Thursday, January 2, 2014

Festival Indonesia Mengajar (tentang pengabdian yang seharusnya)



Kali ini saya mengawali pagi dihantarkan semangat, kaki saya menapak dengan ringan menelusuri pagi yang belum tiba, masih terbalut pekat saya bergegas menuju peron stasiun. Argo Parahyangan menguap, kantuknya belum reda tetapi tugas telah memaksa matanya membuka. Tiba giliran berangkat pada jam keberangkatan pertama. 

Perjalanan tiga jam saya lewati dengan praduga. Menebak-nebak apa yang akan saya lakukan di sana. Ya.. saya menuju Ancol mengikuti acara Festival Indonesia Mengajar.

Indonesia Mengajar adalah gerakan yang di gagas Anies Baswedan untuk mengirimkan para pengajar muda ke daerah-daerah terpencil di nusantara.

Sebagaimana halnya perhentian, Gambir selalu menyuguhkan harapan. Langkah-langkah kaki tergesa menjejak menjemput pagi dengan optimis. Pk. 08.00 kereta berhenti tepat waktu. Saya bergegas menuju parkiran, menunggu Wira temanku untuk segera melanjutkan perjalanan ke Ancol.



Saya tak salah mengikuti acara ini, di mulai dengan upacara bendera, lagu Indonesia raya menggema dengan khidmat membuat hati ini ‘merembes mili’ suguhan video para pelajar di nusantara yang tergambar dalam beragam ekspresi, kulit-kulit legam dan badan yang ceking seolah pengukuhan atas eksistensi mereka sebagai pelajar di luar daerah Jawa. Guru-guru yang ceria dan dengan sorot mata yang tulus tergambar jelas, pengabdian yang mereka lakukan sungguh luar biasa tak cuma sekedar mengejar sertifikasi. Lalu secara virtual mereka menyanyikan lagu Tanah airku,..

semua peserta Festival Indonesia mengajar spontan mengikuti, kali ini aku tak kuasa menahan haru. Dada ini sesak oleh beragam rasa, video yang diputar menampilkan perjalanan yang mereka tempuh untuk sekolah, semak belukar, jembatan gantung, lumpur-lumpur yang licin, belajar tanpa listrik dan bangunan sekolah yang hampir roboh. Kami semua larut dalam keharuan yang datang secara tiba-tiba. Suara  anak-anak pelajar itu mampu menggetarkan seluruh hati peserta Festival Indonesia Mengajar. 

Gemuruh tepuk tangan dan gerakan menyusut air mata menjadi penutup upacara bendera kali ini.
Saya dan Wira pun segera menuju bilik-bilik kreatifitas,Wira mengajak ke bilik teater dongeng. Kami akan mendongeng cerita rakyat Timun Emas dengan memakai segala perlengkapan, aktifitas kami ini akan direkam oleh panitia dan rekamannya akan disebarkan ke berbagai penjuru nusantara sekolah-sekolah Indonesia Mengajar. Karena ruangan yang sempit akhirnya hanya Wira yang mendongeng dan saya lebih tertarik untuk merekamnya.

Lalu saya menuju bilik surat motivasi, saya memotivasi anak-anak untuk tetap rajin sekolah dan membuat mereka percaya diri, ini bagian yang paling menguras emosi saya. saya tahu semua anak layak mendapatkan fasilitas yang baik.  Ini isi surat saya waktu itu :


Halo adik-adikku tersayang di SDN 25 Bintan Air Bengkalis, semoga kalian selalu sehat dan tetap semangat belajar.

Namaku Rena, aku tinggal di Bandung. Kalian sudah pernah ke Bandung? Kurang lebih 100km letaknya dari ibukota Jakarta. Di Bandung macet sekali, jalan-jalan lebar, banyak pedagang. Aku kadang gak suka Bandung karena Bandung semrawut. Aku kangen udara desa, sawah, gunung dan sungai. Kalau suatu hari aku ke tempat kalian maukah kalian mengajakku bermain di sungai dan memandikan kerbau?

Adik-adikku sayang, Bandung kalau malam terang benderang oleh lampu, kalau dari kejauhan kita seperti melihat kerlap-kerlip kunang-kunang, bagaimana di tempat kalian? Kalau tempat kalian masih gelap, ayo berlombalah menciptakan bola lampu seperti Thomas Alpha Edison, aku yakin kalian hebat. Rajinlah belajar, Indonesia membutuhkan kalian.

Itu surat pendek yang saya tulis untuk mereka.

Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan penyadaran mengetuk hati para akademisi agar tidak melulu mengejar jabatan fungsional, sertifikasi, kuliah yang tak pernah puas, sederet gelar, jurnal ilmiah yang ratusan, penelitian yang tak mengenal waktu, dan pengabdian kepada masyarakat yang hanya diabadikan dalam selembar sertifikat. IM mengajak agar akademisi turun tangan mengajar yang lebih real, berbagi pemikiran kepada guru-guru di daerah, memberikan harapan dan cita-cita yang lebih luas kepada mata-mata kecil yang jauh dari sentuhan pemerintah. Apa gunanya deretan gelar dan ratusan sertifikat jika mengajar hanya di kelas dan duduk di bangku dosen dengan memainkan gadget.

Ketika puluhan ribu akademisi di kota sibuk mengejar jabatan fungsional dan sertifikasi untuk mengejar kemapanan finansial, maka ribuan guru di daerah sibuk berjuang untuk meniti jembatan rusak setiap hari, nyawa menjadi taruhannya.

Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan ajakan untuk adik-adik mahasiswa untuk lebih memaksimalkan hati tidak melulu mengaktifkan pikirannya. Ajakan mengetuk nurani untuk adik-adik agar tidak melulu sibuk dengan urusan percintaan yang membosankan dan teknologi yang pelan-pelan menjajah kita dengan segala kecanggihannya. Ajakan untuk turun tangan memberikan genggaman, menyalurkan energi untuk generasi penerus bangsa. Pada mereka nasib bangsa dipertaruhkan, pada kaki-kaki kecil yang tiap hari berjalan di lumpur itu bendera Indonesia meminta dikibarkan di angkasa raya.

Pada suatu masa
Tatapan mata mereka akan tertuju ke kita
Meminta hak
Atas pengajaran dan fasilitas yang layak
Lalu apakah kita bisa membayar dengan lembaran sertifikat dan gelar kita?

Yang mereka butuhkan bukan hanya sekedar orang-orang pintar
Tapi mereka butuh pengajar-pengajar yang mempunyai mata yang enak di pandang*
Mata yang dipunyai oleh orang-orang yang mau berbagi ketulusan dan kasih sayang.

  -----------------------------------------------------------------------
*mata yang enak di pandang : kata-kata terinpirasi dari judul kumcer Ahmad Tohari “Mata yang Enak dipandang”

ket : gambar dokumentasi pribadi

1 comment:

  1. Bu Rena bagus banget tulisan ceritanya.... surat dari ibu itu mereka harus membacanya... ga hanya itu mereka juga harus ngerasain jadi anak didik ibu.... semoga ya Bu.. hee n_n

    ReplyDelete