Wednesday, December 31, 2014

Perempuan yang Memeluk Pagi



                                gambar dipinjam dari sini


Perempuan itu meringkuk memeluk guling. Rambutnya kusut, wajahnya terlihat lelah. Jika pagi tiba dia biasanya segera berlari menyambut Sang Surya dengan pelukannya. Senyum manisnya membawa Sang Surya naik dengan perlahan dan penuh rasa percaya diri bahwa dirinya dibutuhkan bumi.

Sang surya tak pernah luput mencium kening perempuan itu. Sudah 5 tahun lamanya dia berselingkuh dengan Sang surya, suaminya tak pernah tahu bahwa seringkali istrinya melakukan percintaan hingga orgasme dengan Sang surya.

Ayu nama perempuan itu. Dia mengaku jatuh cinta pada warna jingga yang pekat milik Sang Surya, Mentari. Ari begitu panggilan Ayu kepada Sang Surya, Ari penyelamat hidupnya. Ari begitu mencintai Ayu, di naunginya rumah ayu dari sinar terang paginya, dicumbuinya Ayu begitu suaminya berangkat kerja. Ari akan mengendap-ngendap masuk melalui celah-celah pintu, sinarnya akan segera memenuhi kamar yang berlantai kayu itu. Ayu sudah dengan posisi siap dicumbu, baginya tak ada hal yang lebih membahagiakan selain berada dalam dekapan Ari.

Ari tak pernah datang terlambat, dia selalu tepat waktu. Seperti yang dilakukannya pada bumi, Ari tak pernah ingkar janji untuk memberi cahaya.

Suatu kali Ari pernah dengan gegabah mengajak Ayu menuju langit, didudukannya Ayu pada lengkung-lengkung garis berwarna cantik, selendang-selendang yang terbentang beragam warna menari dengan puasnya, sampai letih dan berpeluh. Ayu lalu bermain dengan puas, gigi dan gusinya terlihat, setiap detik Ayu seolah pamer senyum. Para pemilik selendang pun bergembira, mereka tahu bahwa Sang Surya sangat mencintai kekasihnya. 

Friday, December 19, 2014

Surat yang Terlipat



Perpustakaan, selasa 31 juli 2012, sebelas lewat empat puluh sembilan


Apa kabar?
Lihat baru satu kalimat saja kutulis aku sudah tercekat, pertanda kamu memang bukan orang biasa untukku, apapun tentangmu aku berharap baik-baik saja, terdengar klise ya, tapi itu adalah ungkapan jujur yang paling sederhana.

Aku hanya ingin bercerita tentang beberapa hal yang pastinya tidak kamu ketahui belakangan ini.
kamu kemarin datang mengendap ke rumah kayuku ketika matahari telah tinggi, aku asyik bermain di taman belakang, sehingga tak kusadari bahwa kamu telah lama berdiri disana, dulu ini adalah rumahku, rumahmu juga, rumah kita, tapi entah belakangan hanya aku saja penghuninya, sejak aku tahu bahwa penghuninya hanya aku, aku tutup pintu depan  rapat-rapat aku lebih asyik bermain sendiri, diam yang berdimensi, menunggu waktu hingga bosan. Lalu kamu datang lagi, setelah bepergian begitu jauh, membawa banyak oleh-oleh, seperti dulu, rutinitas yang sering kamu lakukan. Tapi kali ini kepergianmu lain dari biasanya, aku ingat...ketika terakhir kali kamu meninggalkan rumah, aku menghadiahi pelukan untukmu, kecupan pada dahimu, aku melihat diriku pada riak matamu, matamu basah...akupun ia, saat itu kamu “sakit”, akupun “sakit”.

Bertahun-tahun denganmu membuatku terbiasa dengan rasa sakit, tapi sakit itu semakin menumbuhkan rasa cintaku padamu.

Nyai Ontosoroh


      gambar dipinjam dari sini


Suara jangkrik mulai memecah malam, dedaunan gemerisik ditiup angin kemarau. Ada udara yang menerobos masuk dari celah-celah pintu dan jendela menjadikan suhu kamar ini dingin.

Nyai Ontosoroh mulai menggigil. Setiap malam diawalinya dengan tangisan kecil. Malam baginya adalah penyerahan tubuh pada sang empunya uang, yakni suaminya. Melacurkan diri, begitulah Ontosoroh menamainya. Malam baginya seperti serigala yang sedang mengendap-ngendap kelaparan. Sejak dia menjadi Nyai, kehidupan hanya sebuah siklus tanpa makna. Tembang-tembang Centhini yang pernah ia baca tentang senggama yang indah seolah menjadi uraian kata tanpa isi.

Gelap dan pekat malam membuat Ontosoroh mahir memainkan peran. Berbagai topeng dicobanya. Dia mulai belajar mengenakan topeng ketika menginjak remaja. Di lihatnya orang-orang sekelilingnya juga begitu. Sepupunya, Rukmini senang sekali memakai konde dan gincu yang tebal, Rukmini berjualan di pasar. Pinggulnya megal-megol setiap kali berjalan apalagi ditambah dengan siulan laki-laki. Jika sore tiba, Rukmini mengurut-ngurut mengolesi betisnya dengan minyak kelapa. Gaya berjalan yang dibuat-buatnya agar menarik hati laki-laki membuat Rukmini pegal-pegal seharian. Harinah, budenya selalu lembut pada tetangga, gelar bu lurah yang disandangnya membuat ia harus selalu menjadi dewa penyelamat untuk warganya. Tak jarang, sepanjang malam Inah menggerutu kepada suaminya Sarkim. “beras habis, uang juga habis, semuanya kuberikan untuk wargamu”. Kalau kau tak ikhlas kenapa kau berikan itu pada mereka, ujar Sarkim. Oalah...mas, kau tak paham rupanya, aku berbuat begitu agar posisimu sebagai lurah aman, tak diambil orang. Empat belas tahun usia Ontosoroh kala itu, dia manggut-manggut dari balik pintu. Mencoba belajar tentang kepalsuan.