Lama kita tak bertemu, berganti musim, berpindah tempat...
Pertemuan kita selalu singkat, karena kamu selalu datang
ketika matahari tepat di atas kepalamu, tidak sekalipun kamu datang kala sinar
matahari sehasta bahuku, lalu kamu pulang, bila malam sudah terlalu pekat, aku
hapal ritme itu, tidakkah ingin kamu tinggal lebih lama? Menyaksikan fajar
berdua, mengulum malam dengan tubuh yang melekat?
Aku masih hapal senyummu, senyum ketika kuhardik karena
kudapati kamu merokok di depanku, batang-batang rokok yang selalu kusembunyikan
hingga akhirnya kamu menyerah mematikan ujung pilinan tembakau itu dengan
paksa, sudah kukatakan berulang kali, bagaimana bibir kita akan berpagut jika
kudapati bau nikotin menyengat dari mulutmu, atau ajari saja aku sekalian
menjadi perokok, biar kita sama-sama saling menghisap, saling membaui aroma
yang sama keluar dari mulut kita. Kamu dengan cepat menggeleng... aku menyerah,
aku mengalah, aku tidak merokok setidaknya didepanmu katamu.
Kubuang pemantik itu, benda kecil yang selalu kau bawa dalam
saku bajumu, berdesakan dengan rinduku yang kau simpan juga ditempat yang sama.
Di dekatmu aku tak perlu pemantik, karena kata-kata yang keluar dari mulutmu
laksana percikan kembang api, memercik, indah, namun jika percikannya terkena kulit
akan menyakitkan, katamu.
Aku tak peduli dengan rentetan kalimatmu, yang sedang
kupikirkan adalah bagaimana caranya kamu tinggal lebih lama, tidak terbatas
pada waktu 10 jam saja, tapi sepertinya kamu tidak peduli, 10 jam buatmu itu
cukup. Akh.. memang aku mengerti dunia kita berbeda, kaum penganut logika
terhebat dan kaum penganut rasa kelas atas. Harus selalu ada penengah, kaum hermaprodit..
tapi kupikir itu bukan solusi, malah penambah masalah.
Tiga cup ice cream dengan rasa mix blackcurrent, strawberry
dan cokelat tinggal satu suapan saja, kamu memilihnya menjadi penyuap terakhir,
kamu bilang... menjadi penutup itu istimewa, karena akan selalu dibutuhkan,
dikenang, dirindukan, membuatnya mencandu, seperti halnya aku yang memilihmu
menjadi penutup. Ujarmu... aku diam saja, kumainkan anak rambutku, ac di
ruangan ini terlalu dingin, kehangatan tubuhmu tak mampu menetralisir udaranya,
aku menggigil, kamu tertawa, akh... ya lagi kita berbeda. Kata-katamu membias,
dan aku memalingkan muka.
Sekarang musim angin... apa kabar kamu disana?
No comments:
Post a Comment