Tanggal 14 Februari telah digelar pesta demokrasi lima tahunan, pemilihan umum presiden, wakil presiden dan wakil rakyat. Peristiwa yang akan dicatat sejarah karena melahirkan presiden dan wakil presiden yang baru. Sejak lima bulan lalu, bahkan sebelum masa kampanye resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiba, situasi di masyarakat menjadi bersemangat, riuh menyuarakan tokoh jagoannya.
Sayangnya, hampir di setiap lahirnya peristiwa besar tak pernah luput dari konflik. Gesekan, tudingan, fitnah, penghakiman, makian menjadi bumbu kurang sedap yang harus ditelan setiap hari. Ruang publik penuh sesak dengan energi permusuhan, kebencian, kemarahan, ketidakterimaan, kekecewaan dan kesedihan. Tanpa disadari, hampir semua orang memilih terlibat, tenggelam dalam energi konflik ini.
Melihat keriuhan yang terjadi selama musim kampanye, saya akhirnya harus mengapresiasi diri sendiri karena pemilu kali ini, saya memilih tidak terlibat. Tidak terlibat bukan berarti tidak peduli hingga menutup mata dan telinga terhadap semua informasi, tetapi saya memilih mengamati saja semua yang terjadi. Ada banyak peristiwa dan pembelajaran dalam setahun belakangan ini yang membatasi saya untuk tidak turut campur pada apa yang sudah digariskan oleh semesta, meskipun saya tahu hasilnya tidak selalu ideal bagi saya.