Friday, March 1, 2024

Tenang di Pesta Demokrasi

Tanggal 14 Februari telah digelar pesta demokrasi lima tahunan, pemilihan umum presiden, wakil presiden dan wakil rakyat. Peristiwa yang akan dicatat sejarah karena melahirkan presiden dan wakil presiden yang baru. Sejak lima bulan lalu, bahkan sebelum masa kampanye resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiba, situasi di masyarakat menjadi bersemangat, riuh menyuarakan tokoh jagoannya.

Sayangnya, hampir di setiap lahirnya peristiwa besar tak pernah luput dari konflik. Gesekan, tudingan, fitnah, penghakiman, makian menjadi bumbu kurang sedap yang harus ditelan setiap hari. Ruang publik penuh sesak dengan energi permusuhan, kebencian, kemarahan, ketidakterimaan, kekecewaan dan kesedihan. Tanpa disadari, hampir semua orang memilih terlibat, tenggelam dalam energi konflik ini.

Melihat keriuhan yang terjadi selama musim kampanye, saya akhirnya harus mengapresiasi diri sendiri karena pemilu kali ini, saya memilih tidak terlibat. Tidak terlibat bukan berarti tidak peduli hingga menutup mata dan telinga terhadap semua informasi, tetapi saya memilih mengamati saja semua yang terjadi. Ada banyak peristiwa dan pembelajaran dalam setahun belakangan ini yang membatasi saya untuk tidak turut campur pada apa yang sudah digariskan oleh semesta, meskipun saya tahu hasilnya tidak selalu ideal bagi saya.

Semua hal pasti berubah, tidak ada yang kekal. Saya mencoba memahami makna kalimat sederhana ini. Mantra, kalimat magis yang membawa saya untuk selalu sadar di saat sekarang. Kalimat ini membuat saya yakin bahwa semua yang terjadi saat ini besok bisa berubah, dan begitu seterusnya, lalu mengapa saya harus mengorbankan diri saya untuk pikiran, perasaan, ego yang diselimuti ketakutan, kecemasan di masa lalu dan masa depan?

Satu hal yang tidak ingin saya berikan percuma, yaitu waktu. Waktu yang saya miliki, yang sangat terbatas itu tidak akan saya pergunakan untuk hal di luar diri saya, yaitu pikiran. Saya baru menyadari ketika membaca buku Eckhart Tolle bahwa selama ini manusia terjebak pada situasi kehidupan yang diciptakannya. Situasi kehidupan seperti adanya kebencian, kemarahan, kesedihan, ketakutan dll. Tolle menyadarkan saya agar selalu pergi ke dalam diri, pergi ke tempat di mana semua baik-baik saja, aman, dan bahkan sesungguhnya sangat menakjubkan.

Jika semua yang ada di semesta ini adalah energi, maka yang terjadi selama lima bulan masa kampanye ini adalah sebuah pusaran energi yang sangat besar. Pusaran yang menarik dan menjebak untuk terus berada di dalamnya, melahirkan kemelekatan ekstrim bagi yang memilih masuk pusaran karena energinya begitu kuat.

Pesta demokrasi merupakan pertarungan untuk memenangkan posisi. Kompetisi selalu melahirkan persaingan, seringnya dilakukan cara negatif. Ambisi untuk menjadi pemenang membuat persaingan tidak sehat. Orang-orang yang berkepentingan memenangkan posisi memprovokasi massa, mencari dukungan. Massa yang hanyut dalam kondisi euforia pesta dan ketidaksadaran akan mudah terpicu, tersulut yang sebenarnya mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang diperjuangkan. 

Tidak semua orang dapat menerima kekalahan. Sebagiannya menyisakan kebencian bahkan dendam yang berkelanjutan meski pesta telah usai, yang tanpa disadari membawa pada kesengsaraan panjang. Kemenangan pun tidak selalu melahirkan kebaikan. Jika setiap peristiwa akan membekas dan terekam dalam memori, bahkan bisa melahirkan trauma di kemudian hari yang berakibat kualitas hidup menjadi buruk, maka melepaskan diri dari pusaran konflik menjadi suatu pilihan yang akan membawa pada ketenangan, kembali ke "rumah" ke "diri" menuju ruang sunyi yang aman dan nyaman.    

No comments:

Post a Comment