Sunday, April 2, 2023

Cara Saya Memulihkan Trauma


Patah hati terbesar saya adalah ketika bapak meninggalkan saya, ibu dan kakak tahun 2005. Saat itu adalah momen saya memasuki bangku kuliah. Kepergiannya menandai luka batin terbesar pertama saya. Sayangnya, ia pergi tanpa penjelasan, tanpa maaf dan penyesalan. Ia tak pernah menanyai bagaimana kabar saya, bagaimana saya makan, bagaimana saya bisa membiayai kuliah, apakah saya bisa mengerjakan ujian, atau gimana cara saya bertahan hidup selama di kota rantauan, hingga tahun-tahun sesudahnya ia mungkin lupa (tak pernah) bertanya.

Rasa sakit itu ternyata melekat, tak mau hilang.  Orang pertama yang saya harapkan dapat melindungi saya ketika masa pendewasaan ternyata menjadi orang yang paling menyakiti saya. 

Untungnya dengan segala sakit tersebut saya tetap mampu menjalani hidup dengan baik, menyelesaikan kuliah tepat waktu, tentunya dengan pertolongan banyak orang. 


Puluhan tahun saya memendam duka dan bertahan dari segala ketidakterimaan. Saya mengabaikan perasaan saya dengan membenamkan diri dalam pekerjaan dan melakukan banyak aktifitas sosial. Sayangnya, kebertahanan saya rapuh di bulan september-oktober 2022 lalu. Bertepatan dengan saya sedang dalam mode istirahat setelah memutuskan resign dari tempat bekerja setelah 13 tahun lamanya mengabdikan diri di dunia pendidikan. Saya benar-benar butuh pertolongan! 

Saya memutuskan untuk melakukan terapi dengan psikolog. Selama kurang lebih tiga bulan saya didampingi psikolog untuk mengurai trauma dan luka batin di masa lalu. Waktu-waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Hari-hari saya sangat berat. 

Selain menjalani apa yang disarankan psikolog, saya juga melakukan segala proses pemulihan yang saya yakini bisa memudahkan saya melewati fase kolaps seperti melakukan ibadah sesuai agama saya dan melakukan meditasi. 

Setiap selesai konsultasi dengan psikolog rasanya lelah sekali, bingung, dan rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Saya melakukan upaya lain agar segera pulih, saya memilih meditasi. Di meditasi tersebut saya mengimajinasikan menghadirkan bapak di hadapan saya dengan harapan saya mendapatkan jawaban yang selama ini saya cari. Saya hanya butuh penjelasan mengapa ia pergi begitu saja dan mengabaikan saya. 

Dalam visualisasi saya, saya hadirkan ia duduk di kursi menghadap saya, saya menatap matanya, lalu saya bertanya "mengapa tega melakukan ini pada saya? Apa bapak tidak mencintai dan menyayangi saya?" Ia hanya diam, tak mampu menjawab apapun. Ingatan saya lantas berjalan mundur mengingat detail peristiwa yang menyakitkan satu persatu. Tangisan saya pecah. Dan ia tetap tak bergeming. 

Saya menjadi tahu bahwa ia tidak cukup mencintai saya. Dan ternyata diamnya bapak melegakan saya. Karena saya bisa sadar diri untuk tidak terlalu mengharapkan maaf, penyesalan dan kata-kata sayang lagi darinya. 

Setelah meditasi dengan menghadirkan sosok bapak dalam pikiran, saya merasa lega, hati menjadi lebih ringan. Saya tahu pertemuan imajiner tersebut mengada-ngada namun, saya perlu melakukannya, agar saya bisa melepas luka yang saya pendam sendirian selama 18 tahun.

Terapi psikolog dan meditasi membawa saya menemui diri saya, diri yang tanpa saya sadari telah saya tinggalkah jauh. Kini, ketika saya sudah mau membuka diri tentang kisah saya pada teman-teman dekat, saat itu pula saya tahu bahwa saya telah beranjak pulih.

No comments:

Post a Comment