Wednesday, October 28, 2015

Pemuda Masa Kini

Saya menghitung kembali, 42 orang kepala memenuhi ruangan yang hanya berkapasitas 25 orang. Ruangan sempit di lantai 3 dengan ventilasi yang buruk membuat suasana tidak nyaman. Jendela-jendela kaca yang besar sebanyak 6 buah membuat ruangan seperti dalam akuarium yang terpapar langsung oleh sinar  matahari. Air Conditioner tidak mampu menampung seluruh desah penghuni ruangan. White board hanya berjarak kurang dari 1 meter dari kursi terdepan. Semua merasa terdesak dan sesak tapi tak satupun yang mengambil inisiatif untuk berpindah ke ruangan yang lebih besar yang telah disediakan.

Generasi wacana, itulah yang diungkapkan Rhenald Kasali dalam artikelnya. Rhenald menyebutkan bahwa generasi wacana ini sedang marak dan kita lihat sehari-hari. Generasi wacana adalah mereka yang hanya berwacana tanpa pergerakan. Saya membuktikannya kemarin, ketika saya berhadapan langsung dengan mahasiswa dalam satu ruangan, mereka yang seharusnya penuh inisiatif, kreatif dan inovatif menjelma menjadi makhluk hidup yang seperti di rekatkan dengan kursi tempat mereka duduk. Tak ada inisiatif untuk membuat suasana lebih nyaman. Kali ini saya bermaksud memberikan edukasi berupa pemutaran video berkaitan dengan isu lingkungan yang sedang di dihadapi yakni kabut asap. Antusiasme yang alakadarnya, gerakan mengipaskan buku karena ruangan terlalu panas, jarak layar yang terlalu dekat dengan audience dan saya yang terjepit di pojok kiri depan sampai tak bisa keluar dari kursi dan meja pengajar, dan mereka calon penerus bangsa hanya bisa diam tanpa protes dengan situasi yang tidak nyaman tersebut.

Entah apa yang salah, siapa yang salah. Generasi yang berbeda, begitu Okky Madasari pernah membacakan puisinya, bahwa kita sedang berhadapan dengan generasi yang berbeda. Generasi yang dimanjakan teknologi tapi jauh dengan sosial, dan minim kesantunan. Rasanya baru kemarin saya seperti mereka, menikmati bangku kuliah dan menjadi mahasiswa, dan saya masih ingat bagaimana saya dan teman-teman berprilaku terhadap dosen. Dosen adalah hal yang disegani, dijunjung tinggi, dihargai, tak ada sedikitpun terbersit untuk tidak menjaga kesantunan, karena tidak santun berarti mencari petaka. Belum juga satu dasawarsa dari jarak saya ke generasi sekarang, tetapi sepertinya kemajuan memang terlalu cepat terjadi. Mungkin teknologi bergerak seperti deret ukur, sedangkan kesiapan mental dan makna hidup yang filosopis bergerak seperti deret hitung. Jomplang. Tak bisa lagi di hindari.

Monday, October 5, 2015

Kenangan

Gambar dokumentasi pribadi
Sudut kota Solo, 2013
Kenangan. Saya berutang banyak padanya. Seperti kali ini, tak sengaja saya menemukan tulisan saya bertahun-tahun lalu, setelah berhasil menjebol passwordnya saya pun terpingkal-pingkal sendiri melihat materi tulisan tersebut. Tulisan-tulisan saya dahulu dipenuhi tentang seseorang, hingga saya lupa bahwa dunia saya bukan hanya dia. Tulisan-tulisan saya dahulu hanya berisi tentang cinta, kecemburuan, pertengkaran, kesetiaan, dan prasangka hingga saya lupa bahwa ada materi lain selain itu, sains, sejarah, politik, budaya, agama, sastra, seni.

Kenangan. Lagi-lagi saya mengakui bahwa saya hidup karena kenangan. Saya berkaca pada kenangan, tentu ada hal-hal yang ingin saya jalani kembali tapi banyak yang tidak menarik untuk saya tengok kembali. Dan saya cukup beruntung, mendokumentasikan sebagian perjalanan hidup saya melalui tulisan, saya jadi tahu bahwa 3 tahun lalu saya masih menulis dengan bahasa curhat, saya juga jadi tahu bahwa hampir 4 tahun lalu saya pernah membuat cerita bersambung tentang sebuah keluarga kecil yang mempunyai dua kucing.

Kenangan. Ini pula yang mengantarkan saya pada satu malam penuh khidmat. Menyaksikan pertunjukan Ramayana di bawah rembulan di depan candi Prambanan. Itu titik awal saya untuk mengenalkan kenangan pada hal baru. Lantas kenangan pun berganti halaman baru di isi dengan ragam gerak dan suara. Kenangan. Menyimpan moment-moment seperti ini dengan rapi. Lagi-lagi saya berutang padanya, bukan hanya satu melainkan banyak.