Tak ada yang bisa menyangkal bahwa rumah adalah
tempat kita menaruh harapan. Rumah bukanlah tempat para pencaci berkumpul, tapi
sebaliknya tempat kata-kata hangat bermula. Tembok, kasur, lemari, pintu,
cermin semua menjadi saksi bagaimana ornamen rumah dibuat. Mereka lah para
pemilik kuping sesungguhnya.
Pintu. Dia lah mata yang selalu melihat kaki siapa
saja yang melangkah pergi dan datang mendekat. Decitnya menyuarakan pertanda
apakah pemilik kaki melangkah untuk pergi selamanya atau hanya sebentar dan
kembali singgah.
Tak ada perpisahan yang tak diiringi tangisan.
Serat-serat pintu telah penuh dengan air mata. Pelukan dan lambaian tangan
menjadi pemandangan yang memuakkan. Punggung yang menjauh hanya menyuguhkan
kegelisahan yang tak berkesudahan.
Seratpena. Nama rumah ini. Kamu memberikannya ketika
aku hampir selesai memoles taman rumah ini. Dengan langkah tergesa kamu
menghampiriku, memberikan pelukan setelah sekian lama kamu melangkah pergi.
Aku tak pernah mengerti mengapa kamu bersikukuh
menamainya Seratpena. Kelak aku tahu kemudian, Seratpena telah tumbuh menjadi
rumah bagi mereka para “pencari”.