Sunday, October 26, 2014

Seratpena



Tak ada yang bisa menyangkal bahwa rumah adalah tempat kita menaruh harapan. Rumah bukanlah tempat para pencaci berkumpul, tapi sebaliknya tempat kata-kata hangat bermula. Tembok, kasur, lemari, pintu, cermin semua menjadi saksi bagaimana ornamen rumah dibuat. Mereka lah para pemilik kuping sesungguhnya. 

Pintu. Dia lah mata yang selalu melihat kaki siapa saja yang melangkah pergi dan datang mendekat. Decitnya menyuarakan pertanda apakah pemilik kaki melangkah untuk pergi selamanya atau hanya sebentar dan kembali singgah. 

Tak ada perpisahan yang tak diiringi tangisan. Serat-serat pintu telah penuh dengan air mata. Pelukan dan lambaian tangan menjadi pemandangan yang memuakkan. Punggung yang menjauh hanya menyuguhkan kegelisahan yang tak berkesudahan.

Seratpena. Nama rumah ini. Kamu memberikannya ketika aku hampir selesai memoles taman rumah ini. Dengan langkah tergesa kamu menghampiriku, memberikan pelukan setelah sekian lama kamu melangkah pergi.

Aku tak pernah mengerti mengapa kamu bersikukuh menamainya Seratpena. Kelak aku tahu kemudian, Seratpena telah tumbuh menjadi rumah bagi mereka para “pencari”. 

Tuesday, October 7, 2014

Rumah para "Pencari"


Apa yang kamu ingat dari sebuah pertemuan?

Sore dengan dihantarkan jingga yang pekat, aku mampir di kedai kopi milik temanmu. Asap rokok mengepul, rambut yang tak tersisir rapi, aroma badan kecut menyambut sapaku.
Teh poci dengan gula batu yang dihantarkan pelayan membuat keadaan yang kaku menjadi cair.
Aku menelusuri wajah yang kutemui dua tahun lalu. Semua masih sama hanya saja getar di dada menunjukkan reaksinya.

Orgasme! Terlalu dini aku menyebutnya begitu, karena ini baru pertemuan pertama setelah dua tahun lalu itu.
Di lain kesempatan kita bertemu ketika langit memayungi awan hitam, ditemani sedikit penerang di ujung barat, beberapa pengamen mulai unjuk gigi di depan kita. Malam menjadi tak biasa, deretan penjual wedang ronde memenuhi pandangan mata.

------

Mimpi. Kamu percaya mimpi? Aku percaya. Rahwana ketika bertapa di Gunung Gohkarna pernah bermimpi memperistri Dewi Sukasalya, dan akhirnya Sinta yang merupakan titisan dewi Sukasalya berhasil mendiami Alengka.
Mungkin kamu tahu benar kelanjutan cerita Ramayana tersebut, karena kamulah Sinta itu.
Katakan padaku yang sebenarnya, bahwa kamu akhirnya mencintai Rahwana kan? Bukan Rama. Ayo katakan saja tak usah malu-malu.