Tuesday, September 8, 2015

Ode di Pagi Hari

Foto : Dokumentasi Pribadi,
Makkah 25 Maret 2015
Judul "Sarapan Pagi"

Pagi di hari minggu diawali dengan gaduhnya suara cicit burung yang sedang rakus menyantap sarapan paginya di teras belakang. Sudah hampir 3 bulan ini saya mempunyai teman baru, burung-burung gereja liar yang datang ketika lapar, menyantap remah nasi yang sengaja saya sediakan untuk mereka.

Cicit mereka merupakan nyanyian alam yang syahdu, ode di pagi hari. Minggu tak hanya kudus bagi mereka umat kristiani, tapi bagi saya juga, karena saya berkesempatan mendengarkan cicit mereka di pagi hari. Tidak hanya burung gereja, sesekali ada burung merpati yang mampir juga. Saya tak pernah berani mengambil potret mereka, karena setiap gerakan kecil saja membuat mereka kaget dan akhirnya terbang, dan saya tak mau mengambil resiko itu, mendengar kepak sayap mereka. Saya menikmati cerewetnya mereka yang saling mengobrol sambil sarapan pagi, mereka juga datang ketika jam makan siang dan sore.

Saya beruntung tinggal di rumah dengan sedikit ruang terbuka di bagian belakang, saya masih bisa melihat langit biru atau pekatnya malam. Beberapa teman saya juga senang dengan teras belakang, sambil merokok mereka menatap bintang, sambil meminum kopi mereka menatap bulan.
Dari kecil saya selalu memimpikan menjadi burung, memiliki sayap dan mengangkasa. Memiliki kebebasan yang bahkan ruang pun tak mampu menjangkaunya. Dan saya akhirnya melihat burung gereja dari dekat, setiap hari, cicit mereka menceritakan banyak hal, tentang angkasa, tentang kebebasan.

Tadi malam yang berarti sabtu malam, cicit mereka terdengar gaduh di belakang, saya telah menyediakan seporsi remah nasi untuk hidangan makan malam mereka. Saya menunggui mereka, menyiapkan teh manis tubruk sambil mendengarkan kuliah umum mengenai sang Liyan dan tentang seksualitas versi Lacan dari youtube. Saya hanya ditemani cicit mereka, tapi dunia saya terasa penuh.
Saya berseri-seri, mengingat perjalanan hidup saya yang panjang dan saya bisa berada pada waktu sekarang , hidup dengan cicit burung setiap hari, orgasme setiap waktu dengan buku-buku di rak makin penuh, dan merayakan kelahiran setiap hari sebelum matahari hadir dengan segelas air jeruk nipis hangat.

Kelahiran

Ket : Gambar dokumentasi pribadi
 Green Lake Village Jakarta, Agustus 2015
judul gambar "menuju cahaya"
Kelahiran selalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan ataupun dengan air mata yang diam-diam bergulir di pelupuk mata. Launcing begitu orang modern menamainya, sambutan dan gunting pita menjadi ritual wajib pada acara pembuka lantas dilanjutkan dengan standing party dan gelaran doa diakhir acara.

Tapi tidak ada pesta ketika kelahiranku ataupun kelahiran anakku. Air mata juga sudah kutitipi pesan untuk tidak ikut berbasa basi, proses kelahiran ini hanya milikku dan Dia yang menjadikanku ada, juga untuk temanku, waktu.

Matahari dengan rela menyaksikan kelahiranku, proses mengejan yang dilakukan aku dan ibuku pun ditadahinya dengan sinar. Sinarnya menghangatkan, hingga darah-darah yang mengalir dari selangkangan pun berwarna kuning keemasan.

Waktu, temanku yang paling setia, satu-satunya. Waktu menungguiku dan ibuku hingga larut, waktu mendengarkan ritme nafas yang tidak teratur. Waktu membisiku bahwa ada seseorang yang datang, tangan kirinya membawa seikat bunga, dan lengan kanannya mengapit parcel buah-buahan. Aku menatapnya, sekilas perih dan jerih saat proses kelahiran luntur sudah. Dia, yang menjadikanku. Karenanya aku bisa terus  hidup dengan cinta, ide dan semangat.

Waktu pun memberikan tempat duduknya untuknya. Dia masih saja mengulum senyum, matahari senja dikunyahnya perlahan, perutnya menjadi buncit berisi matahari, warna badannya jadi kuning keemasan. Dia memberikan pita dan gunting berharap aku mau bersedia melakukan ritual launcing seperti pada umumnya.