Monday, February 3, 2020

Monolog Wanodja Soenda: Suara Perempuan dalam Balutan Pagelaran Mewah


Suatu hari saya mendapat pesan whatsapp dari kang Deni, pemilik Toko buku Lawang Buku. Beliau memberikan e-poster tentang pementasan Monolog Wanodja Soenda yang akan diselenggarakan tanggal 29 Januari 2019 di Hotel Savoy Homan. Raden Ayu Lasminingrat, Raden Dewi Sartika, dan Raden Emma Poeradireja adalah tiga perempuan yang menjadi tokoh dalam monolog tersebut. Bukan main gembiranya hati saya, mengingat kisah tentang mereka memang layak untuk terus diperkenalkan, dan digaungkan suaranya kepada publik. Kiprah ketiganya tak main-main dalam pendidikan dan organisasi perempuan.

Tentu saja yang membuat semangat saya semakin menyala pada pementasan ini adalah dinyaringkannya suara Lasminingrat Raden Ayu Lasminingrat, tokoh perempuan yang semua karyanya saya baca dan ulas dua tahun belakangan ini. Saya sangat penasaran seperti apa sosok Lasmi akan dihadirkan.

Tak menunggu lama, saya langsung mengontak panitia untuk memesan tiket, harga tiket masuk atau pihak panitia menamakannya sebagai donasi sebesar Rp. 250.000,-. Dalam pemikiran saya, dengan donasi tersebut, orang-orang yang butuh pengetahuan tetapi kekurangan finansial tidak akan dapat menontonnya. Akses untuk mendapat pengetahuan dan informasi seharusnya dibuka lebar, mengingat ketiga tokoh perempuan tersebut milik masyarakat luas.

Tempat pementasan yang berada di tengah kota membuat saya sedikit bernafas lega, karena mudah diakses dari arah Bandung Selatan. Dalam bayangan saya, tempat pertunjukan harus memenuhi kriteria sebagai tempat pertunjukan seperti tempat duduk yang berundak (level) tidak datar, maupun sound system yang terawat dan biasa dipakai khusus pertunjukan.

Pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benak sejak menerima kiriman e-poster pertama kali itu saya abaikan. Saya melihat pemain dan tim produksi yang terlibat. Cukup meyakinkan bahwa ini akan menjadi sebuah pagelaran yang apik. Mainteater sebelumnya pernah memproduksi monolog Tanmalaka tahun 2016.

Satu hari menjelang hari pementasan, saya mendapat email dari panitia yang mengabarkan bahwa untuk menonton pertunjukan ada dresscode yang harus dikenakan yaitu pakaian tradisional Jawa Barat. Kebaya untuk perempuan dan beskap untuk laki-laki. Dalam email tersebut, panitia juga melampirkan bentuk e-poster yang baru dengan gambar para pemeran monolog Maudy Koesnaedy, Sita Nursanti, Rieke Dyah Pitaloka, selain itu ada juga gambar Heni Smith pemilik Lodge Foundation dan Atalia Praratya.

Himbauan untuk memakai dresscode bagi saya cukup mengganggu, bukankah ini adalah sebuah pertunjukan yang bebas, mengapa harus dibatasi? Bagaimana jika saya tak mempunyai kebaya? rupanya panitia masih berbaik hati dengan tidak membuat dresscode sebuah keharusan. E-poster terbaru yang tiba-tiba menampilkan Atalia Praratya membuat beberapa teman saya yang kebetulan hadir pun menjadi bertanya-tanya, untuk peran apakah Ibu Atalia berada di pementasan tersebut? Jika memang Ibu Atalia akan berada di panggung, seharusnya diinformasikan sedari awal, bukan beberapa hari menjelang pementasan.

Esoknya dengan langkah riang saya sudah berada di depan meja registrasi tepat jam 12.30. Dalam e-poster terjadwal acara akan dimulai pukul 13.00-17.00. Di tengah-tengah antrian menuju meja registrasi mata saya tak berhenti berkedip, takjub melihat banyak sekali perempuan tampil memikat memakai kebaya lengkap dengan sinjang dan sanggul, yang perlu waktu lama untuk berdandan seperti itu. Ini adalah kali pertama saya menonton pertunjukan seperti hendak menghadiri resepsi pernikahan.

Saya diberikan flyer undangan oleh panitia, yang membuat hati saya kembali patah pada pementasan ini ketika melihat tulisan dalam undangan yaitu tema busana yang dikenakan hendaknya busana Menak/Bangsawan Tradisional Jawa Barat. Ternyata yang dimaksud dengan pakaian adat Jawa Barat di dalam email yang saya terima yaitu pakaian Menak/Bangsawan. Menurut saya ini adalah sebuah kontradiktif, untuk apa menampilkan monolog tiga perempuan sunda yang mempunyai pemikiran liar, yang melawan kekuasaan, yang mendobrak aturan, yang ingin menghilangkan batas-batas antara menak dan somah, kalau ternyata kita di hari ini masih menganggap dan meninggikan menak/bangsawan dengan bernostalgia melalui busananya?

Baik Lasmi, Dewi Sartika maupun Emma, saya yakin mereka ingin dikenang dengan langkah-langkah perempuan yang konkrit di hari ini, bukan mengingat mereka hanya sebatas pada pakaian. Saya sama sekali tak menangkap urgensi dibalik dihimbaunya penonton menggunakan pakaian menak kecuali membuat pementasan ini menjadi benar-benar segmented dan tertutup.

Saya sangat mengapresiasi tim produksi dan semua pihak yang terlibat dalam pementasan pertama menghadirkannya tiga perempuan sunda. Gagasan untuk menampilkan Monolog itu adalah gagasan yang tepat di saat masih banyak suara perempuan yang dibungkam. Jika maksud dari pementasan ini adalah menyaringkan kembali suara perempuan agar didengar oleh banyak orang, nyaringkan dengan lebih kencang lagi suara-suara Wanodja Sunda itu, perdengarkanlah suara Lasminingrat, Dewi Sartika dan Emma Poeradiredja pada perempuan-perempuan yang kerja di pasar, buruh-buruh pabrik, anak-anak sekolah, mahasiswa, difable, dan semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

No comments:

Post a Comment