Suatu hari saya mendapat pesan
whatsapp dari kang Deni, pemilik Toko buku Lawang Buku. Beliau memberikan e-poster tentang pementasan Monolog
Wanodja Soenda yang akan diselenggarakan tanggal 29 Januari 2019 di Hotel Savoy
Homan. Raden Ayu Lasminingrat, Raden Dewi Sartika, dan Raden Emma Poeradireja
adalah tiga perempuan yang menjadi tokoh dalam monolog tersebut. Bukan main
gembiranya hati saya, mengingat kisah tentang mereka memang layak untuk terus
diperkenalkan, dan digaungkan suaranya kepada publik. Kiprah ketiganya tak
main-main dalam pendidikan dan organisasi perempuan.
Tentu saja yang membuat semangat
saya semakin menyala pada pementasan ini adalah dinyaringkannya suara
Lasminingrat Raden Ayu Lasminingrat, tokoh perempuan yang semua karyanya saya
baca dan ulas dua tahun belakangan ini. Saya sangat penasaran seperti apa
sosok Lasmi akan dihadirkan.
Tak menunggu lama, saya langsung
mengontak panitia untuk memesan tiket, harga tiket masuk atau pihak panitia
menamakannya sebagai donasi sebesar Rp. 250.000,-. Dalam pemikiran saya, dengan
donasi tersebut, orang-orang yang butuh pengetahuan tetapi kekurangan finansial
tidak akan dapat menontonnya. Akses untuk mendapat pengetahuan dan informasi
seharusnya dibuka lebar, mengingat ketiga tokoh perempuan tersebut milik
masyarakat luas.
Tempat pementasan yang berada di
tengah kota membuat saya sedikit bernafas lega, karena mudah diakses dari arah
Bandung Selatan. Dalam bayangan saya, tempat pertunjukan harus memenuhi
kriteria sebagai tempat pertunjukan seperti tempat duduk yang berundak (level)
tidak datar, maupun sound system yang
terawat dan biasa dipakai khusus pertunjukan.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam
benak sejak menerima kiriman e-poster pertama kali itu saya abaikan. Saya
melihat pemain dan tim produksi yang terlibat. Cukup meyakinkan bahwa ini akan
menjadi sebuah pagelaran yang apik. Mainteater sebelumnya pernah memproduksi
monolog Tanmalaka tahun 2016.
Satu hari menjelang hari pementasan,
saya mendapat email dari panitia yang mengabarkan bahwa untuk menonton
pertunjukan ada dresscode yang harus
dikenakan yaitu pakaian tradisional Jawa Barat. Kebaya untuk perempuan dan
beskap untuk laki-laki. Dalam email
tersebut, panitia juga melampirkan bentuk e-poster yang baru dengan gambar para
pemeran monolog Maudy Koesnaedy, Sita Nursanti, Rieke Dyah Pitaloka, selain itu
ada juga gambar Heni Smith pemilik Lodge Foundation dan Atalia Praratya.
Himbauan untuk memakai dresscode bagi saya cukup mengganggu,
bukankah ini adalah sebuah pertunjukan yang bebas, mengapa harus dibatasi?
Bagaimana jika saya tak mempunyai kebaya? rupanya panitia masih berbaik hati
dengan tidak membuat dresscode sebuah
keharusan. E-poster terbaru yang
tiba-tiba menampilkan Atalia Praratya membuat beberapa teman saya yang
kebetulan hadir pun menjadi bertanya-tanya, untuk peran apakah Ibu Atalia
berada di pementasan tersebut? Jika memang Ibu Atalia akan berada di panggung,
seharusnya diinformasikan sedari awal, bukan beberapa hari menjelang pementasan.
Esoknya dengan langkah riang saya
sudah berada di depan meja registrasi tepat jam 12.30. Dalam e-poster terjadwal acara akan dimulai
pukul 13.00-17.00. Di tengah-tengah antrian menuju meja registrasi mata saya
tak berhenti berkedip, takjub melihat banyak sekali perempuan tampil memikat memakai
kebaya lengkap dengan sinjang dan sanggul, yang perlu waktu lama untuk berdandan
seperti itu. Ini adalah kali pertama saya menonton pertunjukan seperti hendak menghadiri resepsi pernikahan.
Saya diberikan flyer undangan oleh panitia, yang membuat hati saya kembali patah
pada pementasan ini ketika melihat tulisan dalam undangan yaitu tema busana yang
dikenakan hendaknya busana Menak/Bangsawan Tradisional Jawa Barat. Ternyata
yang dimaksud dengan pakaian adat Jawa Barat di dalam email yang saya terima yaitu pakaian Menak/Bangsawan. Menurut saya
ini adalah sebuah kontradiktif, untuk apa menampilkan monolog tiga perempuan
sunda yang mempunyai pemikiran liar, yang melawan kekuasaan, yang mendobrak aturan,
yang ingin menghilangkan batas-batas antara menak dan somah, kalau ternyata
kita di hari ini masih menganggap dan meninggikan menak/bangsawan dengan
bernostalgia melalui busananya?
Baik Lasmi, Dewi Sartika maupun
Emma, saya yakin mereka ingin dikenang dengan langkah-langkah perempuan yang konkrit
di hari ini, bukan mengingat mereka hanya sebatas pada pakaian. Saya sama
sekali tak menangkap urgensi dibalik
dihimbaunya penonton menggunakan pakaian menak kecuali membuat pementasan ini
menjadi benar-benar segmented dan
tertutup.
Saya sangat mengapresiasi tim
produksi dan semua pihak yang terlibat dalam pementasan pertama menghadirkannya
tiga perempuan sunda. Gagasan untuk menampilkan Monolog itu adalah gagasan yang
tepat di saat masih banyak suara perempuan yang dibungkam. Jika maksud dari
pementasan ini adalah menyaringkan kembali suara perempuan agar didengar oleh
banyak orang, nyaringkan dengan lebih kencang lagi suara-suara Wanodja Sunda
itu, perdengarkanlah suara Lasminingrat, Dewi Sartika dan Emma Poeradiredja pada
perempuan-perempuan yang kerja di pasar, buruh-buruh pabrik, anak-anak sekolah,
mahasiswa, difable, dan semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
No comments:
Post a Comment