Monday, May 29, 2017

Perempuan yang Berharap : Sisi Lain Film Ziarah




BW Purba Negara, saya pertama kali mengenal karyanya melalui film Cheng-Cheng Po yang diproduksi tahun 2007. Cheng-Cheng Po adalah film anak yang berkisah tentang keberagaman, kasih sayang dan tolong menolong. Cheng-Cheng Po memenangkan Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 dan Audience Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007.

Melalui film barunya Ziarah, BW Purba Negara seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ada banyak hal sederhana yang dapat memperkaya kehidupan. Mbah Sri, Perempuan sepuh yang menjadi pemain utama dalam film Ziarah ini menjadi pengingat kesadaran tentang cinta, kesetiaan, pengorbanan dan tentu saja kematian.

Mbah Sri, diceritakan sebagai istri seorang veteran yang sepanjang hidupnya mencari kuburan suaminya. Mbah Sri terus mencari, dari desa ke desa, berjalan kaki, menggunakan bus berpindah angkot ataupun mobil angkutan barang demi mencari di mana jasad suaminya disatukan dengan tanah.

Suami Mbah Sri, Pawiro Sahid pergi berjuang ketika jaman perang agresi militer Belanda II, tetapi dia tidak kunjung kembali. Sejak saat itu Mbah Sri memulai pencariannya. Bertanya ke teman-teman seperjuangan suaminya, ke orang-orang yang tidak dikenalnya, hanya berlandaskan ingatan puluhan tahun silam. Seringkali informasi yang diterimanya tidak benar. Tapi Mbah Sri keras kepala, baginya mati dan dimakamkan di sebelah pusara suaminya adalah cita-cita yang tak bisa diganti.

Ziarah, merupakan film semi dokumenter yang bercerita tentang beberapa peristiwa sejarah. Ragam peristiwa ketika pemerintahan Orba seperti pembuatan waduk besar-besaran yang menenggelamkan banyak desa diceritakan di film ini. Orba adalah periode di mana suara dibungkam dan hak individu tak lagi bisa diperoleh.

Ziarah selain menyuguhkan pemandangan dan sejarah yang Indonesia sekali, juga mengetengahkan sosok perempuan. Perempuan yang berharap dari hari ke hari demi bertemu suaminya, kekasihnya. Bertahun-tahun dilaluinya dengan penantian dan kesetiaan. Perempuan yang berpikir bahwa suaminya juga mencintai dirinya dan akan mencarinya. Tetapi kenyataan berbicara lain, suaminya ternyata menikah lagi. Dan yang berbaring di samping pusara suaminya adalah istri keduanya.

Siapapun pasti akan rapuh mendapati kenyataan orang yang dinantinya ternyata sudah tak lagi jadi miliknya, bertahun-tahun. Tetapi perempuan seperti diberikan rasa sabar yang berlipat-lipat dibanding makhluk lainnya. Perempuan dilahirkan untuk menjadi kuat. Hatinya seolah diperuntukkan untuk penerimaan, dan beragam pemakluman.

Melalui mbah Sri, sosok perempuan menjelma menjadi makhluk yang sangat tangguh. Sendiri dan menanti. Menyepi dan berharap. Mencari dan Berjuang. Hingga mendapati kenyataan dan masih bisa memaafkan. Perempuan seperti mbah Sri, tentu saja sangat banyak. Beruntung BW Purba Negara berhasil merekam salah satunya.

Film Ziarah selain memberikan pengalaman batin yang kaya, juga mampu mengungkap hal-hal sederhana yang bisa kita maknai. Salah satunya tentang cara ungkap cinta yang sederhana dan disaksikan oleh sandal jepit yang menemani langkah-langkah Mbah Sri.

Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk Film Ziarah. Bravo!


Bandung, 29 Mei 2017
Rena Asyari 

Sunday, May 28, 2017

Cinta dan Kehidupan

Cinta itu kesepakatan, bukan sepihak apalagi diam.
Cinta itu tindakan, bukan hanya ragam kata.
Cinta yang tak mau melakukan apapun, itu adalah cinta yang paling lemah. Dan cinta yang paling lemah adalah kesia-siaan jika memaksa dipertahankan.

Kita tak hidup pada jaman Sisifus yang melakukan kesalahan lantas dihukum.
Kamu bebas melakukan apapun, memilih, lalu mencampakkan ataupun sebaliknya, tak akan ada yang menghukum kecuali dirimu sendiri.

Cinta yang benar tak hanya butuh ketenangan, apalagi menggenang. Ia perlu bergemuruh, karena gemuruhlah yang melahirkan rindu juga anak-anak kasih lainnya.Gemuruhlah yang melahirkan kepedulian, juga ketidakterimaan. Pendeknya, gemuruhlah yang melahirkan kehidupan.

Menjalani hidup dengan gemuruh tentu tak tenang. Tapi memilih cinta yang diam artinya memilih kesengsaraan. Penderitaan yang sengaja dipelihara, lantas karena terbiasa penderitaan pun memjadi candu. Ini bukan sekali dua terjadi, peradaban dibangun atas dasar candu pada siksaan.

Diantara sedikitnya kesenangan yang ditawarkan adalah masih tersisanya sebuah pilihan. Berjalan dengan gemuruh, debur ombak dan menerjang badai untuk sampai di pulau berikutnya, atau hanya diam, menunggu kesempatan. Kesempatan yang kerap kali tak mau mampir karena terlampau sungkan dirinya tak pernah diminta untuk hadir.

Hidup itu pilihan. Pepatah ini basi!
Tak ada keterpaksaan, semuanya kesediaan. Begitu juga dengan ketidakbahagiaan, dan kesakitan. Mereka hadir sebagai jawaban atas pilihan yang sudah kita sepakati. Tak ada orang lain mengambil peran. Hanya diri.

Kamu adalah pilihan Kamu adalah kesempatan, tawaran. Dulu aku tak perlu berpikir dua kali untuk mengambil tawaran tersebut.
Cukup sekali saja. Aku suka angka satu. Juga enggan untuk jadi yang kedua.