Tak lama lagi, angka-angka akan berganti. Semakin bertambah
dan (seharusnya) menjadi. Tahun ini saya didera kehilangan kata-kata. Tak lagi
sering menceracau ataupun menulis. Saya dilanda keheningan. Hening yang
mengganggu. Mungkin saya terlampau bahagia hingga tak bisa menulis, konon
katanya menulis akibat kesedihan. Saya tak menampik, saya terlalu bahagia.
Saya mengingat, di purnama yang ke-empat ada perempuan yang
datang kembali. Dia seperti diciptakan untuk datang sesekali, entah untuk
mengganggu ataupun sedikit menghibur. Cinta yang dibawanya tak cukup
memendarkan peristiwa. Semua terjadi sekelebat, cepat dan hancur. Ada ragam
cerita yang dijalin kembali, saling berkelindan satu sama lain, hingga saya dan
dirinya dibuai dalam jejak-jejak yang lalu. Itu tak cukup ternyata. Yang kemarin
tak akan sama. Perempuan itu pun lamat-lamat (dipaksa) menghilang. Hidup
kembali sama. Keberadaannya tak lebih dari sekedar ingatan. Janji-janji yang
terlanjur diucapkan, luruh seketika. Tak ada yang perlu disesali, semua terjadi
begitu saja.
Selain dia. Ada juga laki-laki yang datang kembali. Kali ini
dia datang untuk menetap. saya sebenarnya tak ingin menerimanya kembali,
terlampau tak termaafkan. Tetapi sorot mata dan gestur tubuhnya tak kuasa
membuat saya menolak kehadirannya. Dia saya terima sepenuh hati, meskipun bara
belum juga hilang.
Lelaki itu kini menemani hari-hari. Pesan singkat darinya tak
sebenar-benarnya saya tunggu. Dia datang semaunya. Tak penah peduli dengan
rinduku dan kecemasanku. Dia hanya peduli dirinya ada. Laki-laki ini hadir di
masa lalu, dan kini mengusik masa depan saya. Saya ikuti saja. Toh, saya tak
bisa melakukan apa-apa, kecuali menerima.