Friday, November 2, 2012

Di Sudut Kota


Hampir dini hari tapi kita masih belum terpejam, sengaja menghirup angin malam sambil memperhatikan beragam aktivitas di pusat kota ini, penjual wedang ronde, es potong, mainan anak, semua memenuhi pandangan mata, ada rasa aneh yang tiba-tiba mampir ketika kita duduk berdekatan, membicarakan aktivitas seharian, membicarakan orang-orang terdekat, berdiskusi tentang ini dan itu, rasanya aku tak perlu melakukannya sambil menatapmu, cukup mendengarkan suaramu saja, itu sudah membuatku tersihir.

Jarang sekali aku bisa serius, biasanya aku menanggapi semua hal dengan bercanda ataupun berucap manja, malam ini aku memintamu untuk menemaniku tanpa mengucap dengan rengekan manja tapi lebih seperti permintaan orang dewasa.

Aku tahu, kamu kaget bercampur senang dengan sikapku, aku memintamu untuk membawaku berlari dan memutar kencang, ke seluruh penjuru mata angin, kamu mengangguk.. mengiakan.

Kamu memulai percakapan dengan tutur kata yang kaku, apa yang membuatmu datang kesini?”aku kangen” jawabku.

Malam menuju tiada dan tukang parkir mengetok kaca jendela mobil, mengingatkan bahwa hari hampir habis, ketokannya adalah pertanda untuk kamu segera tancap gas. Karena malam mulai lemah dan dia perlu beristirahat.

Kadang beberapa keputusanku ajaib, kamu membelalak ketika aku mengundurkan waktu pulangku sehari, kita berkemas, segera meninggalkan kota eksotis ini.

Ini Bandung, ini Jakarta, ini Yogyakarta, ini Malang, ini Bali dan ini Indonesia, aku sengaja mengeja kota-kota itu dengan penuh tekanan, aku ingin membangun cerita pada setiap kota itu, denganmu...

Pada suatu kesempatan kita bergugat kata, menerbangkan kata-kata yang bertebaran seperti sampah kering dengan sekali hendusan nafas, sesekali aku mendengarkan, sesekali aku berbicara. Kita mencapai klimaks ketika membicarakan tentangnya... dia yang baru saja kamu kenal, dia yang kenes, dia yang nyinyir, dia ratu dalam rumah, katanya adalah titahnya. Hatiku mengernyit, sakit. Kamu memeluk, merubah susunan kata kritikan menjadi nasihat yang bijak, sehingga yang keluar dari mulutmu laksana wangi mawar bukan serupa dupa, sehingga mampu kukunyah dan kutelan. Sungguh aku sudah terlalu kebas dengan wangi dupa, serupa sesajen, yang membuatku mual, tak mampu kukunyah apalagi kucerna.

 Hari ini tak ada hujan, tak ada petrichor, tapi kamu ada.



ket : gambar dipinjam dari sini

No comments:

Post a Comment