Kali ini saya mengawali pagi dihantarkan semangat, kaki saya
menapak dengan ringan menelusuri pagi yang belum tiba, masih terbalut pekat
saya bergegas menuju peron stasiun. Argo Parahyangan menguap, kantuknya belum
reda tetapi tugas telah memaksa matanya membuka. Tiba giliran berangkat pada
jam keberangkatan pertama.
Perjalanan tiga jam saya lewati dengan praduga.
Menebak-nebak apa yang akan saya lakukan di sana. Ya.. saya menuju Ancol
mengikuti acara Festival Indonesia Mengajar.
Indonesia Mengajar adalah gerakan yang di gagas Anies
Baswedan untuk mengirimkan para pengajar muda ke daerah-daerah terpencil di
nusantara.
Sebagaimana halnya perhentian, Gambir selalu menyuguhkan
harapan. Langkah-langkah kaki tergesa menjejak menjemput pagi dengan optimis.
Pk. 08.00 kereta berhenti tepat waktu. Saya bergegas menuju parkiran, menunggu Wira
temanku untuk segera melanjutkan perjalanan ke Ancol.
Saya tak salah mengikuti acara ini, di mulai dengan upacara
bendera, lagu Indonesia raya menggema dengan khidmat membuat hati ini ‘merembes
mili’ suguhan video para pelajar di nusantara yang tergambar dalam beragam
ekspresi, kulit-kulit legam dan badan yang ceking seolah pengukuhan atas
eksistensi mereka sebagai pelajar di luar daerah Jawa. Guru-guru yang ceria dan
dengan sorot mata yang tulus tergambar jelas, pengabdian yang mereka lakukan
sungguh luar biasa tak cuma sekedar mengejar sertifikasi. Lalu secara virtual
mereka menyanyikan lagu Tanah airku,..
semua peserta Festival Indonesia mengajar spontan mengikuti,
kali ini aku tak kuasa menahan haru. Dada ini sesak oleh beragam rasa, video
yang diputar menampilkan perjalanan yang mereka tempuh untuk sekolah, semak
belukar, jembatan gantung, lumpur-lumpur yang licin, belajar tanpa listrik dan bangunan
sekolah yang hampir roboh. Kami semua larut dalam keharuan yang datang secara
tiba-tiba. Suara anak-anak pelajar itu
mampu menggetarkan seluruh hati peserta Festival Indonesia Mengajar.
Gemuruh tepuk tangan dan gerakan menyusut air mata menjadi
penutup upacara bendera kali ini.
Saya dan Wira pun segera menuju bilik-bilik kreatifitas,Wira
mengajak ke bilik teater dongeng. Kami akan mendongeng cerita rakyat Timun Emas
dengan memakai segala perlengkapan, aktifitas kami ini akan direkam oleh
panitia dan rekamannya akan disebarkan ke berbagai penjuru nusantara
sekolah-sekolah Indonesia Mengajar. Karena ruangan yang sempit akhirnya hanya Wira
yang mendongeng dan saya lebih tertarik untuk merekamnya.
Lalu saya menuju bilik surat motivasi, saya memotivasi
anak-anak untuk tetap rajin sekolah dan membuat mereka percaya diri, ini bagian
yang paling menguras emosi saya. saya tahu semua anak layak mendapatkan
fasilitas yang baik. Ini isi surat saya
waktu itu :
Halo adik-adikku
tersayang di SDN 25 Bintan Air Bengkalis, semoga kalian selalu sehat dan tetap
semangat belajar.
Namaku Rena, aku
tinggal di Bandung. Kalian sudah pernah ke Bandung? Kurang lebih 100km letaknya
dari ibukota Jakarta. Di Bandung macet sekali, jalan-jalan lebar, banyak
pedagang. Aku kadang gak suka Bandung karena Bandung semrawut. Aku kangen udara
desa, sawah, gunung dan sungai. Kalau suatu hari aku ke tempat kalian maukah
kalian mengajakku bermain di sungai dan memandikan kerbau?
Adik-adikku sayang,
Bandung kalau malam terang benderang oleh lampu, kalau dari kejauhan kita
seperti melihat kerlap-kerlip kunang-kunang, bagaimana di tempat kalian? Kalau
tempat kalian masih gelap, ayo berlombalah menciptakan bola lampu seperti
Thomas Alpha Edison, aku yakin kalian hebat. Rajinlah belajar, Indonesia
membutuhkan kalian.
Itu surat pendek yang saya tulis untuk mereka.
Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan penyadaran mengetuk
hati para akademisi agar tidak melulu mengejar jabatan fungsional, sertifikasi,
kuliah yang tak pernah puas, sederet gelar, jurnal ilmiah yang ratusan,
penelitian yang tak mengenal waktu, dan pengabdian kepada masyarakat yang hanya
diabadikan dalam selembar sertifikat. IM mengajak agar akademisi turun tangan
mengajar yang lebih real, berbagi pemikiran kepada guru-guru di daerah,
memberikan harapan dan cita-cita yang lebih luas kepada mata-mata kecil yang jauh
dari sentuhan pemerintah. Apa gunanya deretan gelar dan ratusan sertifikat jika
mengajar hanya di kelas dan duduk di bangku dosen dengan memainkan gadget.
Ketika puluhan ribu akademisi di kota sibuk mengejar jabatan
fungsional dan sertifikasi untuk mengejar kemapanan finansial, maka ribuan guru
di daerah sibuk berjuang untuk meniti jembatan rusak setiap hari, nyawa menjadi
taruhannya.
Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan ajakan untuk
adik-adik mahasiswa untuk lebih memaksimalkan hati tidak melulu mengaktifkan
pikirannya. Ajakan mengetuk nurani untuk adik-adik agar tidak melulu sibuk
dengan urusan percintaan yang membosankan dan teknologi yang pelan-pelan
menjajah kita dengan segala kecanggihannya. Ajakan untuk turun tangan
memberikan genggaman, menyalurkan energi untuk generasi penerus bangsa. Pada
mereka nasib bangsa dipertaruhkan, pada kaki-kaki kecil yang tiap hari berjalan
di lumpur itu bendera Indonesia meminta dikibarkan di angkasa raya.
Pada suatu masa
Tatapan mata mereka akan tertuju ke kita
Meminta hak
Atas pengajaran dan fasilitas yang layak
Lalu apakah kita bisa membayar dengan lembaran sertifikat dan gelar
kita?
Yang mereka butuhkan bukan hanya sekedar orang-orang pintar
Tapi mereka butuh pengajar-pengajar yang mempunyai mata yang enak di
pandang*
Mata yang dipunyai oleh orang-orang yang mau berbagi ketulusan dan
kasih sayang.
-----------------------------------------------------------------------
*mata yang enak di pandang : kata-kata terinpirasi dari
judul kumcer Ahmad Tohari “Mata yang Enak dipandang”
ket : gambar dokumentasi pribadi
ket : gambar dokumentasi pribadi
Bu Rena bagus banget tulisan ceritanya.... surat dari ibu itu mereka harus membacanya... ga hanya itu mereka juga harus ngerasain jadi anak didik ibu.... semoga ya Bu.. hee n_n
ReplyDelete