Ini postingan pertama setelah 2 tahun tidak lagi menulis di rumah kesayangan ini.
Apa yang terjadi selama dua tahun? Banyak! bahkan sejarah mencatat wabah besar yang dialami oleh umat manusia, COVID-19, yang hingga saat ini ditulis masih juga terdapat kasus aktif di beberapa negara dan bahkan efek long covid masih dirasakan hingga kini oleh banyak penyintas covid-19.
Lalu apa yang terjadi dengan saya?Bagi saya, 2020 merupakan titik mula beperjalanan. Ini titik dimana saya berpikir tentang apa yang hendak saya maui besok, dan cara hidup seperti apa yang saya iingini. Semakin 'menua' pencarian mengenai identitas juga nilai kehidupan semakin lekat untuk terus dipikirkan. Tak ingin hidup hanya mengalir begitu saja, tak terima waktu hanya dipakai untuk melakukan aktifitas yang itu-itu saja.
Beruntung, pandemi covid-19 memaksa saya untuk terus berpikir keras tentang esensi hidup manusia. Esensi yang belakangan kian hilang. Waktu yang luang memberi saya banyak kesempatan untuk mencari referensi melalui film, buku dan perbincangan hangat dengan beberapa teman.
Di masa yang hampir semua orang diliputi masa khawatir karena virus covid-19, saya menemukan gairah ketika mengenal konsep hidup minimalisme. Hidup yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia. Beberapa film yang membantu saya belajar minimalisme adalah : "Tidyng up With Marie Kondo", "Minimalism: A Documentary About the Important Things", "The Minimalist Less in Now", buku-buku yang ditulis oleh Franchine Jay dan Fumio Sasaki. Dari buku dan film tersebut saya belajar minimalisme sejak pertengahan 2020 lalu langsung mengaplikasikannya.
Hal pertama yang terasa tentu saja keluangan ruang. Hampir 80% barang keluar dari rumah. Baju, perabotan, buku, asesoris, dokumen, benda seni, benda elektronik, dan lainnya ternyata ketika dikeluarkan dari rumah dengan penuh kesadaran tidak membuat saya merasa kehilangannya.
Ruang luang memberi waktu dan energi yang penuh. contoh sederhananya, yang biasanya hari-hari dipenuhi dengan beberes buku, kini tidak lagi karena buku yang tertinggal tinggal sedikit.
Minimalisme juga tidak berhenti hanya pada beberes keruwetan di ruang fisik, namun juga membenahi pikiran-pikiran yang selama ini terlampau maksimalis. Menerima dua bahkan lebih pekerjaan sekaligus, menerima semua tawaran yang datang hingga tak sadar kalau sebenarnya diri ini tak mampu menanggungnya. Lelah, badmood dan gangguan psikologis lainnya pun menjadi akibat dari ketakutan akan kehilangan kesempatan ataupun ketergesaan karena melihat yang lain sudah bergerak sangat cepat. Minimalisme memaksa saya untuk memberi keluangan pada tubuh dan pikiran. Tidak membebaninya berlebihan.
Minimalisme juga ternyata membuat saya berani memutuskan hal-hal besar seperti pindah tempat tinggal, dari rumah yang berukuran besar ke rumah yang berukuran jauh lebih kecil. Berani meninggalkan rumah yang sudah dihuni selama 6 tahun. Juga berpindah kota, meninggalkan Bandung yang sudah ditinggali selama 15 tahun menuju Tangerang-Gading Serpong, kota yang lebih nyaman untuk ditinggali karena tata kotanya rapih, minim macet dan banjir. Bahkan minimalisme menuntun saya untuk resign dari tempat bekerja yang sudah 13 tahun berada di dalamnya.
Minimalisme menyadarkan saya bahwa luang adalah syarat untuk manusia bisa berpikir secara sadar dan bijak. Pikiran, waktu, tubuh, dan ruang yang luang ternyata membuat saya merasakan kembali apa makna hidup. Sebenarnya tidak ingin mendramatisir ini, namun itulah yang saya alami, kelegaan dan ketenangan.
No comments:
Post a Comment