malam sangat gelap, lampu-lampu jalannya tak mampu menerangi, membuat kecantikan Solo menjadi tersembunyi. Namun, temaramnya justru mampu menyamankan, memberi rasa hangat, dan kesunyian, menyebabkan malam merangkak begitu pelan. 

Ini bukan sebuah kebetulan. Mungkin, tanpa disadari saya memang menginginkannya, atau bahkan mungkin ada keterhubungan, keterikatan, sebuah janji dengan kota ini yang harus saya tuntaskan. Sehingga, saya semakin tertarik ke dalamnya, entah itu melalui perjumpaan yang sebentar dengan orang-orang yang tinggal di sini, ataupun dalam sebuah relasi cinta yang panjang dan terawat.

Sebagai pendatang, saya merasa dihargai.  Masyarakat Solo melihat manusia sebagai manusia, bukan sebagai komoditas. Negosiasi berjalan melibatkan simpati dan empati. Salah satu dampak nyata dari sikap memanusiakan manusia adalah harga kebutuhan pokok yang murah, menyebabkan warung-warung menjual makanannya dengan harga murah. Makan adalah hal yang esensial dalam hidup. Apapun motivasinya, saya hanya melihat di sini tak semua hal tentang mencari uang, tapi juga mencari berkah dan memberi pertolongan.  Sikap ini membuat mereka terlihat jauh dari sifat serakah. Hidup jadi terasa mudah. Kota ini tak akan meninggalkanmu sendirian, selalu ada ruang untuk setiap makhluk.  

Sikap orang-orang terhadap orang asing yang mereka ditemui di jalan pun akan membuatmu percaya diri. Jika ada kendala mereka akan datang menolong. Masyarakat di sini tak enggan memberi sesuatu secara gratis, baik itu informasi maupun bantuan fisik. Tapi, tentu saja itu semua harus dimulai dari sikap yang santun pula, tidak arogan. 

Ritme hidup yang pelan membuat masyarakat di sini bisa bersantai. Tidak bergegas. Hidup menjadi melambat. Mereka mempunyai kebiasaan makan di luar, baik itu sarapan, maupun makan malam, mengobrol bersama teman, pasangan, hingga larut di warung makan. Solo memang padat, namun tidak macet. Satu-satunya yang menjadi biang kemacetan biasanya di persimpangan lampu merah yang diakibatkan nyala lampu hijaunya yang teramat sebentar. Hiburan gratis juga sangat banyak, di setiap sudut jalan, di cafe-cafe alunan musik live membuat suasana semakin intim. 

Enam belas tahun telah berlalu, namun kota ini tak banyak berubah, semuanya masih sama. Saya jatuh cinta pada kota ini, bukan cinta yang menggebu-gebu, tapi sejenis cinta yang khidmat, yang bertumbuh dari waktu ke waktu, tidak bergelora tapi berjalan terus membuat hati dari tahun ke tahun kian penuh. Mungkin ini bukan hanya perkara tempat, tetapi memang ada separuh jiwa saya yang tinggal di sini, memanggil untuk selalu kembali pulang menemuinya, bersamanya hingga selamanya. 


No comments:

Post a Comment